Pernik Dialog Budaya ke 1 : Berawal Dari Kampung Jongayya ke Jongayya Project

Ujung kiri dan kanan, Seniman Patung Andi Amrullah Syam dan Seniman Puisi Ahmadi Haruna, ketiga dari kiri (berkacamata, baju kaos), Sastrawan dan Kritikus Sastra, Andi Mahrus Andis dan kedua dari kiri (kopiah hitam), jurnalis senior, Fred Kuen Daeng Narang. (Foto : Penulis). Ujung kiri dan kanan, Seniman Patung Andi Amrullah Syam dan Seniman Puisi Ahmadi Haruna, ketiga dari kiri (berkacamata, baju kaos), Sastrawan dan Kritikus Sastra, Andi Mahrus Andis dan kedua dari kiri (kopiah hitam), jurnalis senior, Fred Kuen Daeng Narang. (Foto : Penulis).
 

Oleh :  Andi Mahrus Andis *

 Makassar (Phinisinews.com) - Dulu, di zaman penjajahan Belanda (1930-an), nama "Jongayya" dikenal sebagai sebuah kampung yang menakutkan. Setiap kali menyebut kampung itu, selalu diikuti diksi peringatan di belakangnya "Hati-hati, jai to kandalaq".

Saat itu, kampung Jongayya banyak dihuni orang berpenyakit kulit yang disebut kusta (mycobacterium leprae). Menurut cerita, pada saat itu Pemerintah Kolonial bersama Raja Gowa menghibahkan tanah untuk mengucilkan (mengarantina) para penderita kusta di wilayah Jongayya, agar wabah penyakit itu tidak menyebar luas.

Itu dari sisi "hitam" sejarah Kampung Jongaya. Namun di lembaran kisah yang lain, di awal kerajaan, Kampung Jongayya adalah kawasan hutan yang dijadikan tempat para raja beserta keluarganya berlatih memburu rusa.

Kemahiran berburu rusa (bahasa Bugis dan Makassar: jonga) di zaman kerajaan Gowa, Bone dan Luwu adalah kebanggaan utama yang harus dimiliki para raja dan pewaris tahta kerajaan.

Menurut cerita KH Syeikh Sayyid A. Rahim Assegaf Puang Makka, tokoh agama dan salah seorang narasumber dalam dialog budaya itu, kawasan Jongaya merupakan tempat berkeliarannya rusa-rusa milik raja. Karena itu maka pihak kerajaan memagari wilayah tersebut dengan kawat. Hingga saat ini, di Kelurahan Jongayya masih ada nama Kampung Kawaq.

Pernik-pernik sejarah tentang Jongayya di masa silam terurai dalam forum dialog budaya tersebut. Meskipun baru dialog awal untuk setahun ke depan, forum ini cukup menarik. Beberapa budayawan turut terlibat, antara lain: Prof Andi Halilintar Latief, Andi Amrullah Syam, Ahmadi Haruna, Fred Kuen Daèng Narang dan lainnya. Hadir pula Tokoh Masyarakat selaku Pembicara mendampingi Puang Makka yaitu M Joko Surojo dan Syamsul Bachri Daèng Anchu.

Joko Surojo banyak mengulas hubungan kesejarahan antara Pulau Jawa dengan Pulau Sulawesi, baik di bidang perdagangan maupun pada dimensi kebudayaannya. Idiom-idiom kultural seperti Sambung Jawa, Kanrè Jawa, Puru Jawa, Aju Jawa, Rappo Jawa, bahkan  hingga Jawa Rantè, pasti menarik apabila ditelusuri makna semiotiknya dari aspek sejarah dan budaya Bugis-Makassar.

Sementara, Syamsul Bachri Daèng Anchu mencoba mengais filosofi karaèng dari sudut linguistik sesuai adat yang berlaku di Makassar. Konon, asal-usul istilah karaèng berawal dari bahasa Arab yaitu karim, yang berarti mulia. Menurut Daèng Anchu, terjadi proses idiolek (morfofonemik) dari kata karim menjadi karaèng dalam interaksi sosial masyarakat Arab dan Makassar. "Tapi saya belum tahu secara pasti, apakah cerita ini benar atau tidak", katanya.

Tentang cerita tersebut, saya pernah mendengarnya juga dan bahkan saya sudah tulis di beranda facebook beberapa tahun lalu. Namun, tentu saya juga sama pendapat Daèng Anchu bahwa cerita ini masih bersifat konon dan perlu penelitian oleh ahlinya.

Satu hal yang, menurut saya, menantang dalam forum dialog itu. Istilah Projek Jongayya, sebagai cikal bakal pelestarian sejarah dan pengembangan budaya lokal di Makassar, maupun di Sulsel umumnya, penting diperjuangkan.

Jongayya memiliki manik-manik sejarah kerajaan yang kaya dengan nilai kearifan leluhur Bugis-Makassar. Untuk bahan pemikiran ke depan, peserta dialog, termasuk saya, sangat mendukung gagasan Jongayya Project sebagai ikonisitas Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dalam konteksasi Program Pemajuan Kebudayaan sesuai Undang-undang No. 5  Tahun 2017.

Acara dialog yang berlangsung Kamis 16 Januari 2025, sore itu, bertempat di Aula Rahim Assagaf Center (RAS), Jl. Baji Bicara No.7 Makassar. Dialog ini, menurut Prof Halilintar selaku moderator, akan terus berlangsung selama setahun dan direncanakan pelaksanaannya setiap hari Kamis di beberapa tempat (RAS Center, Sekolah Tinggi Filsafat Teologia Indonesia Timur (STFT Intim) dan Istana Jonggaya. (Editor : Fred Daeng Narang)

  • Andi Mahrus Andis adalah Sastrawan dan Kritikus Sastra.
Read 17 times
Rate this item
(0 votes)
Published in Feature
Login to post comments

Galleries

 
  Penulis : Fred Daeng Narang   /  Editor : Ahmad Imron Makassar (Phinisinews.com) – Dialog Budaya sepanjang...
  Penulis : FK Daeng Narang   /  Editor : Mitha MK Makassar (Phinisinews.com) – Masyarakat Budaya Sulawesi...
  Penulis : FK Dg Narang   /  Editor : Mitha MK Makassar (Phinisinews.com) – Kalangan tokoh masyarakat,...
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha MK Bekasi, Jawa Barat (Phinisinews.com) – Master Asesor BNSP,...

Get connected with Us