Penulis : Yusril Syam / Editor : Ahmad Imron
Makassar (Phinisinews.com) - Pokja III TP (Tim Penggerak) PKK Kota Makassar menggelar Pelatihan Membatik Kain Lontara. Giat ini digelar selama sehari sejak pagi hingga sore hari di Baruga Anging Mammiri, Makassar, akhir pekan ini.
Pemerintah Kota Makassar sejak periode awal Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto diketahui telah menginisiasi pengembangan dan penggunaan motif batik lontara yang diharapkan jadi khas Makassar.
Mendukung hal itu, Tahun ini Pokja III TP PKK Kota Makassar kembali memberikan pelatihan membatik. Mulai dari cara melukis, mencampur warna, hingga merebus kain.
Sebanyak 40 peserta mengikuti pelatihan, terdiri dari pengurus Pokja III TP PKK Kota Makassar dan IRT dari tiap kecamatan.
Ketua TP PKK Kota Makassar Indira Yusuf Ismail hadir dan membuka secara resmi pelatihan tersebut. Dalam sambutannya Indira menuturkan pelatihan ini sebagai pembekalan keterampilan membatik.
Sehingga dirinya berharap, lewat pelatihan ini dapat melahirkan berbagai keunikan batik khas Makassar. Terutama huruf lontara yang khas dan dianggap menjadi salah satu aksara yang mendunia.
“Lontara kita harapkan bisa jadi ikon, karena Kota Makassar kita punya lontara. Kita berharap dari sini triggernya nanti batik lontara mendunia, karena kata lontara itu sangat mendunia,” ujarnya.
Indira menyemangati para peserta latihan yang hadir. Dia menekankan pentingnya kreativitas untuk mengangkat ikon unik Makassar kedalam batik.
“Semua yang mengikuti program ini harus sungguh-sungguh. Di sini harus kita ciptakan kreatif kita mulai dari pemilihan warnanya hingga desainnya,” ucapnya.
Sekretaris TP PKK Kota Makassar Iin Yusuf Majid merincikan, program ini merupakan pelatihan lanjutan dari sosialisasi membatik 2022 lalu. Tahun ini peserta pelatihan diarahkan untuk mengimplementasikan ilmu yang didapatkannya ke dalam bentuk karya.
“Tahun ini langsung mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan dari pelatihan materi tahun lalu. Selanjutnya mereka yang hadir hari ini nantinya menjadi narasumber di kegiatan membatik Pokja III di kecamatan masing-masing,” jelasnya.
Selain itu, pelatihan membatik juga sebagai upaya mendorong kemandirian ekonomi warga lewat kreativitas para IRT dengan memproduksi kain batik celup maupun batik tulisan tangan.
“Kita berharap 15 kecamatan yang ikut pelatihan ini bisa maksimal mengajarkan apa yang mereka peroleh ke kecamatan masing-masing, sehingga mampu menciptakan dampak pendapatan ekonomi keluarga,” jelasnya.
Iin berharap lewat giat ini lorong PKK dapat menumbuhkan komunitas yang menyenangi kain batik serta dapat memproduksi kain batik lontara maupun batik khas Makassar secara mandiri.
“Outputnya, batik lontara dari setiap kecamatan kita harap ada, tercipta ikon kecamatan khas masing-masing,” harapnya.
Adapun pelatihan membatik ini menghadirkan instruktur dari TP PKK Provinsi yakni Sekretaris PKK Sulsel, Zulfitriany Dwiyanti Mustaka. Kegiatan turut dirangkaikan dengan penyerahan alat membatik kepada seluruh peserta dari 15 kecamatan. (YS/AI).
Penulis : Gibran / Editor : Ahmad Imron
Makassar (Phinisinews.com) - Kementerian Sosial melalui Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Makassar, dan juga Sentra Wirajaya Makassar mengikuti bazar online melalui Program Pahlawan Ekonomi Nusantara (PENA).
Beragam produk lokal khas Sulawesi Selatan dipromosikan secara online yang dipandu oleh pendamping SKA masing-masing Satuan Kerja (Satker), baik Herni sebagai pendamping SKA dari BBPPKS Makassar, dan juga Hasni pendamping SKA dari Sentra Wirajaya Makassar.
Bazaar online tersebut dilakukan di Sentra Kreasi Atensi (SKA) Sentra Wirajaya Makassar, Sabtu.
Beberapa produk lokal yang ditampilkan saat bazar, diantaranya baju batik corak khas Bugis Makassar, baju pesta, jilbab sibori, tas pesta, kain ecoprint, totebag ecoprint, kaos ecoprint, lampu hias, songkok pamiring dari pelepah daun lontara, aneka kripik (buah naga, daun jeruk, daun kelor), kue baruasa, dan kue putu kacang.
Produk lokal yang ditampilkan di bazar online merupakan hasil kreasi dan karya dari warga kelompok rentan, baik karya dari penyandang disabilitas yang menjadi Penerima Manfaat (PM) dan eks PM Sentra Wirajaya, serta karya Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang merupakan alumni pelatihan pemberdayaan masyarakat di BBPPKS Makassar.
Kepala BBPPKS Makassar yang juga diamanahkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sentra Wirajaya di Makassar, Anna Puspasari sangat mengapresiasi kegiatan bazar online tersebut.
Bahkan Anna menganggap, bahwa kegiatan bazar online PENA ini menjadi wadah yang tepat untuk memperkenalkan dan mempromosikan karya-karya warga kelompok rentan.
“Selain sebagai wadah promo, diharapkan kegiatan bazar online menjadi momentum untuk menegaskan bahwa Kemensos selalu hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya bagi warga kelompok rentan”, harapnya.
Saat bazar online berlangsung, beberapa warga yang menjadi pengunjung café di SKA Sentra Wirajaya ikut larut dan serius menyaksikan moment bazar online yang digelar.
Yayat salah seorang pengunjung café melihat jika kegiatan bazar online ini bisa menjadi contoh bagi tempat nongkrong lainnya yang ada di Makassar.
“Dipahami bersama, bahwa kehadiran café dan warkop memang berorientasi profit, tetapi kepedulian bagi hasil karya warga rentan yang membutuhkan pangsa pasar juga mesti diperhatikan dan dibantu”, ujarnya. (Gib/AI).
Penulis : Muh Ali / Editor : Ahmad Imron
Maros, Sulsel (Phinisinews.com) – Jumat pertama di Masjid Darussalam Mangngallekana, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, sekitar 36 kilometer dari Makassar, berlangsung khusuk dan penuh rasa syukur jamaah.
Sebab, dalam rangka bulan Suci Ramadhan 1444 H, pengurus masjid berusaha membenahi masjid agar terlihat cantik dan menarik agar jamaah selalu datang ke masjid dengan memasang berbagai lampu hias dan umbul-umbul secara apik.
Sebenarnya masjid ini telah resmi digunakan sejak 5 Juni 2018 bertepatan 20 Ramadhan 1439 H yang diresmikan pemakaiannya oleh Camat Monconloe Andi Paranrengi.
Pemakaian Jumat pertama baru dimulai 7 April 2023 mengingat penduduk NIR sudah semakin banyak.
Menurut Ketua Pengurus Masjid, Dr Muhammad Ali, M.Pd, di Maros, Sulsel, sekitar 36 kilometer dari Makassar, Jumat, nama Mangngallekana diambil dari nama masjid yang pertama yang ada di Kerajaan Gowa.
Dia menambahkan, hubungan Makassar dengan dunia Islam diawali dengan hadirnya Khatib Tunggal (Dato Ribandang) yang berasal dari Minangkabau yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada September 1605.
Dato Ribandang mengislamkan Raja Gowa ke-14 Imangngarangi Daeng Manrabbia dengan gelar Sultan Alauddin yang memerintah tahun 1593-1639 dan Mangkubumi, Kerajaan Gowa, I Mallingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka yang juga sebagai Raja Tallo.
Kedua raja ini memeluk agama Islam pada 9 November 1607, bertepatan dilakukan shalat Jumat pertama di Masjid Tallo yang bersamaan pula diadakan shalat Jumat di Masjid Mangngallekana di Somba Opu.
Pada saat itu dinyatakan secara resmi bahwa penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah memeluk agama Islam. Tanggal inilah yang dijadikan sebagai hari jadi (HUT) Kota Makassar yang setiap tahunnya diperingati.
“Kita berusaha memelihara dan melestarikan kearifan local dan Kata Mangngallekana memilki lapisan-lapisan makna yang sangat dalam. Kata mangngallekana terdiri atas tiga morfem yaitu dua morfem bebas dan satu morfem terikat yakni : mang + alle+ kana, yang jika diterjemahkan mengandung beberapa makna yakni mematuhi nasihat, menjalankan perintah, mendengarkan nasihat, patuh pada nasihat guru, patuh pada nasihat orang tua, dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya,” ujarnya.
Kata Mangngallekana jika ditinjau dari makna filosofisnya sebenarnya adalah milik kita semau bahkan seluruh Nusantara karena kalau ditinjau dari cerita masa lampau hampir semua nenek moyang kita keberadaanya dari To Manurung (bugis), Tu Manurung (Makassar). Makassar berasal dari kata akkasarak artinya menjelma, berwujud. Menampakkan diri, bukan kasar. Kasar itu bahasa Indonesia, ucap Muhammad Ali.
Dalam Jumat pertama tersebut sebagai Chatib dan Imam Shalat Jumat adalah KUA Kec. Moncongloe Drs H Mursalim, MH. dihadiri Camat Moncongloe, Herwan, S.Sos, MSi, dan kapolsek Moncongloe IPDA Mansyur berserta jajarannya, Ketua Lembaga Adat Gallarrang Moncongloe, Gallarang Bira, Imam Desa Moncongloe, Bhabinkamtibmas Aiptu Muh Said dan warga NIR.
Setelah selesai shalat Jumat dilanjutkan Nuzullul quran, lalu sholat Ashar, Sholat Magrib dan buka puasa bersama. (MA, AI).
Oleh : Mahrus Andis (Budayawan)
Makassar (Phinisinews.com) – Hari Film Nasional, tiap 30 Maret, sesuai Kepres No.25 tahun 1999, menjadi momentum dan wahana reintrospeksi diri bagi institusi film bersama segenap insan layar lebar (film maker) untuk meningkatkan kualitasnya di khasanah perfilman nasional.
Tidak ketinggalan pula para aktor dan aktris, pekerja dan pemikir film di Makassar. Mereka tidak pernah berhenti mengintip peluang untuk tetap menyuarakan hak-hak mereka dalam perspektif legalitasnya selaku orang-orang film yang dilindungi undang-undang.
Beberapa waktu lalu, seusai shalat Jumat, saya berbincang lepas dengan dua tokoh perfilman Sulawesi Selatan. Mungkin hari itu, teaterawan Hasan Kuba dan Iwan Azis (dua tokoh yang saya maksud) hanya kebetulan bertemu di Kafe Baca-Adyaksa, tempat para sastrawan dan wartawan berbincang sambil menikmati aroma kopi.
Terlepas kebetulan atau kebenaran, saya merasa bahagia bertemu keduanya. Iwan Azis Bintang dan Hasan Kuba adalah Pengurus Parfi (Persatuan Artis Film), pegiat film senior di Sulsel yang juga aktif sebagai jurnalis dan teater. Keduanya sudah berusia di atas 70 tahun, namun secara fisik, mereka masih tampak tegar seperti “bodyguard” Dewan Kesenian Makassar di masa-mass silam.
Banyak hal yang dibicarakan. Salah satu yang fokus adalah dinamika perfilman. Menurut Bung Iwan, pengakuan orang luar daerah terhadap produksi film di Makassar cukup membanggakan.
Hadirnya sineas-sineas muda menjadi tolok ukur bahwa gebrakan perfilman daerah tidak pernah surut, apalagi mati. Banyak film produksi sineas kita di daerah ini mencuat sampai ke pasar nasional. Tetapi sangat disayangkan, tema-tema lokal yang digarap kurang menukik ke esensi kearifan lokal masyarakat Sulsel.
Iwan Aziz tidak menyalahkan, dan bahkan sangat apresiatif, atas kerja para sineas muda. Yang dia soroti adalah peran Pemerintah Daerah Sulsel yang kurang peduli terhadap orang-orang film.
“Harusnya, sesuai fungsi pembinaan yang diatur dalam Undang-undang No. 5 Th 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Daerah memberikan porsi perhatian yang besar terhadap kerja kreatif para seniman, termasuk seniman film dan teater. Pemda wajib menyadari bahwa film dan teater adalah media solutif untuk memosisikan Provinsi Sulsel sebagai daerah multikultural dan menjadi tolok ukur hadirnya sebuah kota metropolit yang berdimensi dunia,” ujarnya.
Dia juga menyentil para pegiat film di Makassar yang kurang cerdas menggarap tematik kearifan lokal leluhurnya.
“Silakan menerima tema pesanan film dari luar, tetapi harus tetap menjaga nilai integritas yang kita garap itu,” ucapnya dan mencontohkan beberapa film lokal yang mengangkat tema “siriq na pacce” (martabat kemanusiaan orang Bugis-Makassar). Alur kisahnya bagus dengan fitur-fitur lokal yang jelas, namun esensi dedikasi moralnya hilang tergerus oleh obsesi komersial dan kepentingan ekasegi.
Katakanlah, lanjutnya, karena kepentingan pasar dan pariwisata, esensi nilai-nilai kearifan leluhur Bugis-Makassar berupa etos kerja, sopan santun atau sifat "getteng" (istikamah) tidak mendapat porsi penting dalam penggarapan film.
Jadinya, kita kehilangan jatidiri dalam berkesenian. Kita telah mengorbankan kehormatan berpikir warisan leluhur dengan menjual ideologi kultural kita kepada pemodal dan pemburu "tepuk tangan" (baca: penghargaan semu).
Salah satu pemicu krisisnya moral berkesenian, khususnya perfilman, yaitu hilangnya kritik film di masyarakat. Menurut Iwan Azis, kritik film dibutuhkan untuk memberi masukan terhadap persoalan moralitas tematik cerita yang difilmkan.
"Saya sering heran. Banyak tema-tema kearifan lokal yang diangkat dalam cerita film, namun esensinya hilang," ucapnya yang diiyakan oleh Hasan Kuba dan teman lain yang ikut mendengarkan. Iwan menunjuk beberapa film yang bertema “silariang” sebagai konsep dasar penegakan nilai “siriq na pacce” orang Sulsel.
"Aneh dan sangat memprihatinkan. Satu tema, sebutlah contoh silariang, digarap beberapa produser, tetapi esensialitas kulturnya berbeda. Harusnya esensi siriqnya tetap sama, meskipun teknik filmisnya yang berbeda, sesuai tingkat kecerdasan kreatif dan tuntutan masa kini," jelas Bung Iwan, seraya mengunci ucapannya dan melirik ke Bung Hasan Kuba:
"Kita butuh kritik film. Ini tugas kita bersama. Pemerintah Daerah harus dibangunkan dan Dewan Kesenian Makassar tidak boleh terus berdiam diri," ucapnya.
Hasan Kuba dan saya saling memandang. Lalu kami bubar. Tersisa narasi ini sebagai notulen. Selamat Hari Film Nasional ke-73 Tahun. Sukses para aktor-aktris dan film maker di Makassar. (Editor : Fred Kuen Daeng Narang).
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred Daeng Narang
Makassar (Phinisinews.com) – Trainer Jurnalistik Mitha Mayestika Kuen mengatakan, wartawan dengan penguasaan dasar jurnalistik yang baik dan benar, tidak sulit menjadi wartawan kompeten dan profesional.
Sebab, kerja jurnalistik adalah kerja dengan karya di ruang publik, sehingga pengakuan kompeten dan profesional juga akan diterima dari publik yang melihat karya tersebut secara rutin di ruang publik melalui berbagai platform media berita sebagai karya jurnalistik yang mengedepankan kepentingan publik dan sebaliknya bila karya jurnalistik itu jelek, tidak sesuai kaidah, maka penilaian wartawan “amatir” atau “adventurir” otomatis melekat pada karya, pembuat berita serta medianya.
Hal itu dikemukakan Trainer yang juga General Manager (GM) Journalist Training Development Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC), Mitha Mayestika Kuen, S.IP. M.Ikom, di depan peserta Private General Journalism Training (durasi 16 jam) yang diikuti kelompok wartawan pemula di Kampus P2MTC Jalan Metro Tanjung Bunga Ruko Mall GTC Blok GA.9 No.7 Makassar, Rabu.
Menurut Mitha, publik adalah pemegang “remote controle” atas pengakuan kompetensi dan profesional melalui karya jurnalistik yang dilihat, dibaca, sekaligus menyukai atau mem blacklist media yang tidak berpihak pada publik dengan tidak membaca atau menontonnya lagi.
Untuk itu, penguasaan dasar jurnalistik bagi wartawan sangat penting, tidak ada istilah “karbitan” untuk menyandang predikat wartawan kompeten dan profesional sebab kartu atau sertifikat harus dibuktikan dengan karya di ranah publik serta attitude (sikap) di lapangan.
“Jadi kompetensi dan profesionalitas kerja wartawan tidak diukur dari kartu atau sertifikatnya, melainkan pembuktian karya di ruang publik,” ujarnya.
Artinya, dasar utama adalah wartawan harus paham bahwa profesinya adalah mewakili masyarakat umum, apapun berita yang disajikan harus mewakili kepentingan masyarakat dan bukan mewakili kepentingan personal atau kelompok kecil atau membuat berita untuk kepuasan diri sendiri.
Sajikan informasi berdasarkan kumpulan berbagai fakta, recheck, berimbang, gunakan narasi yang tepat dan tidak melakukan “trial by the press” dengan teknis penulisan antara lain “inverted Pyramida” yang secara ketat menggunakan rumus 5W+H+(ABC+2S).
Mitha yang juga Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UIT (Universitas Indonesia Timur) mengingatkan bahwa teknis penulisan inverted Pyramida sangat bagus untuk mengeksplore kemampuan wartawan dalam penyajian berita straight news, indepth reporting, investigasi news dan lainnya, dengan teknis penulsan lead (alinea pembuka/teras berita) secara variatif dan memperlihatkan “kelas” wartawan tersebut seperti lead kesimpulan, lead analisis, lead intepretatif dan model lead-lead lainnya.
Dan yang sangat mendukung kesempurnaan kerja kompeten dan profesional, lanjutnya, adalah penguasaan aturan (UU No.40/1999 tentang pers) serta konsistensi serta kepatuhan terhadap penerapan kode etik jurnalistik.
“Yakinlah, penguasaan dasar jurnalistik secara baik dan benar menjadikan raihan predikat kompeten dan profesional menjadi tidak sulit. Eksekusinya sisa mensertifikatkan kompetensi tersebut sesuai level yang diinginkan,” ucapnya.
P2MTC secara rutin setiap bulan melaksanakan Pelatihan Jurnalistik, Public Relation dan Citizen Journalism dengan durasi 8-16 jam pada private class (6-10 orang), small class (11-20 orang) dan big class (21-50 rang) serta juga menyelenggarakan Sertifikasi Kompetesi Wartawan (SKW) melalui TUK YPMPK durasi 90 menit/orang, sedanglan peserta yang berminat dapat menghubungi 0815 3332 2118, 0888 5009 812 atau email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. dan This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. , ujarnya berpromosi. (AI/FDN).
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred Daeng Narang
Makassar (Phinisinews.com) – Trainer Public Relation (PR), Fyan Andinasari Kuen mengatakan, pelaku profesi Public Relations (Humas) yang baik, harus mampu memadukan kompetensi dan seni dalam menjaga dan mencitrakan institusinya.
Untuk itu, personel humas harus menguasai dengan baik segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya (kompetensi), termasuk pemahaman internal maupun untuk berbicara secara eksternal sebagai corong institusinya.
Hal itu dikemukakan Trainer yang juga General Manager (GM) Public Relation Training Development Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC), Fyan Andinasari Kuen, S.IP. M.IKom di depan peserta Private General PR Training (durasi 8 jam) yang diikuti kelompok humas, di Kampus P2MTC Jalan Metro Tanjung Bunga Ruko Mall GTC Blok GA.9 No.7 Makassar, Rabu.
Menurut dia, dalam menggeluti profesi kehumasan, minimal mampu memainkan tiga seni yakni seni komunikasi, seni mengolah emosi/mood, dan seni pengendalian diri karena tugas pencitraan yang diemban.
Karena, lanjutnya, dalam membangun citra institusi, seorang humas dituntut piawai memainkan seni berkomunikasi untuk “mencairkan” kekakuan birokrasi hingga tercipta hubungan yang luwes, baik dengan media maupun publik.
Selain itu, hakikat humas adalah terciptanya komunikasi, yang bersifat dua arah dan terencana serta berorientasi pada organisasi dengan publik sebagai sasarannya.
“Idealnya, dapat melakukan pencitraan institusinya pada publik sekaligus menutup kelemahan pada institusinya, jika ada,” ujarnya.
Apabila tidak dapat berkomunikasi secara baik, lanjut Fyan mengingatkan, maka tidak dapat mencitrakan institusinya dengan baik pula, hal itu dapat berbalik merusak citra institusi dan menjadi bumerang.
Walaupun seorang petugas humas merupakan bagian ikon institusi, menurutnya, tetap bisa memiliki kehidupan pribadi.
“Pada kehidupan pribadi silahkan menjadi diri sendiri, namun tetap menjaga relationship dengan siapa saja, mengingat pekerjaan sebagai (petugas) humas yang melekat pada dirinya,” pesan Kepala Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Timur itu.
Sehingga menampilkan diri dalam versi terbaik di hadapan publik adalah suatu keniscayaan.
Untuk saat ini, hampir semua institusi memiliki website, dia menyarankan agar Humas rajin memproduksi informasi dalam bentuk berita yang disiarkan pada website tersebut sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik, pencitraan dan mempermudah kerja wartawan.
Berikan informasi tersebut seperti “makanan siap saji” sebagai upaya memberi kemudahan akses informasi kepada pers dan publik serta pencitraan.
Sangat ideal penyajian informasi melalui website oleh Humas, walau diakui berita Humas adalah fakta yang subyektif sesuai versi institusi tersebut, ucapnya.
Sebab agak sedikit repot jika inisiatif dari Pers untuk menggali informasi internal institusi tersebut. Namun bukan berarti humas “alergi” terhadap pers. Sebab selama informasi untuk kepentingan publik, tidak masalah, tetapi bila penggalian informasi “pesanan” atau dari pihak tertentu, maka akan sedikit merepotkan, namun tetap harus diberikan pelayanan informasi secara optimal.
“Yang perlu diingat oleh Humas, wartawan adalah ‘sahabat’ yang berdampak positif terhadap kinerja kehumasan selama manajemen pertemanan tersebut mampu dikelola secara harmonis profesional,” ucap Fyan mengingatkan.
P2MTC secara rutin setiap bulan melaksanakan Pelatihan Jurnalistik, Public Relation dan Citizen Journalism dengan durasi 8-16 jam pada private class (6-10 orang), small class (11-20 orang) dan big class (21-50 rang) serta juga menyelenggarakan Sertifikasi Kompetesi Wartawan (SKW) melalui TUK YPMPK durasi 90 menit/orang, sedanglan peserta yang berminat dapat menghubungi 0815 3332 2118, 0888 5009 812 atau email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. dan This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. , ujarnya berpromosi. (AI/FDN).
Foto :candid, F.Dg. Ngerang. Human Interest
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred Dg Narang
Makassar (Phinisinews.com) – Ketua DPRD Kota Makassar, Rudianto Lallo, SH, mengatakan, sangat mengapresiasi upaya pelestarian budaya secara mandiri dan kalau Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak peduli terhadap pelestarian budaya Sulsel, maka Kota Makassar siap ambil alih.
Pernyataan keras Rudianto Lallo tersebut diutarakan pada orasi “Restorasi Budaya” Sulsel saat pemberian Anugerah Budaya Sulsel 2023 yang diinisiasi secara mandiri oleh Yayasan La’lang Sipue Foundation dan acara yang kental dengan budaya tersebut digelar dibaruga (rumah adat) dalam Kawasan Benteng Somba Opu Makassar, Minggu malam.
“Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi bangkit dan pulihnya budaya melalui kolaborasi, sebab diakui ataupun tidak budaya kita sudah tergerus, sehingga harus banyak upaya untuk melestarikannya," ujarnya.
Ruang lingkup dan ruang gerak La’lang Sipue kalau sendirian akan sempit, jadi harus melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemerintah untuk upaya pelestarian budaya, sebab pemerintah memiliki dana yang memang dialokasikan untuk pelestarian tersebut.
Pemkot Makassar melalui DPRD Kota siap ambil alih peran Pemprov Sulsel jika kepedulian Pemprov kurang terhadap pelestraian budaya, ujar Rudianto Lallo politisi vokal yang digadang gadang siap maju menjadi bakal calon Walikota Makassar 2024, dihadapan pejabat yang mewakili Gubernur saat melakukan Orasi Restorasi Budaya.
Selain itu, pihaknya melakukan outo kritik terhadap Dewan Kebudayaan Makassar dengan menyatakan Dewan Kebudayaan Makassar harus menempatkan orang orang yang tepat seperti para Tim Juri penilaian Anugerah Budaya agar sasaran pelestarian budaya tepat sasaran atau berada pada jalur yang benar (on the track) sesuai kompetensi mereka yang berada di dewan tersebut.
Rudianto Lallo di depan massa yang menghadiri acara tersebut dari kalangan komunitas budaya dari seluruh Sulsel dan mahasiswa, mengajak untuk secara bersama sama melestarikan budaya Sulsel sesuai kompetensi masing masing. “Ayo kita berkolaborasi melakukan restorasi budaya untuk tujuan pelestarian budaya kita,” ujarnya.
Salah seorang praktisi dan pengamat Budaya saat mewakili penerimaan salah satu kategori penghargaan anugerah budaya Sulsel 2023, Usman Karaeng Naro yang puluhan tahun menggeluti usaha Pariwisata di Bali, mengatakan di Sulsel orang berlomba membuat travel (biro perjalanan wisata) untuk mendatangkan wisatawan mancanegara.
Itu tidak salah, tetapi harus dibarengi lebih aktif membuat obyek dan atraksi wisata dengan melakukan restorasi pariwisata secara utuh hingga infrastruktur penunjang. Sebab harga paket wisata mahal bagi wisatawan tidak masalah, selama mereka senang dan bahagia menikmati liburannya di Sulsel.
Harus diingat, lanjutnya, Sulsel kaya budaya dan etnis. Sedangkan bali hanya satu etnis, harusnya Pariwisata dan budaya Sulsel lebih menonjol dibanding Bali dan hal itu pasti bisa jika secara bersama kita berkolaborasi melestarikan budaya dan memperkaya obyek wisata dan atraksi wisatanya.
Artinya, saatnya Sulsel mengemas pariwisata dengan budaya yang beragam serta atraktif.
Selain itu, kelemahan lain karena di Sulsel belum membudaya “people suporting” dukungan masyarakat dari anak anak sampai orang tua terhadap pariwisata seperti di Bali. Dan itu bisa kita dorong melalui berbagai upaya pelestraian budaya, ujar Naro.
Anugerah Budaya Sulsel 2023 yang diberikan saat itu adalah kategori Penggunaan Tongkosila/Timpa Laja (Arsitektur khas Bugis-Makassar pada kepala gedung kantor yang menunjukkan strata) diraih oleh Pemda Kabupaten Gowa.
Sedangkan kategori Pemerintah daerah Paling Adaktif pada budaya dan seni diraih oleh Pemerintah Kota Makassar dan kategori Komunitas adat/komunitas budaya diraih oleh Balla Barakkah Galesong Kabupaten Takalar Pimpinan Prof Aminudduin Salle, Komunitas Sanggar Seni diraih oleh Kampung Daeng serta beberapa kategori lainnya.
Tim 9 (juri) Anugerah Budaya La’lang Sipue Award 2023 terdiri dari budayawan, tokoh budaya, pengamat budaya, tokoh adat, tokoh pers terdiri dari Ir Hamin M Daeng Nyanrang, Dipl Eng, Drs HM Hatta Hamzah Karaeng Gajang, MM, Fred Kuen Daeng Narang, MSi, HM Junus Rivai Karaeng Mile, SH, Hj Andi Williani Petta Lenna, Usman Basry Karaeng Naro, Margaretta Bamba Mangiri, SH, Muh Haris Daeng Lewa, Andi Hendra Mappasomba Karaeng Garassi. (AI/FDN).