Wartawan peliputan selidik bernama Brit Hume pada tahun 1973 pernah berkomentar bahwa pekerjaan yang dilakukannya lebih banyak untuk mengungkap sejumlah kebusukan berkaitan dengan dusta dan korupsi.
"Kebusukan itu harus dibongkar. Demi kepentingan masyarakat umum dan demi kepentingan kita sendiri," tegasnya.
Dalam upaya mengungkapkan "kebusukan" tersebut, wartawan peliputan selidik pada tahap awal seringkali harus berhadapan dengan konflik batin akibat konflik kepentingan. Kepentingan di antara kepentingan pribadi, kepentingan lembaga pers-nya, kepentingan publik, dan kepentingan nara sumber.
Konflik semacam itu akan dengan mudah muncul, karena wartawan peliputan selidik lebih banyak harus "membuka sesuatu yang ditutup-tutupi". Oleh karena itu, mereka untuk membuka kasusnya seringkali harus mendapatkan infomasi mulai dari cara meminta, membeli, memaksa, atau bahkan mencuri-nya.
Berangkat dari pekerjaan semacam itulah, wartawan peliputan selidik dituntut memiliki "etika di dalam maupun di luar etika". Hal tersebut dapat diartikan bahwa mereka harus memiliki kreativitas untuk melakukan kegiatan pencarian data/informasi secara sah, dan bila harus melanggarnya, maka harus pula memiliki kreativitas lain guna menutupinya sekaligus mencari alasan yang jauh lebih cerdas dari kemungkinan tuduhan yang akan datang.
Untuk lebih memahami posisi tugas yang beretika di dalam maupun di luar etika, maka sejumlah wartawan peliputan selidik berpegang ke pendapat Edward R. Murrow yang mengatakan "Agar meyakinkan, kita harus dapat dipercaya. Agar dipercaya, kita harus dapat diandalkan. Agar diandalkan, kita harus jujur.
Sikap meyakinkan, dipercaya, diandalkan, dan jujur itulah yang sering diperankan oleh wartawan peliputan selidik. Dalam hal ini, mereka biasanya dengan mudah pula menilai apakah nara sumber yang ditemuinya memiliki kredibilitas atau tidak, berkompeten atau tidak, bahkan memiliki informasi penting atau tidak. Hal inilah yang oleh banyak orang disebut bahwa wartawan adalah penonton sekaligus pemain dari karakter kemanusiaan. Apalagi bagi wartawan peliputan selidik.
Dalam memainkan peran yang meyakinkan, dapat dipercaya, diandalkan, dan jujur, maka wartawan peliputan selidik dituntut mampu menempatkan dirinya bukan hanya sekedar "journalist" alias pelapor suatu peristiwa atas dasar kejadian/fakta. Namun, ia dituntut pula mampu menempatkan diri sebagai "agent" untuk menggali data/informasi penting, sekaligus menjadi "lobbyist" yang mampu bergaul dengan nara sumber penting.
Agar posisinya lebih luwes, wartawan peliputan selidik dalam mencari bahan berita/karangan khas/foto juga perlu memahami sejumlah kesepakatan dengan nara sumbernya. Kesepakatan itu antara lain berupa "On the Record" dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal tentang narasumber dan segala informasi yang dikemukakannya.
"On Background". Dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal menyangkut informasi yang diberikan nara sumber, namun jati diri nara sumber harus benar-benar dilindungi dengan alasan tertentu. Biasanya, wartawan cukup menyebutkan menurut sumber di Departemen X dan lainnya.
"On Deep Background". Dalam hal ini wartawan hanya dapat mengutip inti dari informasi yang didapatkan, tanpa dapat mengutip dalam kalimat langsung -dengan tanda kutip-informasi itu. Sementara itu, jati diri nara sumber harus dilindungi.
"Off the Record". Dalam hal ini wartawan mendapatkan informasi yang sama sekali tidak boleh dipublikasikan dalam bentuk apapun. Bahkan, wartawan tersebut terikat etika untuk tidak mengembangkan informasi yang didapatkannya itu.
Empat kesepakatan di antara wartawan dengan nara sumbernya itu menjadi bagian etika pers yang senantiasa dijunjung tinggi. Dalam peran penuh "ikatan" -demikian wartawan sering menyebutnya-itu dapat diartikan sebagai "harga mati".
Namun demikian, pada perkembangannya banyak wartawan yang justru membatasi dirinya hanya menerima kesepakatan nomor satu (On the Record) dan nomor dua (On Background) serta meninggalkan dua kesepakatan berikutnya. Mereka dengan berani langsung mengatakan, "Maaf, saya punya informasi lain" manakala ada nara sumber yang ingin menerapkan kesepakatan ketiga (On Deep Background) atau bahkan kesepakatan keempat (Off the Record).
Mengapa wartawan itu bersikap demikian? Situasi dan kondisi semacam itu dilakukan oleh wartawan peliputan selidik untuk menghindari menerima informasi subyektif yang mengecoh. Oleh karena, kesepakatan untuk membuat berita hanya dengan mengetahui latar belakang tanpa ada nara sumber yang jelas menjadi "hal tercela, dan mengurangi kredibilitas" dari kaidah nilai-nilai jurnalistik bagi wartawan profesional. Hal ini pula yang antara lain melatarbelakangi sebagian besar Kantor Berita untuk menghindari publikasi berita tanpa nara sumber yang jelas.
"Katakanlah kebenaran, tetapi dengan membengkokkannya," demikian pendapat Emily Dickinson menanggapi tentang pekerjaan politikus dan petugas hubungan masyarakat. Dan, hal ini pula yang senantiasa diwaspadai oleh wartawan peliputan selidik.
Dalam manajemen media massa moderen ada istilah "proses dan hasil" peliputan selidik menempati posisi yang sama penting, karena keduanya adalah rangkaian pekerjaan yang penuh risiko dengan azas demi kebenaran pers yang mengutamakan kepentingan publik.
Bahkan, di kalangan pers ada guyonan sarkatis Jika saja ada orang lembaga pers yang menilai proses dan hasil pekerjaan peliputan -apalagi peliputan selidik- tidak dalam posisi penting, maka bisa dipastikan dia bukanlah bagian dalam sistem kerja jurnalistik atau bidang keredaksian, atau pun loper yang meneriakkan berita penting di keramaian jalan.
Guyonan ala pers itu timbul, antara lain sebagai dampak dari pers industri yang seringkali menempatkan segi menarik keuntungan sebagai bagian hasil kerja menjadi lebih penting dibanding susah payahnya para wartawan sebagai bagian proses kerja berjungkir balik mecari bahan berita/karangan khas/foto.
Selain itu, pers dalam tatanan industri cenderung semakin menempatkan kolom iklan sebagai unsur pendapatan yang menopang kehidupan karyawan di organisasi pers bersangkutan. Padahal, sejarah pers belum pernah mencatat ada media massa khusus iklan, karena pariwara semacam itu justru hadir bila publik menyukai berita yang disajikan media massa.
Kecintaan publik terhadap media massa, antara lain karena mereka merasa mendapatkan informasi yang tepat, berkaitan dengan kepentingan mereka, ada informasi baru, memberikan hiburan, bahkan berisikan tentang berita-berita yang jujur. Dalam situasi dan kondisi semacam inilah peliputan selidik mendapatkan tempat, bahkan terhormat. Kenapa? Oleh karena, manusia secara naluriah tidak suka dibohongi, sehingga mereka ingin mengetahui rahasia orang lain.
Dalam kondisi penuh persaingan itu pula, wartawan, terutama wartawan liputan selidik mendapat beban tambahan, yaitu bagaimana senantiasa dapat bekerja demi kepentingan organisasi media massanya, sekaligus membuktikan diri bahwa dirinya sebagai orang lapangan-lah yang paling tahu tentang makna demi kepentingan publik.
Bagi wartawan peliputan selidik permasalahan terakhir yang tak kalah rumitnya dengan proses pencarian bahan berita/karangan khas/foto-nya adalah bagaimana menuangkan tulisan dari berbagai informasi penting.
Pola penulisan hasil peliputan selidik cenderung menjadi karangan khas (feature) karena mengutamakan kedalaman, berlatar belakang, dan memeras segala kemampuan berbahasa -terutama memainkan diksi atau pilihan kata-agar hasil karyanya dapat lebih dicerna publik, sekalipun permasalahan yang dikemukakan relatif rumit.
Banyak orang -termasuk wartawan pemula- beranggapan bahwa peliputan selidik senantiasa bertema dan mengundang permasalahan besar atau mengandung kontraversi, sehingga penulisannya pun lebih sulit.
Padahal, wartawan peliputan selidik akan lebih mudah menulis laporannya dengan lebih mengutamakan permasalahan kecil. Dengan kata lain, mereka justru memilih permasalahan yang terdekat dengan kepentingan umum.
Think globally, act locally (berpikir kesejagatan, bertindak lokal). Hal inilah yang lebih sering diikuti oleh wartawan peliputan selidik. Mereka berangkat menggali gagasan penulisan dari permasalahan keseharian, walaupun informasi yang mereka miliki bisa berdampak luas.
Tatkala harus mengemukakan permasalahan berat dengan bahasa ragam jurnalistik, maka wartawan tersebut akan lebih mudah jika mereka memanfaatkan perkalimatan bergaya bertutur, ada anekdot, memainkan alur cerita klimaks dan anti klimaks, sehingga pembaca seakan berhadapan dengan novel yang berangkat dari cerita asli.
Dari gejala semacam itulah, kalangan pers dan sejumlah pengamat mereka menyebut adanya Jurnalistik Sastra (literacy journalism).
Wai Lan J. To yang bekersama dengan Albert L. Hester menulis dan menyunting buku bunga rampai "Handbook for Third World Journalist" (1987) berpendapat bahwa jurnalistik sastra adalah salah satu upaya sistem pers untuk memperluas ruang lingkup dan keterampilan jurnalistik mereka setelah bergerak ke arah peliputan selidik.
Jurnalistik sastra di AS, menurut dia, dapat ditelusuri sampai ke tahun 1937 manakala Edwin H. Ford menyusun buku bertitelkan "A Bibliography of Literacy Journalism" terbitan Burgess Publishing Company, Minneapolis (AS).
Ford mencatat bahwa jurnalistik sastra dapat dirumuskan sebagai tulisan yang masuk dalam "kawasan senja" (batas akhir) yang memisahkan sastra dari jurnalisme. Jurnalisme sastra adalah penghubung surat kabar dan sastra.
Pada gilirannya, masyarakat AS pada era 1960-an menyebut langgam jurnalistik sastra sebagai Jurnalistik Baru (new journalism). Mereka agaknya lupa bahwa sejarah persnya melalui Edwin H. Ford sudah pernah menyebut kaidah yang sama.
Norman Sims dalam buku bunga rampai "The Literacy Journalists" terbitan Ballentine Books, tahun 1984, menulis bahwa jurnalistik sastra ataupun jurnalistik baru --seperti disebut pada era 1960-an--tidak dirumuskan oleh kritikus, namun para penulisnya sendiri sudah menyadari bahwa karya mereka memerlukan pendalaman struktur, "suara", dan ketelitian.
Dalam pengertian yang lebih mudah, pendapat Sims itu menunjukkan bahwa dasar dari jurnalistik sastra tidak berbeda dengan peliputan selidik, yaitu memiliki metoda ilmiah yang bertujuan memaparkan satu permasalahan kepada publik setelah menjalani kajian pembenaran. Kalangan pers mengenal salah satu bagian metoda ilmiahnya adalah "check and rechek" (periksa dan periksa lagi).
Secara terpisah, dalam penilaian Wai Lan J. To, di China jenis jurnalistik sastra juga berkembang relatif baik. Masyarakat pers China menyebutnya "Bao Gao Wen Xue" (literacy journalism atau jusrnalistik sastra).
Sebagaimana di AS, jurnalistik sastra di China juga merupakan proses kreatif para wartawan untuk mengungkap permasalahan yang perlu diketahui oleh publiknya dengan cara penyampaian menggunakan gaya bersastra. "Mereka menggunakan langgam sastra untuk mengungkapkan fakta aktual bernilai berita," catat Wai Lan J. To.
Paling tidak, keberadaan peliputan selidik dan penuturan berlanggam jurnalistik sastra adalah upaya pers untuk memuasi kepentingan publiknya yang senantiasa haus akan kebenaran dan kejujuran, seperti juga kalimat bijak Arthur Hays Suzberger "Seiring dengan pers yang bertanggung jawab, harus ada pembaca yang bertanggung jawab." (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).