Makassar (Phinisinews) - Musik dengan daya magis terdengar mendayu, irama dari alat musik tradisional sangat terasa dengan hentakan yang tidak lazim di telinga warga Makassar, Sulawesi Selatan, namun karena musik bersifat universal maka pesonannya tetap dapat menembus lintas batas ruang dan waktu serta lintas etnis global, pengunjung Mall Trans Studio Makassar bertanya tanya, itu instrumentalia lagu apa?. Dari China kah, Tibet, Bolivia atau Indian?. Suara alat musiknya sulit dipungkiri terdengar sangat magis dengan hentakan khas, sehingga tanpa dikomando pengunjung Mall bergerak ke asal suara.
Semua terjawab tuntas setelah melihat sesosok figur musisi yang bermain musik menggunakan alat musik tradisional yang dilakukan secara tunggal dengan memainkan sekaligus beberapa alat musik seperti samponya (dari Bambu), flute (semacam seruling besar), dan bell ring (semacam kecrek-kecrek pengamen jalanan, yang membedakan alat tersebut dilengkapi ornament etnik dan bulu burung).
Musisi tersebut dikenal dengan nama Lobito yakni seniman musik suku Inca Indian, mengenakan kostum khas Indian, baju kaos hitam, celana hitam berumbai, kain merah dari pinggang sampai lutut, rambut lurus panjang sepunggung diikat dengan full aksesoris suku Inca di leher, tangan maupun jari.
Tangannya memegang ring bell berjumbai yang dihentak-hentakkan diiringi gerak kaki khas Indian ke kekiri dan kanan (semacam tari Sajojo Papua), sambil secara bergantian menggunakan alat musik samponya tunggal maupun ganda, flute besar dan kecil, serta bambu kecil yang mengeluarkan suara seperti burung yang digunakan sesuai kebutuhan instrument lagu yang dibawakan.
Tidak ada panggung layaknya konser, yang ada adalah karpet hitam 3x4 meter, tampil secara minimalis dengan dua sound system, satu mike dan satu mixer. Sangat sederhana, namun alunan suara musik yang dimainkan mampu menyedot pengunjung untuk mendekat mendengar dan melihat sosok musisi sederhana tersebut.
Saat yang sama, satu kru membantunya menjual tiga CD musiknya masingmasing seharga Rp100.000,-/keping yang terjual laris manis. CD tersebut seluruhnya berlebel musik “Phawak” yakni CD Phawak Spirit Songs, Phawak Mayampi Instrumentalia dan Phawak Flying with the wind. Setiap CD tersebut masing-masing berisi 12 lagu. Selain itu, pernik dan asesoris Suku Inca Indian juga dijualnya dengan harga Rp50.000,-/item seperti gelang kulit, aksesoris penolak mimpi buruk dan lainnya.
Atraksi hebatnya sangat tidak layak dikatakan sebagai konser tunggal (ini benar-benar tunggal, sebab menyewa space 3x4 meter sendiri, membawa sound system sendiri lalu memasangnya dan memainkan semua alat musik tradisionalnya serta bernyanyi ala Indian secara sendiri), melainkan semacam pengamen yang melakukan atraksi pementasan tunggal (semacam pemusik di Malioboro Yogyakarta), namun kualitas bermusiknya sangat mumpuni dengan sapaan di setiap akhir pertunjukkan dengan kata Thank You, Terima Kasih, Amigos dan lainnya.
Ini hari kedua dari tujuh hari rencana Lobito bermusik di TSM Makassar, dia menyewa salah satu sudut strategis di TSM untuk bermusik, yang letaknya tepat di depan pintu masuk dan masing masing sebelah kiri dan kanan adalah restoran Suki serta Food court, sehingga pengunjung yang datang, sedang bersantap atau sedang bertransaksi membeli berbagai barang, dimanjakan dengan suara musik khas Indian yang selama ini hanya sering terlihat dan terdengar di film-film koboy.
“Di Makassar, saya bermusik sendirian, biasanya saya di temani istri”, kata Lobito saat jeda bermusik dan semua lagu yang dimainkan ada yang hasil ciptaannya dan banyak pula yang hanya diaransemen ulang menggunakan alat musik khas Indian.
Dari internet diketahui Lobito lahir di Kota Animase Potosi, Bolivia, 20 Oktober 1972 silam. Bolivia, bersama Ekuador dan Peru merupakan negara yang didominasi suku Indian.
Phawak Musik |
Lobito menghabiskan masa kecilnya di Bolivia. Namun, pada usia 18 tahun, dia memutuskan hijrah ke Hungaria (Eropa Timur). ”Musik yang membawa saya ke sana (Hungaria),” ujar Lobito. Sejak kecil, Lobito memang bercita-cita menjadi musikus.
Di Hungaria, Lobito juga merekam karya-karya musiknya. Agar musiknya lebih dikenal, Lobito ”ngamen” dari satu negara ke negara yang lain, khususnya di Eropa dan Asia. Bagaimana dia bisa sampai di Indonesia ? Ternyata Lobito beristri orang Batu, Malang, Jawa Timur, jadi tidak heran jika Lobito ada di Indonesia. Suatu ketika, saat mengikuti festival musik internasional di Taipei pada 2006 silam,
Lobito bertemu Puri, wanita yang kini jadi istrinya. Seperti Lobito, Puri yang kala itu masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan seni musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan wakil Indonesia dalam festival musik tahunan. Saat jumpa pertama, Lobito mengaku sudah tertarik kepada Puri. Ketertarikan itu lebih pada faktor music. Lambat laun hubungan tersebut sampai ke pernikahan. Lobito yang tadinya tidak mempunyai agama (Atheis) akhirnya mengikuti agama istrinya yaitu beragama Islam dan kini mereka telah dikaruniai dua orang anak (Putra dan Putri). Musik Instrument Lobito sangat menenangkan jiwa, Hal itu bisa didengar pada tiga keeping CD nya. (Mitha/phinisinews)