Penulis : Ahmad I / Editor : Mitha K
Makassar (Phinisinews.com) – Direktur Eksekutif Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC), Fredrich Kuen, MSi mengatakan, idealnya Kerjasama kemitraan untuk publikasi Pemerintah Kota, Kabupaten, Provinsi maupun institusi dengan Media Pers cetak, online dan elektronik, tidak membungkam idealisme kritis berita kontrol sosial.
Semua ada caranya agar kemitraan berjalan baik, idealisme pers tetap terpelihara serta kontrol sosial tetap dapat dilakukan secara profesional.
Hal itu dikemukakan Fredrich yang juga Penguji Kompetensi Wartawan Dewan Pers serta Asesor Pers BNSP Ketika menjadi pemateri pada seminar Hubungan Media, dengan tema “Memperkuat jaringan media untuk mensukseskan publikasi program Pemerintah Kota Makassar di salah satu hotel bintang lima di Makassar, Rabu, yang diikuti sekitar 100 orang wartawan, pimpinan media cetak, online dan elektronik, Humas, Kominfo dan lainnya.
Seminar menampilkan tiga pemateri, yakni Direktur Lembaga Pelatihan Pers P2MTC, Fredrich Kuen, Ketua KPID Sulsel, Asrul Hasan SE, MM dan Pengamat yang juga Komisaris GMTD, Makbul Halim, S.Sos.
Fredrich Menguraikan, Pers yang menjalin Kerjasama kemitraan publikasi dengan pihak tertentu, harus membuat klausul kesepakatan tertulis yang jelas agar tetap dapat melakukan kontrol sosial yang bersifat konstruktif yang dilakukan secara berimbang (cover both side) pada satu berita yang sama.
Jadi pers yang terikat atau mengikatkan diri pada kerjasama kemitraan peningkatan publikasi untuk mendukung program tertentu, harus menghindari pembuatan berita kontrol menyerang pada publikasi pertama dan menyiarkan berita perimbangan (balance news) secara terpisah pada publis berita kedua.
“Intinya berita control sosial harus dilakukan secara konstruktif, obyektif, sesuai fakta dan berimbang pada satu berita yang sama,” ujar Fredrich yang juga mantan General Manager Perum LKBN ANTARA.
Dia menguraikan tiga pola Kerjasama publikasi yakni Kerjasama imbal siar (ada transaksi keuangan terhadap kerja jurnalistik yang disepakati), Bantuan Imbal Siar (transaksi tidak dalam bentuk ikatan tertulis dalam jumlah tertentu atau peralatan tertentu) serta hibah Imbal Siar (tidak mengikat pihak pers, namun sifatnya pembinaan).
Tiga jenis Kerjasama tersebut tetap disertai imbal siar (upaya peningkatan publikasi) agar kesepakatan itu tetap setara dan bukan program “belas kasih” pihak tertentu kepada pers.
Secara internal pers (media), lanjutnya, program mengikatkan diri dalam suatu kesepakatan Kerjasama imbal siar berbayar dengan imbalan publikasi positif harus dilakukan secara kompromistis rasional pada area “fire wall” (tembok api pemisah redaksional dan bisnis media) agar idealisme pers tetap berjalan, namun di lain sisi ada jaminan kesejahteraan wartawan di media tersebut tetap baik.
Sebab wartawan harus sejahtera dengan kerja profesionalnya, sehingga idealisme idealnya dilakukan secara rasional terukur.
“Idealisme para jurnalis wajib terus terpelihara, namun bila ada peluang bisnis dari kerja pemberitaan yang dilakukan, maka jangan lewatkan selama itu rasional dan tidak mematikan idealisme pers yang selama ini kita agungkan,” ujarnya.
Fredrich juga mengingatkan bahwa dalam kerjasama kemitraan publikasi, para humas harus ikut membantu menjembatani pers dengan narasumber pada institusinya agar kerja profesional lebih mudah dilakukan, ikut memproduksi berita dalam bentuk “press Claar” (berita layak siar) untuk hal hal kreatif dari kinerja institusi agar sasaran Kerjasama yakni peningkatan publikasi program tertentu dapat dilakukan secara maksimal. (AI/MK).