Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred K
Makassar (Phinisinews.com) – Publik Relations perlu menguasai keterampilan jurnalistik pembuatan berita agar mampu membentuk opini publik yang favorable (baik) bagi institusi dan kegiatannya.
Selain itu, PR (Humas) juga menjadi mediator (jembatan) bagi terjalinnya komunikasi internal dan eksternal dalam kemitraan, termasuk dengan pers, kata Direktur Lembaga Pelatihan Jurnalistik dan Kehumasan Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC), Fredrich Kuen, S.Sos, M.Si, ketika berbicara sebagai Trainer pada pelatihan Jurnalistik untuk PR Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Wilayah IX Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku (Sulselbartamal), di Hotel Teras, Makassar, Rabu.
Pelatihan menampilkan tiga Master Trainer P2MTC yang berpengalaman sebagai wartawan senior, video jurnalis serta PR Akademisi/Praktisi, yaitur Fredrich yang juga Asesor Pers dengan materi latih, teknik menulis berita Press Claar, Interview beretika serta Editing taktis hingga Rewrite, Fyan Andinasari, S.IP, M.Ikom yang juga Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi di salah satu Perguruan Tinggi wasta dengan materi latih pentingnya ilmu jurnalistik bagi PR, serta Video Journalist Mitha Mayestika, S.IP, M.Ikom yang juga dosen di PTS & PTN dengan materi latih Fotografinews dan videografinews serta diikuti puluhan PR dalam satu kelas besar (Big Class).
Menurut Fredrich, BPJS Kesehatan sudah melangkah jauh dalam pemberian pelayanan informasi bagi masyarakat melalui adaptasi cepat era digital melalui ketersediaan online news (Jamkesnews) disertai Petunjuk Teknis (Juknis) atau semacam Style Book yang memandu PR yang ditugaskan menulis berita sesuai panduan dan menjadi style (ciri penulisan) jurnalistik bagi PR dan bidang komunikasi di BPJS Kesehatan.
Juknis tersebut sudah memandu jumlah kata maksimal pada judul berita, pada teras berita hingga jumlah kata pada keseluruhan berita, penempatan nama kota pada date line, penempatan nama onlinenews, font, ukuran, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tanda baca yang tepat, sistem kutipan, pola penulisan inverted pyramid (piramida terbalik) serta menjadi KPI (Key Personal Indikator) bagi PR dalam produksi berita.
Artinya sistem layanan paripurna, baik fisik, administrasi hingga informasi terus berusaha dilakukan BPJS Kesehatan Wil IX, sehingga masyarakat, baik yang tersentuh langsung, maupun masyarakat umum mengetahui berbagai upaya maksimal yang terus dilakukan BPJS untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Menurut Fredrich yang juga mantan GM Perum LKBN Antara, pelatihan ini sangat strategis, tinggal memadukan kerja jurnalistik profesional dengan juknis yang sudah tersedia sehingga hasil tulisan dari fakta pelayanan tersaji secara baik sebagai “press claar” pola piramida terbalik yang cenderung mengarah pada indepht news (berita mendalam) untuk memberi kesempatan publik mengetahui informasi dari BPJS secara mendalam dan lengkap serta memberi kesempatan teman teman wartawan memanfaatkan informasi tersebut untuk disiarkan kembali di medianya.
Menurut Fyan Andinasari, era digital membuat sistem layanan PR, baik internal maupun eksternal harus melakukan adaptasi cepat, sebab layanan informasi dari kineja institusi tidak hanya menggunakan press release untuk teman teman pers (wartawan), namun kini dengan adanya online news internal institusi seperti BPJS melalui Jamkesnews, maka saluran berita dapat dilakukan secara efektif kepada masyarakat tanpa pembatasan sekat dan waktu.
Artinya kemampuan menguasai kerja jurnalistik harus pula dikuasai profesi PR, agar fakta layanan, prestasi hingga meluruskan sesuatu yang kurang baik dapat dilakukan secara elegan, baik dan profesional, di samping tetap menjalin hubungan humanis secara langsung dengan teman teman wartawan.
Kerja PR melalui adaptasi dengan perkembangan teknologi komunikasi (IT) sebagai upaya agar publik memiliki pendapat dan sikap yang baik terhadap institusi, serta PR idealnya terus melakukan hubungan simbiose mutualisme dengan Pers secara humanis dalam memberikan pelayanan informasi maksimal kepada masyarakat, ujarnya.
Mitha Mayestika mengingatkan kepada peserta latih bahwa foto jurnalistik tidak sekedar memotret (taking picture) melainkan harus membuat gambar (making picture) karena foto berita akan dinilai baik, jika baik pula isi gambar dan beritanya.
Metode EDFAT (Entire, Detil, frame, Anggle, Time) dapat digunakan saat peliputan foto sebab metode ini melatih cara pengambilan gambar secara rinci (detil) yang tajam serta tahapan tahapan yang harus dilakukan pada setiap unsur, kata Mitha sambil memperagakan teknik tersebut.
Selain itu, kualitas fota atau video news sangat ditentukan oleh aspek teknis dan aspek visual, sehingga melakukan pemotretan atau pengambilan gambar video harus dilakukan secara tepat yakni tepat gambar dan tepat waktu, sebab peristiwa yang sudah lewat, tidak bisa diulang lagi.
Berbagai praktek jurnalistik tulis, foto dan video dilakukan pada pelatihan 12 jam tersebut, termasuk praktek satu moment dengan empat liputan yakni doorstop (wawancara cegatan), foto longshoot, medium shoot, close up. (AI/FK).