Print this page

Produksi Film Sulsel Butuh Perhatian dan Kritik Tematik Featured

Dua Tokoh Perfilm yang juga Pengurus Parfi Sulsel, teaterawan serta jurnalis, Iwan Azis dan Hasan Kuba dalam perbincangan lepas “kritik film dibutuhkan untuk memberi masukan terhadap persoalan moralitas tematik cerita yang difilmkan”. (Foto : Dok Fred Daeng Narang). Dua Tokoh Perfilm yang juga Pengurus Parfi Sulsel, teaterawan serta jurnalis, Iwan Azis dan Hasan Kuba dalam perbincangan lepas “kritik film dibutuhkan untuk memberi masukan terhadap persoalan moralitas tematik cerita yang difilmkan”. (Foto : Dok Fred Daeng Narang).
 

Oleh :  Mahrus Andis (Budayawan)

Makassar (Phinisinews.com) – Hari Film Nasional, tiap 30 Maret, sesuai Kepres No.25 tahun 1999, menjadi momentum dan wahana reintrospeksi diri bagi institusi film bersama segenap insan layar lebar (film maker) untuk meningkatkan kualitasnya di khasanah perfilman nasional.

Tidak ketinggalan pula para aktor dan aktris, pekerja dan pemikir film di Makassar. Mereka tidak pernah berhenti mengintip peluang untuk tetap menyuarakan hak-hak mereka dalam perspektif legalitasnya selaku orang-orang film yang dilindungi undang-undang.

Beberapa waktu lalu, seusai shalat Jumat, saya berbincang lepas dengan dua tokoh perfilman Sulawesi Selatan. Mungkin hari itu, teaterawan Hasan Kuba dan Iwan Azis (dua tokoh yang saya maksud) hanya kebetulan bertemu di Kafe Baca-Adyaksa, tempat para sastrawan dan wartawan berbincang sambil menikmati aroma kopi.

Terlepas kebetulan atau kebenaran, saya merasa bahagia bertemu keduanya.  Iwan Azis Bintang dan Hasan Kuba adalah Pengurus Parfi (Persatuan Artis Film), pegiat film senior di Sulsel yang juga aktif sebagai jurnalis dan teater. Keduanya sudah berusia di atas 70 tahun, namun secara fisik, mereka masih tampak tegar seperti “bodyguard” Dewan Kesenian Makassar di masa-mass silam.

Banyak hal yang dibicarakan. Salah satu yang fokus adalah dinamika perfilman. Menurut Bung Iwan, pengakuan orang luar daerah terhadap produksi film di Makassar cukup membanggakan.

Hadirnya sineas-sineas muda menjadi tolok ukur bahwa gebrakan perfilman daerah tidak pernah surut, apalagi mati. Banyak film produksi sineas kita di daerah ini mencuat sampai ke pasar nasional. Tetapi sangat disayangkan, tema-tema lokal yang digarap kurang menukik ke esensi kearifan lokal masyarakat Sulsel.

Iwan Aziz tidak menyalahkan, dan bahkan sangat apresiatif, atas kerja para sineas muda. Yang dia soroti adalah peran Pemerintah Daerah Sulsel yang kurang peduli terhadap orang-orang film.

“Harusnya, sesuai fungsi pembinaan yang diatur dalam Undang-undang No. 5 Th 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Daerah memberikan porsi perhatian yang besar terhadap kerja kreatif para seniman, termasuk seniman  film dan teater. Pemda wajib menyadari bahwa film dan teater adalah media solutif untuk memosisikan Provinsi Sulsel sebagai daerah multikultural dan menjadi tolok ukur hadirnya sebuah kota metropolit yang berdimensi dunia,” ujarnya.

Dia juga menyentil para pegiat film di Makassar yang kurang cerdas menggarap tematik kearifan lokal leluhurnya.

“Silakan menerima tema pesanan film dari luar, tetapi harus tetap menjaga nilai integritas yang kita garap itu,” ucapnya dan mencontohkan beberapa film lokal yang mengangkat tema “siriq na pacce” (martabat kemanusiaan orang Bugis-Makassar). Alur kisahnya bagus dengan fitur-fitur lokal yang jelas, namun esensi dedikasi moralnya hilang tergerus oleh obsesi komersial dan kepentingan ekasegi.

Katakanlah, lanjutnya, karena kepentingan pasar dan pariwisata, esensi nilai-nilai kearifan leluhur Bugis-Makassar berupa etos kerja, sopan santun atau sifat "getteng" (istikamah) tidak mendapat porsi penting dalam penggarapan film.

Jadinya, kita kehilangan jatidiri dalam berkesenian. Kita telah mengorbankan kehormatan berpikir warisan leluhur dengan menjual ideologi kultural kita kepada pemodal dan pemburu "tepuk tangan" (baca: penghargaan semu).

Salah satu pemicu krisisnya moral berkesenian, khususnya perfilman, yaitu hilangnya kritik film di masyarakat. Menurut Iwan Azis, kritik film dibutuhkan untuk memberi masukan terhadap persoalan moralitas tematik cerita yang difilmkan.

"Saya sering heran. Banyak tema-tema kearifan lokal yang diangkat dalam cerita film, namun esensinya hilang," ucapnya yang diiyakan oleh Hasan Kuba dan teman lain yang ikut mendengarkan. Iwan menunjuk beberapa film yang bertema “silariang” sebagai konsep dasar penegakan nilai “siriq na pacce” orang Sulsel.

"Aneh dan sangat memprihatinkan. Satu tema, sebutlah contoh silariang, digarap beberapa produser, tetapi esensialitas kulturnya berbeda. Harusnya esensi siriqnya tetap sama, meskipun teknik filmisnya yang berbeda, sesuai tingkat kecerdasan kreatif dan tuntutan masa kini," jelas Bung Iwan, seraya mengunci ucapannya dan melirik ke Bung Hasan Kuba:

"Kita butuh kritik film. Ini tugas kita bersama. Pemerintah Daerah harus dibangunkan dan Dewan Kesenian Makassar tidak boleh terus berdiam diri," ucapnya.

Hasan Kuba dan saya saling memandang. Lalu kami bubar. Tersisa narasi ini sebagai notulen. Selamat Hari Film Nasional ke-73 Tahun. Sukses para aktor-aktris dan film maker di Makassar. (Editor : Fred Kuen Daeng Narang).

Read 593 times
Rate this item
(0 votes)
Published in Feature
Phinisi News

Latest from Phinisi News

Login to post comments