Peliputan Selidik (investigative reporting) dan Jurnalistik Sastra (literacy journalism) hingga saat ini terlihat berjalan beriringan, namun posisi keduanyanya sering ditempatkan secara dilematis atau mendua sebagai sesuatu yang dianggap hebat, dan dicerca.

Banyak orang, termasuk di kalangan pers, menempatkan peliputan selidik sebagai pekerjaan yang hebat karena proses dan hasil kerja yang harus ditempuh oleh wartawan sebagai pelaku liputan relatif sulit, membutuhkan waktu dan dana. Bahkan, wartawan yang terlibat seringkali harus berhadapan dengan apa yang dinamakan "konflik kepentingan" (conflict of interest) dari berbagai pihak.

Konflik kepentingan itulah yang membuka peluang bahwa proses dan hasil kerja dari peliputan selidik menjadi sering dicerca anggota masyarakat, juga oleh para wartawan lain, karena dampak dari berita yang dipublikasikan senantiasa "memakan korban", bahkan tanpa ampun.

Oleh karena itu ada sejumlah kalimat mutiara peliputan selidik, antara lain, "Wartawan peliputan selidik memiliki kecenderungan seperti ikan piranha, mereka akan mengejar apa saja yang mengeluarkan darah." (Ben J. Wattenberg).

"Jurnalisme tidak bekerja seperti senapan. Jurnalisme bekerja lebih mirip "mortir." (Murray Kempton)

Salah satu contoh dari peliputan selidik hingga saat ini adalah keberhasilan Bob Woodward dan Carl Bernstein yang "memakan" Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon, sehingga harus "rela" mundur dari kursi Kepresidenan, dan digantikan oleh Gerald Ford pada 9 Agustus 1974. Padahal, upaya Woodward dan Bernstein untuk mengungkap kasus "Watergate" dimulainya pada medio Juni 1971.

Usai peliputan selidik itu, dunia pers, terutama di AS, seperti kerasukan apa yang dinamakan "menggugat kembali kebebasan pers atas dasar liberalisme informasi." Apalagi, di AS sejak awal 1970 pertumbuhan industri pers menimbulkan persaingan yang makin tajam. Dan, peliputan selidik adalah salah satu resep untuk meraih oplah terbesar. Repotnya, insan pers di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, ada yang berkiblat tentang kebebasan pers di AS secara hitam putih, sehingga sering terkesan membabi-buta.

Padahal, peliputan selidik telah berlangsung sejak lama. Peliputan semacam itu dalam sejarah pers dunia sudah ada jauh sebelum era Woodward dan Bernstein. Oleh karena itu, masyarakat umum dan kalangan pers sering melontarkan, "Peliputan selidik dalam perjalanannya demi kepentingan publik atau justru kepentingan bisnis pers?."

Professor Leonard Sellers, Guru Besar Ilmu Komunikasi/Jurnalistik di Universitas San Fransisco (AS), mengemukakan, "Wartawan peliputan selidik adalah wartawan yang berusaha menyingkapkan informasi yang sengaja ditutup-tutupi, karena informasi tersebut melanggar hukum atau etika."

Berdasarkan dari pendekatan yang diajukan oleh Prof Sellers, maka terkesan bahwa peliputan selidik tidaklah terlampau sulit. Padahal, banyak wartawan sulit menjalaninya. Bahkan, tak sedikit pula para pemimpin redaksi yang sangat selektif untuk menugasi wartawannya melakukan liputan selidik, dan mereka menyerahkan hal ini kepada yang benar-benar ahli.

Pada kenyataan di lapangan jurnalistik, wartawan liputan selidik sedikit-banyak atau terasa ataupun tidak harus memahami dan menjalani tahapan yang dari pendekatan ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah Metoda Ilmiah.

Wartawan peliputan selidik sah-sah saja bergaya cuek (acuh tak acuh) dan tahapan kerjanya terkesan serabutan. Namun, jika ditilik lebih jauh lagi, mereka justru menjalani satu kaidah metoda ilmiah yang antara lain memiliki tahapan, mencari / mendapatkan masalah, memfokuskan permasalahan inti melalui observasi/wawancara, menyusun hipotesa/asumsi untuk menentukan motif dan latar belakang masalah inti, mengkaji, memilah, dan menyusun keterkaitan data/informasi dan menulis hasil temuannya dengan kaidah jurnalistik.

Dalam menjalani metoda tersebut, wartawan peliputan selidik sering berhadapan dengan sejumlah bahaya berupa sulitnya mencari nara sumber yang mau buka mulut, namun ada kalanya banyaknya nara sumber yang terlalu ingin memberikan informasi tanpa nilai apapun.

Banyaknya nara sumber, terutama di bidang politik, atau politik ekonomi yang ingin berbagi informasi, bagi wartawan tersebut perlu diwaspadai karena sumber tersebut lebih banyak yang sekedar mencari kepentingan pribadi. Sementara itu, nara sumber bernilai cenderung tersembunyi di antara hiruk-pikuknya gosip yang terus berhembus.

Selain itu, nara sumber penting untuk mengungkap permasalahan dalam peliputan selidik seringkali merasa harus sembunyi karena merasa memiliki banyak informasi, namun mereka tidak memiliki restu dari pihak yang lebih tinggi.

Istilah dengan restu (by authority) itulah yang dicatat William L. Rivers dan Cleve Mathews dalam buku “Ethics for the Media” terbitan Prentice-Hall Inc, New Jersey, (AS) pada tahun 1988 sebagai sesuatu yang justru mengawali keberanian pers AS untuk menembus birokrasi informasi dengan menerapkan apa yang kemudian dikenal sebagai Peliputan Selidik (Investigative Reporting).

Awalnya, Benjamin Harris di tahun 1690 menerbitkan artikel pertama dan terakhirnya bertitelkan "Public Occurrences, Both Foreign and Domestic" yang intinya melontarkan kritik tentang keberadaan paham kolonialisme di Amerika.

Artikel tersebut membuat marah para petinggi, termasuk "General Court of Massachusetts" (setingkat Gubernur Jenderal zaman kolonial Belanda) sehingga surat kabar Benjamin Harris dibreidel dengan alasan "meresahkan masyarakat".

Keadaan semacam itu berlangsung cukup berkepanjangan di AS, sehingga pada tahun 1721 James Franklin, kakak kandung Benjamin Franklin (1706-1790) ilmuwan dan penulis yang pernah menjadi Presiden AS-menerbitkan surat kabar "New England Courant" yang sejak terbit sudah menyuarakan sikap oposan kepada Pemerintah AS dengan alasan "demi tegaknya jurnalisme perjuangan."

Akibat dari sikap tersebut, James Franklin sempat mendekam di penjara untuk beberapa lama. Namun, sikapnya ibarat "bensin dalam api semangat pers AS" karena perkembangan pers bebas dengan pola peliputan selidik kian menjamur. Bahkan, wartawan mulai

mengembangkan pola pemberitaan yang cepat, akurat, lengkap, dan cenderung "memakan korban."

Sekalipun demikian, gaya kebebasan pers ala cowboy seringkali menjadi kebablasan (keterusan) dan meresahkan. Oleh karena itu, Presiden AS Theodore Roosevelt pada tahun 1906 pernah melontarkan kritik, "Penulis yang sibuk mengais-ngais keburukan masyarakat hingga lupa untuk melihat keadaan sekelilingnya."

Roosevelt, yang juga penulis dan petualang di alam bebas, melontarkan kritik tersebut  kepada David Graham Phillip yang secara berseri menulis tentang sejumlah keburukan anggota senat yang dituangkan dalam artikel bertitel "The Treason of the Senate."

Gejala perdebatan tersebut ditangkap oleh Webster, pakar bahasa, penulis kamus, yang menuliskan istilah "muckrake" untuk mengartikan "mencari-cari, menyoroti, atau menunjukkan adanya korupsi, dengan bukti nyata atau hanya berdasarkan dugaan, oleh publik dan badan usaha."

Sementara itu, kalangan pers AS pada era Roosevelt justru banyak yang membenarkan sikap presidennya yang lebih menyukai sistem pengawasan pers secara seimbang dengan mengutamakan kepentingan semua pihak. Kala itu, Roosevelt memang dikenal sebagai Presiden AS yang dekat, bahkan akrab dengan pers. Buktinya, semua anggota Korps Wartawan Kepresidenan AS dapat bermain-main dengan cucu Roosevelt di Gedung Putih.

Namun, banyak wartawan AS yang kemudian, pasca-Roosevelt, berpendapat "Kini masalahnya sudah berubah. Apakah semua Presiden bisa akrab dengan pers seperti Roosevelt?."

Bahkan, secara lebih tegas Joseph Alsop pernah mencatat "Semua pemerintahan menyebarkan dusta, bahkan beberapa di antaranya berdusta lebih banyak daripada yang lain." Inilah salah satu puncak ungkapan jenis pekerjaan di kalangan wartawan peliputan selidik di AS.

Sementara itu, Albert L. Hester selaku wartawan senior dan pakar ilmu komunikasi dari Universitas Georgia (AS) yang menaruh minat terhadap perkembangan pers di negara-negara berkembang mengemukakan bahwa peliputan selidik cenderung lebih sulit dilakukan bila sistem pers menjadi bagian yang erat menyatu dengan pemerintahan nasional.

"Meskipun di Dunia Ketiga pers terpisah dari pemerintah nasional, namun ide untuk benar-benar melakukan ‘penyelidikan' menjadi sesuatu yang selalu mengernyitkan kening," catatnya dalam buku "Handbook for Third World Journalists", terbitan The Center for International Mass Communication Training and Research, Universitas Georgia, pada 1987.

Walaupun demikian, menurut Hester, peliputan selidik di negara berkembang tetap dapat dilakukan. Bahkan, wartawan peliputan selidik di negara berkembang seringkali memiliki kegigihan yang tak kalah dibanding rekan mereka di negara yang lebih mapan.

Lebih jauh, Hester membedakan peliputan selidik dengan peliputan biasa. Hal itu disusunnya atas dasar bahwa peliputan selidik adalah biasanya dilakukan dengan pikiran bahwa hasilnya akan menimbulkan satu tindakan dengan asumsi dasar "Perubahan harus dilakukan." Namun, peliputan selidik ada kalanya justru memperteguh apa yang sudah dilakukan dan dihargai oleh masyarakat.

Biasanya format laporan (tertulis maupun foto) peliputan selidik lebih panjang dan memerlukan waktu penyelesaian lebih panjang, serta dana lebih banyak.

Biasanya peliputan selidik memerlukan kesatuan pendapat di kalangan manajemen lembaga pers dimana wartawan peliputan selidik bekerja. Hal ini banyak berkaitan dengan risiko tanggung jawab yang pada akhirnya harus ditanggung.

Biasanya peliputan selidik juga menyangkut “paket promosi” dari media massa sebagai satu bagian dari wujud pers industrialis.

Biasanya peliputan selidik akan memanfaatkan pula foto dan illustrasi guna mempermudah pemahaman masyarakat untuk menerima sesuatu yang sulit diterima akal, atau dengan kata lain mengungkap fakta, data, dan informasi dengan berbagai cara agar hasil liputan menjadi akurat dan lengkap.

Biasanya para redaktur dan penanggungjawab peliputan selidik lebih melibatkan wartawan terbaiknya, karena kegiatan ini senantiasa dianggap berisiko dan memerlukan kreativitas tinggi.

Al Hester dalam serangkain catatannya itu paling tidak menyiratkan bahwa mereka yang terlibat dalam peliputan selidik, wartawan, redaktur, hingga pemimpin redaksi,  senantiasa sepakat bahwa yang mereka kerjakan adalah kerja tim (team work) yang penuh risiko yang memeras keringat, menghabiskan waktu dan dana.

Selain itu, peliputan selidik senantiasa mementingkan "proses" dan "hasil" dalam posisi yang sama pentingnya, sehingga mereka yang terlibat harus benar-benar orang yang terlatih bekerja di bawah tekanan (under pressure person).

Peliputan selidik di negara berkembang, dalam penilaian Hester, terbuka peluangnya bila temanya berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup, seperti pencemaran, pemanfaatan pestisida, dan kebakaran hutan, ancaman musnahnya kebudayaan pribumi, urbanisasi, kedudukan kaum wanita, serta keluarga berencana. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)
Read 3537 times
Rate this item
(1 Vote)
Published in Dokter News
Login to post comments

Galleries

 
  Penulis : Redaksi  /  Editor : Fred Daeng Narang Bulukumba, Sulsel (Phinisinews.com) – Masyarakat adat...
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha K Makassar (Phinisinews.com) – Kawasan Wisata Terpadu Gowa...
  Penulis : Andi Mahrus Andis.   Makassar (Phinisinews.com) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi...
  Penulis : Redaktur Medan (Phinisinews.com) - Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia, Hence...

Get connected with Us