Print this page

Wawancara, Energi Bagi wartawan Saat Bekerja

Profesi wartawan selama ini lebih banyak dikenal dari penampilannya, seperti menenteng kamera, tape recorder, dan senantiasa banyak bertanya.

Dari sejumlah penampilan akrab tersebut, wartawan dalam beritanya akan senantiasa terkesan "fresh" (segar) bila ada unsur wawancara atau tanya-jawab dengan nara sumber, sekaligus menjadi energi baru bagi wartawan dalam bekerja.

Wawancara menjadi seni tersendiri untuk memperoleh atau menjadi penguatan untuk membuat berita menarik.

Bila wartawan membiasakan diri menulis berita hanya sekedar menerima informasi apa adanya dari nara sumber, maka kesannya monoton. Bahkan, secara profesional wartawan tersebut telah memulai proses pembodohan dalam karier jurnalistiknya.

Wawancara ibaratnya "bunga" dalam dunia kewartawanan. Wawancara merupakan satu upaya wartawan untuk mengetahui dan mendapatkan penegasan lebih banyak tentang latar belakang, permasalahan, bahkan skandal dari suatu fakta.

Secara umum wawancara memiliki dua bentuk utama, yakni wawancara lisan dan tertulis. Wawancara lisan sering dilakukan wartawan yang mengadakan percakapan/tanya-jawab langsung atau melakukan tatap muka dengan nara sumbernya.

Wawancara tertulis sering dilakukan wartawan untuk menyiapkan serjumlah pertanyaan untuk nara sumbernya. Kondisi semacam ini lebih sering dilakukan wartawan karena nara sumber menginginkan pola wawancara tertulis, sehingga serangkaian jawaban dapat disusun secara lebih rinci dan akurat. Namun, wartawan dalam hal ini menjadi sulit menangkap nuansa dan suasana "kehidupan" berwawancara, seperti bahasa tubuh (body language) nara sumber saat memberi keterangan.

Selain itu, banyak nara sumber dalam memberikan jawaban tertulis hanya sekedar memeriksa atau membaca ulang saja, karena seluruh jawaban disusun oleh staf/sekretaris-nya.

Sementara itu, wawancara dilihat dari prosesnya dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu wawancara dipersiapkan. Hal ini biasa terjadi bila wartawan telah mengadakan janji dengan nara sumber untuk mengadakan wawancara khusus. Biasanya wawancara ini didahului dengan proses tawar-menawar untuk menentukan topik pembicaraan, waktu, dan tempat kegiatan berlangsung. Jika dikaitkan dengan faktor tempat, maka wawancara dalam jumpa pers (press conference) termasuk dalam bagian dari wawancara dipersiapkan.

Wawancara bertelepon. Hal ini biasa dilakukan wartawan dengan nara sumber yang sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan dalam tahapan semacam ini menjadikan wartawan mulai menempatkan posisinya selaku "lobbyist". Wawancara semacam ini memerlukan kehati-hatian tatkala nara sumber menyebutkan informasi yang berkaitan dengan angka, nama, dan sejumlah karakter perkataan asing.

Wawancara dadakan. Hal ini menjadi bagian dari seni jurnalistik yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dijalani oleh wartawan untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh karena, berita dapat terjadi kapan saja tanpa rencana, sehingga dalam sistem manajemen informasi kewartawanan dikenal istilah "intelectually alert" atau wartawan dituntut selalu waspada secara intelektual.

Seringkali wawancara dadakan semacam ini dinamakan pula "kesandung berita", karena wartawan mendapatkan berita sama sekali tanpa diduga sebelumnya. Contohnya, seperti bertemu seorang Menteri di Bandara secara kebetulan, dan ternyata nara sumber tersebut memiliki informasi yang layak siar.

Pembagian bentuk dan proses wawancara seperti hal di atas lebih banyak berangkat dari
pendekatan teori, karena wartawan dalam kesehariannya melakukan wawancara dengan bentuk dan proses yang seringkali tumpang tindih.

Bahkan, cara wawancara mereka menjadi hanya terbagi dua, yakni wawancara yang hanya mengikuti arus pertanyaan wartawan lain ataupun mengikuti jawaban nara sumber karena wartawan bersangkutan tidak memiliki persiapan materi/bahan permasalahan dan wawancara yang mengarah pada satu topik utama secara mendalam (loaded question) karena wartawannya memiliki penguasaan materi memadai.

Selain wawancara, wartawan dalam tugas hariannya memerlukan pula Acuan Data (database) pribadi yang multi-fungsi, mulai menegaskan data (konfirmasi) hingga mencari peluang untuk mengembangkan berita/karangan khasnya.

Banyak wartawan yang dalam tugasnya terkesan hanya sedikit bertanya kepada nara sumber, namun dalam berita/karangan khasnya ia mampu memberikan latar belakang permasalahan secara komprehensif. Hal ini bisa saja terjadi, asalkan wartawan bersangkutan memiliki acuan data yang memadai.

Acuan data pada umumnya dapat kita dapatkan dari berbagai tempat, seperti perpustakaan, toko buku, dan Internet. Namun, wartawan ada baiknya memiliki acuan data pribadi, terutama menyangkut bidang liputan khususnya dimulai dari satu catatan kecil dalam blocknote (notes) sebelum mengembangkannya ke notebook komputer. Oleh karena, bagi wartawan semakin banyak pusat data yang diketahui akan banyak membuka peluang untuk mendapatkan informasi.

Upaya wartawan untuk menggabungkan fakta dari satu kejadian dengan acuan data merupakan satu langkah awal dari perkembangan jurnalistik presisi (precission journalism), yakni karya jurnalistik yang memadukan proses berpikir logis dan komplit guna mengaitkan satu fakta dengan berbagai permasalahan lainnya.

Filsuf Schonpenhauer dari Jerman pernah mengatakan "Berpikir logis adalah berpikir secara terdidik." Dr Hellwig dalam buku "Psychologie und Vernehmungstechnik", terbitan Berlin, Germany, pada 1951 mengutip pendapat Schonpenhauer bahwa tidak semua cara berpikir menghasilkan sesuatu yang logis.

Berpikir logis, menurut Schonpenhauer, setidak-tidaknya memiliki tahapan dari tidak mengetahui sesuatu, menuju mengetahui sesuatu, dan berupaya menyingkap segala sesuatu yang berhubungan dengan soal yang bersangkutan.

Pola berpikir logis semacam itulah yang harus dimiliki oleh wartawan, sehingga karyanya menjadi bagian dari hasil pekerjaan jurnalistik presisi sesuai tujuan media massanya untuk menyebarkan informasi, mendidik dan menghibur khalayak.

Dalam proses menghasilkan karya jurnalistik berita/karangan khas/foto-yang terpenting bukan sekedar mendapatkan bahan yang baik, namun bagaimana mengolah dan mengembangkan bahan tulisan/foto sehingga menjadi baik, menarik dan banyak memberikan makna bagi khalayak.

Proses dan hasil dalam karya jurnalistik adalah dua hal yang sama pentingnya, karena upaya mencari dan membuat berita/karangan khas/foto termasuk bukti otentik dari satu perjalanan sejarah yang bermakna.

Makna yang disumbangkan wartawan melalui hasil karya jurnalistiknya seringkali dikaitkan orang dengan keberhasilannya membentuk opini publik. Sementara itu, secara tegas kaidah jurnalistik memberikan batasan bahwa wartawan adalah de journale alias sang pelapor dari satu kejadian yang patut diketahui umum.

Sebagai de journale, maka wartawan secara profesional tidak diperkenankan beropini karena berada dalam posisi netral atau tidak memihak. Pada prinsipnya, wartawan hanya  menyajikan serangkaian fakta, data, dan pernyataan nara sumber, sementara itu opini publik akan terbentuk dengan sendirinya sebagai dampak penyajian informasi yang berlogika.

Namun demikian, wartawan dalam praktek kesehariannya dapat "membungkus" opininya dalam bentuk  Opini di balik data, yaitu wartawan dapat menyajikan opininya dengan memanfaatkan data akurat dalam karya jurnalistiknya.

Opini di balik fakta, yaitu wartawan dapat menyajikan opininya dengan mengemukakan fakta nyata dari satu peristiwa.

Opini di balik nara sumber, yaitu wartawan dapat menyajikan opininya dengan menempatkan pernyataan penting dari nara sumbernya.

Kemampuan wartawan dalam menyajikan opini dengan berbagai kiatnya seperti itulah yang agaknya membuat dunia jurnalistik senantiasa tidak pernah berhenti untuk berlogika, sehingga publik pun menanti kehadirannya. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)
Read 4227 times
Rate this item
(1 Vote)
Published in Dokter News
Phinisi Admin

Latest from Phinisi Admin

Login to post comments