Thursday, 14 March 2013 07:57

Jakarta (Phinisinews) - Sakit Maag merupakan merupakan penyakit favorit yang sering dialami oleh para eksekutif muda. Ketidakteraturan, stres, tekanan pekerjaaan dan sering melewatkan waktu makan membuat mereka lebih mudah untuk terkena sakit maag.

Pakar kesehatan pencernaan dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, KGEH mengungkapkan, prevalensi terjadinya sakit maag pada masyarakat di Amerika Serikat hampir mencapai 26 persen dan di Inggris hampir 41 persen. Sementara penelitian terakhir pada masyarakat Jakarta beberapa tahun lalu menemukan bahwa hampir 50 persen masyarakat Jakarta menderita sakit maag.

"Sebagian besar sakit maag yang terjadi di masyarakat adalah sakit maag fungsional," kata Ari.

Hal ini terjadi karena keluhan sakit maag yang timbul pada pasien akibat ketidakteraturan makan, konsumsi makanan camilan,  seperti makanan yang berlemak, asam, dan pedas sepanjang hari, konsumsi minuman bersoda dan minum kopi, merokok dan juga faktor stres.

Ari menjelaskan, agar seseorang dapat terbebas dari sakit maag selain obat-obatan, pengendalian stress, istirahat yang cukup dan mengatur pola makan, mereka juga harus tetap melakukan olah raga yang teratur.

Selain itu ada beberapa makanan dan minuman juga harus diperhatikan agar dibatasi atau dihindari untuk dikonsumsi, sebagaimana dipaparkan oleh Ari berikut ini:

* Hindari makanan minuman yang banyak mengandung gas dan terlalu banyak serat, antara lain sayuran tertentu (sawi, kol), buah-buahan tertentu (nangka, pisang ambon), makanan berserat tertentu (kedondong, buah yang dikeringkan), minuman yang mengandung gas (seperti minuman bersoda).

* Hindari makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung antara lain: kopi, minuman beralkohol 5%-20%, anggur putih, sari buah sitrus atau susu full cream.

* Hindari makanan yang sulit dicerna yang dapat memperlambat pengosongan lambung.
Karena hal ini dapat menyebabkan peningkatan peregangan di lambung yang akhirnya dapat meningkatkan asam lambung, antara lain makanan berlemak,kue tar,cokelat,dan keju.

* Hindari makanan yang secara langsung merusak dinding lambung,
yaitu makanan yang  mengandung cuka dan pedas,merica dan bumbu yang merangsang. Makanan yang melemahkan klep kerongkongan bawah sehingga menyebabkan cairan lambung dapat naik ke kerongkongan, antara lain alkohol, cokelat, makanan tinggi lemak,dan gorengan.

* Selain makanan minuman di atas, ada beberapa sumber karbohidrat yang harus dihindarkan bagi penderita sakit maag,antara lain beras ketan, mi, bihun, bulgur, jagung,ubi singkong,tales,dan dodol. Kegiatan yang meningkatkan gas di dalam lambung juga harus dihindarkan, antara lain makan permen khususnya permen karet dan merokok

(Sumber: Kompas.com)
Thursday, 14 March 2013 07:45

Di tengah-tengah hebohnya pemberitaan tentang Wikileaks yang membongkar mengenai dokumen-dokumen rahasia milik Amerika Serikat tentang berbagai hal di dunia, bulan ini juga muncul situs “sejenis” yang bernama Indoleaks.org.

Saya tidak mengomentari mengenai apa dasar munculnya situs tersebut, atau apa saja isinya. Tapi saya berkomentar pada salah satu berita yang berjudul “MoU Rahasia Pemerintah RI – Microsoft.”

Untuk mengantisipasi apabila ke depan situs ini tidak dapat diakses, maka di bawah ini adalah screen capture dari berita yang dimaksud:

Adapun isi beritanya adalah:

"MoU Rahasia Pemerintah RI – Microsoft
Diposkan oleh Indoleaks di 02.16
Inilah dokumen yang sempat menghebohkan dunia telematika Indonesia beberapa tahun lalu. Sebuah perjanjian rahasia antara pemerintah RI dengan Microsoft.

Isi perjanjian ini cukup mencengangkan. Diantaranya:
Pemerintah RI akan membeli 35.496 salinan Microsoft Windows dan 177480 salinan Microsoft Office.
Membuktikan pelanggaran atas Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa."

Saya tidak mengomentari mengenai pembelian salinan Microsoft Windows dan Office, namun saya mengomentari tanggapan dari penulis di Indoleaks yang menyebutkan bahwa hal tersebut “membuktikan pelanggaran atas Keppres RI Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa”

Sayang sekali dalam tulisan tersebut tidak disebutkan Pasal berapa dan ayat berapa pada Keppres 80/2003 yang dilanggar oleh MoU tersebut sehingga penulis mengambil kesimpulan demikian.
Memang kalau dilihat secara umum semua pengadaan barang/jasa yang sumber dananya baik sebagian atau seluruhnya berasal dari APBN/APBD harus mengacu kepada aturan Keppres 80/2003 dan perubahannya, juga apabila nilainya di atas Rp. 100 Juta, maka untuk pengadaan barang harus dilakukan dengan metode pelelangan umum. Namun, tidak semua yang bernilai di atas 100 juta harus dilakukan dengan pelelangan umum, metode pengadaan barang/jasa juga dapat dilakukan dengan penunjukan langsung.


Mari kita lihat Pasal 17 Ayat (5) Keppres 80/2003:

"Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan"

Penjelasan Keadaan Khusus salah satunya adalah:

"pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten."

Kalau kita melihat pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang merupakan pengganti Keppres 80/2003, aturan Penunjukan Langsung dijelaskan pada Pasal 38. Sedangkan yang khusus mengenai barang spesifik dijelaskan pada Ayat (4) butir d.

"Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan Penunjukan Langsung terhadap Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa Lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah."

Microsoft Windows dan Office termasuk dalam kriteria barang khusus, karena hanya diproduksi oleh 1 perusahaan saja dan memiliki hak paten terhadap produk tersebut sehingga untuk pengadaannya dapat dilaksanakan melalui metode Penunjukan Langsung.

Kalau sudah masuk kepada perdebatan apakah perlu menggunakan MS Windows dan Office, saya no comment saja, karena bisa menjadi perdebatan yang tidak berujung :)

(Sumber: Blog Khalid Mustafa)
Thursday, 14 March 2013 07:44

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 secara resmi telah diberlakukan. Walaupun ada ketentuan peralihan yang membolehkan Kementerian/Lembaga/Institusi/Daerah (K/L/I/D) untuk tetap memberlakukan Keppres No. 80 Tahun 2003 hingga 31 Desember 2010 (Pasal 132 ayat 1 Perpres 54/2010), namun proses pengadaan barang/jasa saat ini sebaiknya sudah mulai diarahkan menggunakan Perpres 54/2010 khususnya untuk anggaran tahun 2011 yang pelaksanaan pengadaannya sudah dapat dimulai pada akhir tahun 2010.

Setelah saya melihat pada Perpres 54/2010 dan seluruh lampirannya, rupanya ada beberapa perbedaan aturan yang cukup signifikan antara Keppres 80/2003 dengan Perpres 54/2010 pada tahapan pengumuman pengadaan. Bahkan, perbedaan itu diembel-embeli dengan “ancaman hukuman” yang cukup serius bagi panitia apabila tidak dilaksanakan sesuai ketentuan.

Karena salah satu tahapan awal yang dilaksanakan setelah perencanaan pengadaan adalah pengumuman pengadaan, maka pada tulisan ini saya akan mencoba menuliskan hal-hal yang saya anggap penting untuk diperhatikan oleh panitia pengadaan pada saat pengumuman. Pada tulisan ini, saya akan membatasi pemaparan khusus untuk pengumuman pelelangan sederhana dan pelelangan umum.

Media Pengumuman

Salah satu perubahan yang cukup besar pada Perpres 54/2010 adalah perubahan media pengumuman dari media cetak ke media elektronik. Pada Keppres 80/2003 pengumuman rencana pengadaan dan pengumuman pengadaan dilaksanakan melalui Surat Kabar, baik nasional atau propinsi.

Pada Perpres 54/2010, penayangan pengumuman pengadaan di surat kabar menjadi hal yang opsional tergantung kebutuhan panitia. Media pengumuman untuk pemilihan penyedia barang/jasa sekurang-kurangnya dilakukan melalui Website K/L/D/I, Papan pengumuman resmi untuk masyarakat, dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE. Apabila pengadaan dilakukan secara elektronik atau e-procurement, maka media 1 dan ke 3 secara otomatis telah dilakukan, karena pelaksanaan e-procurement sudah menggunakan website LPSE yang melekat pada K/L/D/I serta sudah teragregasi secara nasional melalui website pengadaan nasional di http://inaproc.lkpp.go.id.

Namun, apabila pelaksanaan dilakukan tidak secara elektronik, maka proses pemuatan pada website K/L/D/I harus dilakukan secara manual, dan pengelola website tersebut harus menginformasikan kepada LKPP agar dapat dimasukkan juga ke website pengadaan nasional.

Satu informasi yang cukup penting pada Perpres 54/2010, khususnya pada aturan peralihan Pasal 132 Ayat (4) adalah “Penayangan pengumuman Pengadaan Barang/Jasa di surat kabar nasional dan/atau provinsi, tetap dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan di surat kabar nasional dan/atau provinsi yang telah ditetapkan, sampai dengan berakhirnya perjanjian/Kontrak penayangan pengumuman Pengadaan Barang/Jasa.”

Hal ini berarti, pengumuman di Koran Tempo untuk pengadaan yang bernilai di atas 2,5 M (Pekerjaan Non Kecil sesuai Perpres 54/2010) masih tetap dilaksanakan hingga 9 Juli 2011. Yang masih belum jelas adalah penayangan di surat kabar propinsi untuk paket pekerjaan yang bernilai di bawah 2,5 M apakah masih tetap dilaksanakan karena bergantung pada kontrak antara Gubernur dengan surat kabar yang bersangkutan. Namun apabila kontrak tersebut tidak ada, atau telah habis masa berlakunya, maka pengadaan yang bernilai di bawah 2,5 M tidak perlu ditayangkan di surat kabar manapun dan tunduk pada aturan Perpres 54/2010 Pasal 73 Ayat (3).

Isi Pengumuman

Nah, hal inilah yang harus diperhatikan oleh panitia, karena hal-hal yang dahulu dianggap sebagai hal yang biasa dan sering dimasukkan sebagai bagian dari pengumuman dan pendaftaran, pada Perpres 54/2010 malah menjadi suatu hal yang dilarang dan bahkan dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Untuk lebih jelas, berikut ini adalah isi Lampiran II Perpres 54/2010 B, 1, a, butir 2, 3 dan 5 yang secara konten sama dengan Lampiran III, IV, dan V pada bagian yang sama:

  1. ULP mengumumkan Pelelangan Umum Pascakualifikasi melalui website K/L/D/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE atau apabila diperlukan melalui media cetak dan/atau elektronik paling kurang 7 (tujuh) hari kerja.
  2. Pengumuman Pelelangan Umum Pascakualifikasi paling sedikit memuat:
    1. nama dan alamat ULP yang akan mengadakan pelelangan;
    2. uraian singkat mengenai pekerjaan yang akan dilaksanakan;
    3. nilai total Harga Perkiraan Sendiri (HPS);
    4. syarat-syarat peserta pelelangan; dan
    5. tempat, tanggal, hari dan waktu untuk mengambil Dokumen Pengadaan.
  3. Dalam pengumuman DILARANGmencantumkan persyaratan:
    1. peserta harus berasal dari provinsi/kabupaten/kota tempat lokasi pelelangan;
    2. pendaftaran harus dilakukan oleh:
      1. direktur utama/pimpinan perusahaan;
      2. penerima kuasa dari direktur utama/pimpinan perusahaan/kepala cabang yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akte pendirian atau perubahannya;
      3. kepala cabang perusahaan yang diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen otentik; atau
      4. pejabat yang menurut perjanjian kerja sama berhak mewakili perusahaan yang bekerja sama
    3. pendaftaran    harus    membawa    asli    dan/atau salinan/fotocopy/legalisir Akta Pendirian, Izin Usaha Tanda Daftar Perusahaan (TDP), kontrak kerja sejenis, Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan/atau dokumen-dokumen lain yang sejenis;
    4. persyaratan lainnya yang sifatnya diskriminatif; dan
    5. persyaratan diluar yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden ini kecuali diperintahkan oleh peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
  4. Apabila dari hasil identifikasi ternyata tidak ada penyedia dalam negeri yang mampu mengerjakan, maka Pelelangan Umum diumumkan di website komunitas internasional    (seperti www.dgmarket.com, www.undp.org dan lain-lain) serta diberitahukan kepada penyedia yang diyakini mampu mengerjakan.
  5. Apabila terjadi kecurangan dalam pengumuman, maka kepada:
    1. ULP dikenakan sanksi administrasi, ganti rugi dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    2. peserta yang terlibat dimasukkan ke dalam Daftar Hitam dan/atau dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari aturan di atas maka dapat disimpulkan:

  1. Pengumuman tidak lagi memuat pagu anggaran, melainkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS);
  2. Panitia dilarang memuat persyaratan yang memberatkan peserta seperti kewajiban mendatangkan direktur atau yang mewakilinya untuk mendaftar, membawa salinan surat-surat tertentu, dan persyaratan apapun. Hal ini sekalian menjawab pertanyaan salah seorang pembaca blog ini yang menanyakan “apakah boleh panitia mempersyaratkan sertifikat ISO pada saat pendaftaran ?” Dari aturan ini sudah jelas bahwa sertifikat tersebut dapat dijadikan syarat teknis, namun tidak boleh dijadikan sebagai persyaratan untuk mendaftar;
  3. Apabila panitia/ULP melanggar, maka dapat diproses sesuai hukum yang berlaku. Salah satu akibatnya, bisa saja pengumuman tersebut dianggap gagal dan harus diulang.

Berdasarkan hal ini, mohon panitia pengadaan/ULP dapat mencermati perubahan-perubahan yang ada di dalam perpres 54/2010 yang dapat menjerumuskan panitia ke dalam pelanggaran aturan yang berlaku.

(Sumber: Blog Khalid Mustafa)
Thursday, 14 March 2013 07:41

Setelah Perpres 54/2010 diluncurkan dan saya sudah memuat matriks perbedaan antara Keppres 80/2003 dengan Perpres 54/2010, banyak muncul pertanyaan melalui blog, sms, telepon, facebook, dan bertemu langsung dengan topik “Sekarang berapa nilai yang bisa penunjukan langsung pak ?”, atau “Benarkan penunjukan langsung sekarang nilainya dibawah 100 Juta ?”

Terus terang, kalau pertanyaannya hanya Pemilihan Langsung (PML), masih agak mudah untuk dijawab, karena perubahannya memang cukup drastis, namun jawaban mengenai Penunjukan Langsung agak sulit karena paradigma Penunjukan Langsung (PL) pada Perpres 54/2010 sudah berbeda dengan PL pada keppres 80/2003.

Mari kita melihat paradigma Penunjukan Langsung pada Keppres Nomor 80 Tahun 2003.

Pasal 17 Ayat 5 Keppres 80/2003 menetapkan bahwa dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus pemilihan penyedian barang/jasa dapat dilakukan terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi teknis dan harga.

Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah:

  1. Penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam serta tindakan darurat untuk pencegahan bencana dan/atau kerusakan infrastruktur yang apabila tidak segera dilaksanakan dipastikan dapat membahayakan keselamatan masyarakat. Pekerjaan sebagai kelanjutan dari tindakan darurat di atas, untuk selanjutnya dilakukan sesuai dengan tata cara pengadaan barang/jasa sebagaimana diatur di dalam Peraturan Presiden ini; dan/atau
  2. pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau
  3. pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan:
    1. untuk keperluan sendiri; dan/atau
    2. teknologi sederhana; dan/atau
    3. risiko kecil; dan/atau
    4. dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha orang-perseorangan dan/atau badan usaha kecil termasuk koperasi kecil.
  4. pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak paten atau pihak yang telah mendapat ijin
  5. pekerjaan logistik pemilu tahun tertentu dan penanganan bencana di daerah Aceh, dll (tidak dibahas pada tulisan ini)

Yang dimaksud dengan keadaan khusus adalah:

  1. Pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; atau
  2. pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau
  3. merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau
  4. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya; atau
  5. pekerjaan pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat kesehatan dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang jenis, jumlah dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Nah, bagaimana dengan Perpres 54 Tahun 2010 ?

Pasal 38 Ayat (1) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan bahwa Penunjukan Langsung terhadap 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dapat dilakukan dalam hal:

  1. keadaan tertentu; dan/atau
  2. pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang bersifat khusus.

Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah:

  1. penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk:
    1. pertahanan negara;
    2. keamanan dan ketertiban masyarakat;
    3. keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/ harus dilakukan segera, termasuk:
      1. akibat bencana alam dan/atau bencana non alam dan/atau bencana sosial;
      2. dalam rangka pencegahan bencana; dan/atau
      3. akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan publik.
  2. pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional dan dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden;
  3. kegiatan menyangkut pertahanan negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
  4. Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa Lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah.

Yang dimaksud dengan pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang bersifat khusus adalah:

  1. Barang/Jasa Lainnya berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah;
  2. Pekerjaan Konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition);
  3. Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bersifat kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan hanya ada 1 (satu) Penyedia yang mampu;
  4. Pekerjaan Pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat kesehatan habis pakai dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang jenis dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang kesehatan;
  5. Pengadaan kendaraan bermotor dengan harga khusus untuk pemerintah yang telah dipublikasikan secara luas kepada masyarakat;
  6. sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat; atau
  7. lanjutan sewa gedung/kantor dan lanjutan sewa ruang terbuka atau tertutup lainnya dengan ketentuan dan tata cara pembayaran serta penyesuaian harga yang dapat dipertanggungjawabkan.

Aturan pemilihan langsung pada Perpres 54 Tahun 2010

Dari paparan di atas dapat disimpulkan:

  1. Istilah “keadaan khusus” pada Keppres 80/2003 telah diubah menjadi “pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang bersifat khusus” pada Perpres 54/2010
  2. Tidak ada batasan nilai untuk Penunjukan Langsung pada Perpres 54/2010 karena aturan 50 juta pada keadaan tertentu telah dihapuskan pada Perpres 54/2010. Sebagai gantinya, silakan menggunakan Pengadaan Langsung (akan dibahas pada tulisan lain)
  3. Perpres 54/2010 memasukkan bencana non alam dan bencana sosial sebagai salah satu kondisi yang membolehkan dilaksanakan penunjulan langsung
  4. Pembelian Mobil dan kendaraan bermotor lainnya yang harganya merupakan harga khusus pemerintah yang telah dipublikasikan, sewa hotel/penginapan yang tarifnya terbuka, serta lanjutan sewa kantor juga diperbolehkan menggunakan mekanisme Penunjukan Langsung
(Sumber: Blog Khalid Mustafa)
Thursday, 14 March 2013 07:37

"Dari pada meracuni masyarakat, lebih baik ikan-ikan itu saya buang ke laut," kata Effendy, seorang nelayan tangkap dari Donggala, Sulawesi Tengah, dengan nada serius.

Ikan yang dicurah itu pun tidak main-main jumlahnya. Hampir tiga ton, kebanyakan jenis layang dan pelagis kecil seperti cakalang, termasuk di antara beberapa jenis ikan yang sangat laku di pasaran.

Kalau dinilai dengan rupiah, harga ikan yang dibuang itu mencapai lebih Rp10 juta lebih dengan asumsi harga rata-rata Rp3.500/kg, karena saat itu sedang puncak panen sehingga harga di pasaran jatuh hingga Rp2.500 sampai Rp3.500/kg. Pada saat paceklik harga ikan akan mencapai Rp13.000,00 sampai Rp15.000,00/kg

 "Itu semua terjadi gara-gara tidak ada es batu. Ikan hasil tangkapan membusuk sehingga terpaksa dicurah ke laut. Kalau dipaksanakan jual ke pasar pasti masyarakat akan keracunan," ujar nelayan anggota Kelompok Usaha Bersama (KUB) Alam Raya Donggala, binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng itu.

Peristiwa itu terjadi di penghujung 2012. Saat itu, Effendy dan rekan-rekannya mendapatkan tangkapan yang melimpah, namun sayangnya, es batu yang dibawa sangat terbatas, hanya sekitar 50 balok karena sulit mendapat es batu di Donggala dan Palu.

Setelah beberapa hari melaut dengan kapal bertonase 30 GRT bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut, mereka mengumpulkan antara lima sampai enam ton ikan.

Es batu yang mereka miliki sebanyak 50-an balak itu hanya mampu mengamankan ikan sekitar tiga ton, sehingga yang lainnya membusuk dan akhirnya dikembalikan ke laut dalam bentuk ikan melek (mulai membusuk).

"Ini bukan kejadian pertama pak, sudah beberapa kali begitu. Bahkan sering terjadi ikan-ikan yang didaratkan di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala sudah hampir tidak layak dipasarkan lagi karena kurangnya es batu," ujar Effendy.

Hal yang sama dikemukakan H. Zakir, ketua kelompok nelayan dari Ogotua, Kabupaten Tolitoli, yang juga mengoperasikan kapal ikan bantuan KKP bertonase 30 GRT yang juga beberapa kali terpaksa membuang ikan di laut karena tidak laik jual lagi.

Ia juga mengaku terpaksa mendaratkan sembilan armada penangkap miliknya bertonase rata-rata 3 GRT karena kesulitan es batu.

"Bagaimana mau dioperasikan kapalnya pak kalau tidak ada es batu. Sama dengan bohong, ikannya pasti rusak, rugi percuma," ujar Zakir.

Di Ogotua, kata tokoh masyarakat Ogotua itu, tidak ada pabrik es batu sehingga para nelayan harus mencari di Palu yang jaraknya mencapai 300 kilometer. Kalau kita membeli 50 balok es di Palu, yang utuh sampai di Ogotua paling 25 balok, yang lainnya sudah mencair di jalan," katanya.

Harganya juga termasuk mahal karena mencapai Rp13.500,00 balok produksi pabtik es swasta CV Talinti. Kalau di PPI Donggala hanya Rp9.000/balok, namun untuk melayani nelayan Donggala sendiri sudah tidak cukup karena kapasitasnya sangat terbatas.

Sakir yang memiliki 20 nelayan anggota KUB itu mengaku pernah membangun pabrik es namun kini tidak bisa berproduksi lagi karena bahan bakar (solar) terlalu mahal sehingga biaya produksinya jauh lebih tinggi dibanding membeli es balok di Palu meski dengan berbagai resiko (susut) di jalan.

"Mau mengandalkan listrik untuk pabrik es juga tidak bisa, karena aliran listrik di daerah mereka belum 24 jam sehari. Listrik PLN hanya menyala malam hari (12 jam), padahal untuk memproduksi es balok harus ada listrik sepanjang hari," ujarnya.


Produksi tidak maksimal
Kelangkaan es balok tersebut memberikan dampak besar terhadap penghasilan nelayan karena ada dua faktor yang diserangnya yakni harga ikan akan rendah dan produksi tidak bisa maksimal.

"Akibatnya kelangkaan es balok, kita menangkap ikan sesuai ketersediaan es saja. Ya paling dua tiga ton sudah berhenti sekalipun sebenarnya bisa menangkap sampai enam atau tujuh ton di musim puncak panen," kata Effendy dalam diskusi dengan para pelaku bisnis dan pejabat di bidang Kelautan dan Perikanan di Palu baru-baru ini.

Zakir mengatakan bahwa es batu tersebut sangat menentukan nasib nelayan sehingga kelangkaan es balok ini merupakan permasalahan serius yang perlu mendapat perhatian pemerintah kalu ingin meningkatkan produksi perikanan dan mensejahterakan nelayan.

"Kalau soal jumlah ikan di laut pak, masih sangat banyak, jangan khawatir perairan kita kekurangan ikan. Masalahnya sekarang bagaimana mau menangkap banyak kalau tidak es batu tidak ada, sulit mendapat solar dan kapalnya kecil-kecil," ujarnya.

Effendy mengemukakan bahwa pendapatan nelayan tidak bisa maksimal karena selalu terjepit.

"Kita maunya tangkap banyak-banyak tapi es tidak ada. Kalau dipaksakan ikan akan busuk sehingga harganya rendah atau bisa-bisa dibuang ke laut," ujar Effendy lagi.

Ia menambahkan "kalau kita mau harga tinggi dalam arti ikannya segar segar, kita tidak dapat menangkap dalam jumlah banyak karena es untuk menjaga kesegaran ikan tidak cukup."
Karena itu, para nelayan tersebut meminta pemerintah meningkatkan kapasitas produksi es batu di sejumlah Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) agar produksi bisa ditingkatkan dengan kualitas tinggi.

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Agus Sudaryanto mengakui keterbatasan pabrik es untuk melayani kebutuhan nelayan.

Ia menyebutkan bahwa pabrik es di PPI Donggala hanya mampu menyediakan es sebanyak 200 balok setiap hari (24 jam), sementara pabrik es swasta di Kota Palu hanya mampu memasok 250 balak tiap hari yang didrop dua hari sekali, sedangkan pabrik es di Kota Donggala mensuplai 500 balok perhari.

Pada musim puncak penangkapan ikan, kebutuhan es balok nelayan di PPI Donggala saja mencapai antara 2.000 sampai 2.500 balok, padahal suplai setiap hari hanya sekitar 1.000 balok.

Jadi, kemampuan suplai es balok ketiga pabrik es tersebut saat ini hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan nelayan pada musim paceklik. Musim paceklik ikan baik akibat cuaca buruk sehingga nelayan tidak melaut atau karena memang sedang sepi ikan di laut ini terjadi antara empat sampai lima bulan dalam setahun.

Kelangkaan es balok ini tidak hanya terjadi di wilayah Palu dan Donggala saja tetapi juga di berbagai tempat di Sulteng baik di kawasan Teluk Tomini maupun Teluk Tolo.

Karena itu, mulai 2013 ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah akan meningkatkan kapasitas pabrik es balok di setiap PPI seperti di PPI Pagimana akan dibangun pabrik es berkapasitas 10 ton dan di PPI Paranggi, Kabupaten Parigi Moutong berkapasitas 2,5 ton/hari dan di Tolitoli berkapasits 10 ton.

Pada 2014, PPI Donggala akan memiliki pabrik es berkapasitas 10 ton dan sebuah gudang pendingin (cold storage) serta di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang baru akan dibangun 2013 ini akan memiliki pabrik es berkapasitas 15 ton pada 2014 serta sebuah gudang pendingin (cold storage).

"Jadi, kalau mau produksi ikan ditingkatkan, harganya relatif stabil dan pendapatan nelayan bertambah, kami minta bantuan pemerintah untuk mencarikan jalan keluar soal penyediaan es balok ini. Permintaan kami itu saja," ujar Effendy saat berdialog dengan Direktur Pemasaran Dalam Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan pada Kementerian KP Sadullah Muhdi di Palu, Selasa (12/2).

(Sumber: Rolex Malaha)
Thursday, 14 March 2013 07:35

Sejauh ini dalil tentang berita dan karangan khas (feature) senantiasa beragam pendekatannya, namun semuanya memiliki kesepahaman dalam proses dan hasil kerjanya.

Dalam bahasa yang gamblang, banyak wartawan berpendapat "Berita adalah semua hal yang patut dipublikasikan."

Hal itu dibenarkan pula oleh tiga sekawan dosen Universitas Tennessee (Amerika Serikat) Julian Harriss, Kelly Leiter, dan Stanley Johnson-dalam buku "The Complete Reporter" pada tahun 1985.

Bahkan, mereka merumuskan pula bahwa berita sedikit-dikitnya meliputi menyangkut kepentingan manusia, kejadian dari peristiwa, memiliki fakta dan pendapat yang menarik perhatian publik, kejadian baru atau sesuatu yang menarik untuk diperbarui lagi, berbagai hal yang patut mendapat perhatian publik, sesuatu yang akurat, terikat waktu, membangkitkan rasa ingin tahu, penuh hal-hal baru dan berdampak terhadap perhatian publik, semua hal yang terjadi, yang membangkitkan inspirasi untuk mengehathui apakah hal itu, dan bagaimana hasilnya dari perkembangan hal tersebut, gabungan dari semua kegiatan rutin yang menyentuh rasa kemanusiaan, dan menjadi perhatian dari banyak khalayak.

Sementara itu, sejumlah pakar ilmu komunikasi seperti Wilbur Schramm dan Harold Laswell, keduanya dari Amerika Serikat berpendapat bahwa berita sedikit-dikitnya memberikan jawaban terhadap lima unsur "W" -Who says What at Where and When,then Why- (siapa mengatakan apa, dimana dan kapan, kemudian mengapa), serta dilengkapi satu unsur "H" alias "How" (bagaimana).

Dari berbagai pengertian tentang berita seperti di atas, maka setidak-tidaknya apa itu berita dapat tergambarkan lebih jelas. Namun demikian, tahap pelaksanaan untuk mencari berita seringkali dianggap bukanlah hal yang mudah. Permasalahan yang sama, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai lebih rumit lagi, juga terjadi dalam proses pembuatan karangan khas.

Sebagaimana berita, istilah karangan khas juga memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang. Dan, pada hasil akhirnya pengertian karangan khas berada di muara yang sama, yaitu karya jurnalistik yang susunan dasarnya sama dengan berita.

Hanya saja, karangan khas --seperti juga namanya-- memiliki sesuatu yang lebih khas dibanding berita. Oleh karena, karangan khas merupakan berita yang berkedalaman. Lebih dalam untuk mengungkapkan latar belakang satu permasalahan. Lebih dalam penuturannya. Lebih dalam informasi yang diungkapkan. Dan, diharapkan lebih dalam memeras rasa kemanusiaan pembaca atau publik pada umumnya.

Bahkan, banyak wartawan yang menyatakan lebih mudah mengungkapkan satu permasalahan pelik dalam bentuk karangan khas dan foto dibanding berita biasa. Kenapa?. Oleh karena, karangan khas memuat unsur latar belakang sebagai wujud “kedalaman” dari berita yang terkesan informasinya masih sepotong-sepotong.

Dengan kata lain, berita ibarat makan nasi saja, sedangkan karangan khas seperti memakan nasi komplit dengan lauk pauknya.

Pada kenyataan di lapangan, wartawan dalam tugasnya juga dituntut untuk lebih dahulu menyelesaikan berita, baru kemudian menuliskan karangan khas tatkala informasinya sudah lengkap. Hal ini lebih terlihat jelas bagi wartawan kantor berita.

Kenyataan di lapangan pula yang sering menunjukkan bahwa wartawan --terutama wartawan pemula-- dalam menuangkan gagasannya menghadapi kendala internal, yaitu kesulitan mencari bahan berita. Namun, begitu banyak mendapatkan bahan berita, ternyata menghadapi kesulitan untuk menuangkannya dalam tulisan. Dan, kesulitan berikutnya adalah upaya untuk mengakhiri penulisan berita. Masalah klasik seperti ini terjadi pula dalam penyusunan karangan khas.

Dalam sejarah pers sempat tercatat anekdot bahwa Napoleon Bonaparte sebagai Sang Kaisar Kerajaan Prancis, yang juga panglima perang kawakan, mengatakan bahwa dirinya lebih baik menghadapi senapan dari satu batalyon militer dibanding harus menghadapi satu pena wartawan.

Pada bagian lain, banyak orang yang menyebut wartawan adalah “Ratu Dunia” karena hasil pekerjaannya senantiasa menarik perhatian masyarakat dunia.

Benarkah sebegitu hebat posisi atau keberadaan wartawan? Pertanyaan semacam itu secara mudah dapat dijawab “Ya” dan “Tidak”, apalagi pada masa persaingan antar-wartawan untuk mendapatkan berita tercepat, terakurat, dan terlengkap.

Persaingan!. Hal inilah yang agaknya menjadi “agenda tetap” wartawan dewasa ini. Oleh karena, dalam situasi dan kondisi pers idealis dan industrialis saat ini yang diutamakan adalah bagaimana pers dapat menjalankan peran idealis sebagai penyampai informasi, pendidik masyarakat, dan memberikan hiburan. Selain itu, pers dalam fungsinya sebagai lembaga industri perlu pula mengembangkan berita yang bernilai bisnis dari segi iklan.

Sekalipun demikian, wartawan keberhasilan awalnya lebih banyak ditentukan dari persiapan hingga hasil peliputan (reportase)-nya. Dengan kata lain, proses dan hasil pekerjaan bagi wartawan sama pentingnya.

Masyarakat umum seringkali mendengar istilah “wartawan senior” dan “wartawan junior”, namun seringkali sebutan itu justru menjerumuskan bagi kalangan wartawan sendiri. Oleh karena, dunia kewartawanan adalah dunia yang cenderung egaliter atau semuanya dalam posisi sederajat.

Bahkan, para wartawan di antara sesama mereka sering bergunjing “Apa beda wartawan senior dengan wartawan junior?. Apakah mereka dibedakan dari segi usia, atau justru pengalaman?”

Hampir di setiap media massa yang berusia lanjut atau di atas 10 tahun, menempatkan posisi wartawan senior dan junior dari dua sudut perhitungan profesional, karena ada asumsi bahwa wartawan yang berusia tua otomatis memiliki banyak pengalaman.

Namun, sudut perhitungan profesional lainnya justru berpendapat bahwa wartawan senior bisa saja masih berusia muda, namun secara pribadi memiliki hasil peliputan yang senantiasa memiliki “nilai jual” atau mampu menjadi topik pembicaraan banyak orang.

Sejumlah media massa yang mapan -bertiras lebih dari 100.000 eksemplar-menempatkan sebutan “wartawan senior” bukanlah dari segi usia, namun dari kemampuan
wartawannya menjalani proses liputan terbaik.

Wartawan dalam tugas kesehariannya seringkali harus menjalankan tiga peran yang harus
dimainkannya, yakni sebagai: 1. Journalist. 2. Agent. 3. Lobbyist.

Wartawan sebagai “journalist”, merupakan tugas dasarnya sebagai orang yang melaporkan (de journale) kejadian dari fakta-fakta yang terjadi.

Sebagai “agent”, wartawan menerapkan cara kerja “journalist” yang dalam prosesnya melakukan serangkaian pengumpulan fakta-fakta dari suatu kejadian yang dipaparkan untuk kepentingan umum melalui media massanya.

Sementara itu, wartawan sebagai “lobbyist” merupakan satu kecenderungan yang tidak terlepaskan dalam tatanan kehidupan sosial dari tingkat bawah hingga atas, sehingga
secara pribadi mampu memberikan masukan positif bagi pemegang kebijakan.

“Jika saja ada wartawan yang mampu menjalankan tiga posisi tersebut secara tepat, maka
ia merupakan wartawan senior yang bersikap profesional," demikian pendapat yang sering dilontarkan oleh DR (HC) H. Rosihan Anwar, salah seorang tokoh pers Indonesia.

Paling tidak, wartawan dalam tugas kewartawannya harus “pandai-pandai” menempatkan diri, sehingga karya jurnalistiknya menjadi lebih komprehensif (lengkap, mencakup semua hal). Dalam hal ini wartawan tidak saja dituntut mampu bekerja keras, tetapi harus pula dapat bekerja cerdas.

Penempatan posisi wartawan sekaligus agen pembaruaan, dan pelobi semacam itu, menurut Jacob Oetama -pendiri, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Umum Kompas-yang wartawan senior dari segi usia dan “jam terbang”, dapat dibenarkan.

“Oleh karena itu, wartawan yang baik dalam arti selalu ingin mengasah kemampuannya secara naluriah akan terlatih menjadi pelobi di semua kalangan masyarakat, dan berita yang dihasilkannya bertujuan memperjuangkan kepentingan umum sehingga ia layak disebut sebagai agen pembangunan mental dan spiritual,” demikian Jacob Oetama dalam satu diskusinya dengan sejumlah wartawan muda di Jakarta beberapa tahun lalu. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)
Thursday, 14 March 2013 07:27

Mamuju (Phinisinews) - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Barat akhirnya duduk bersama dengan pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, untuk memperjelas soal sengketa tapal batas wilayah.

"Pertemuan antara Sulbar dan Sulteng merupakan yang kelima kalinya guna membahas polemik sengketa tapal batas wilayah," kata Anggota Komisi I DPRD Sulbar, Marigun Rasyid di Mamuju, Kamis.

Menurutnya, komisi I memilih melakukan kunjungan kerja ke kota Palu, Sulawesi Tengah baru-baru ini untuk memperjelas status tapal batas antara Sulbar dan Sulteng pada dua desa yang terletak di antara dua kabupaten yakni Mamuju Utara (Matra) Sulbar dan Donggala Sulteng.

Marigun menyampaikan, dalam pertemuan yang berlangsung di Kantor Gubernur Sulteng tersebut, mengemuka sejumlah hal di antaranya pengakuan secara hukum atau de jure dari Pemprov Sulteng terhadap dua desa yang masuk ke dalam wilayah administratif Sulbar yakni Desa Ngovi dan Bulava.

Pengakuan secara hukum ini kata dia berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 1991.

Tapi, secara de facto atau kenyataan di lapangan, Pemprov Sulteng mengklaim jika kedua desa tersebut masuk dalam wilayah Sulteng karena masyarakat yang menghendaki.

"Segala hal yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan di dua desa tersebut dilayani oleh Kabupaten Donggala. Pengurusan KTP, KK, dan sejumlah perizinan lainnya dilakukan oleh warga di dua desa tersebut di Kabupaten Donggala.

Malah, kata dia, kini Desa Ngovi dan Bulava dimasukkan ke dalam wilayah Kecamatan Rio Pakava yang merupakan bagian dari wilayah Donggala.

Pertemuan ini kata dia, dihadiri langsung Sekda Sulteng Amjad Lawasa, Bupati Donggala Habir Ponulele dan Ketua Komisi I DPRD Sulteng yang pernah menjadi Ketua DPRD Donggala Ridwan Yali Djama.

Sedangkan dari komisi I DPRD Sulbar hadir ketua komisi Marigun Rasyid, wakil ketua komisi Tahir Madanni, dan sejumlah anggota komisi I lainnya seperti Thamrin Endeng, Zainal Abidin, Muhammad Taufan, dan Jumiati Mahmud serta perwakilan dari Biro Pemerintahan Sulbar mendampingi para anggota komisi I.

Marigun mengemukakan, kedatangan mereka ke Palu bukan untuk menuntut Pemprov Sulteng segera menyelesaikan permasalahan tapal batas ini, tapi ingin mencari tahu kendala yang dihadapi sehingga persoalan ini belum terselesaikan, sekaligus untuk menambah data dan referensi yang bisa dijadikan acuan untuk dibahas bersama Pemprov Sulbar.

"Karena sebenarnya yang harus menyelesaikan permasalahan ini adalah pemda, bukan DPRD. Makanya, kami ingin membantu mendorong percepatan penyelesaian masalah tapal batas ini sehingga tidak berlarut-larut. Persoalan tapal batas ini, turut menjadi penghambat tidak selesaikan perda RTRW (rencana tata ruang wilayah) Sulbar. Intinya, kami ingin masalah ini segera selesai dan tidak ada satu pihak pun yang tersakiti," jelas Marigun.

(Sumber: Aco Ahmad)
Thursday, 14 March 2013 07:25

Mataram, 28/2 (Phinisinews) - Lingkaran batok kepala bayi laki-laki yang bagaikan tinggal tulang dan kulit itu, tampak lebih besar dibandingkan sosok tubuhnya. Bola mata cekung, rambut pirang dan tipis, serta nyaris tak banyak dapat menggerakkan organ tubuhnya.

Usia sang bayi yang menetap di Desa Buwun, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, itu tercatat telah lebih dari lima tahun, namun belum juga bisa berdiri, apalagi harus berlari-lari lincah seperti kebanyakan bayi seusianya.

Rizwan, demikian panggilan sang bayi, sesekali tampak merengek di pangkuan ibu kandungnya Ny Anisah (25), sembari mengepal sepotong singkong bakar yang berkali-kali dicoba dimasukkan ke dalam mulutnya dengan tangan yang tampak lunglai dan lemas.

Ny Anisah yang bersuamikan Marsidin (31), buruh pada sebuah pabrik batako, mengakui kalau anak semata wayangnya yang lahir prematur dalam usia kandungan tujuh bulan itu, sejak lahir kondisinya sudah kurang normal, dan terlihat begitu kurus dan lemas sejak menginjak umur satu tahun.

"Lihat pak, ngangkat sepotong singkong di tangan pun nyaris tidak kuat," ujar Ny Anisah sambil memperlihatkan sosok bayi yang terbaring di pangkuannya.

Keluarga sang bayi mengaku tidak bisa membawa Rizwan ke rumah sakit, sehubungan dengan tidak adanya biaya. "Boro-boro untuk berobat, untuk makan sehari-hari saja sering tidak cukup," ujar Ny Anisah, terbata-bata.

Rizwan, tercatat sebagai salah seorang dari ratusan penderita gizi buruk yang terdata di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Celakanya, dari penderita sebanyak itu, puluhan di antaranya diketahui tidak bisa diselamatkan, alias tidak tertolong jiwanya.

Pada 2011, misalnya, sebanyak 12 pasien gizi buruk yang disertai penyakit ikutan, meninggal dunia. Tahun berikutnya (2012), 13 penderita tak tertolong jiwanya. "Syukur tahun ini belum ada," ucap Wakil Direktur Pelayanan RSUP NTB dr Lalu Ahmadi Jaya di Mataram.

Ia mengatakan, sebanyak 12 orang yang meninggal dunia itu merupakan bagian dari 72 pasien gizi buruk disertai penyakit ikutan yang menjalani perawatan di RSUP NTB sepanjang 2011. Sedangkan yang 13 orang merupakan bagian dari 93 pasien gizi buruk yang menjalani perawatan pada 2012.

Untuk tahun ini, sejak Januari hingga akhir Februari, tercatat 11 pasien gizi buruk disertai penyakit ikutan yang sempat dirawat di RSUP NTB. Dari jumlah itu, empat di antraranya kini masih dirawat inap.

Empat pasien yang masih dirawat itu, tutur Ahmadi merupakan penderita yang dirujuk dari rumah sakit kabupaten dan puskesmas.

Mereka adalah, Johan Resi (13 bulan), menderita gizi buruk disertai gejala klinis kurang berat badan, Ega Epriyani (18 bulan), gizi buruk disertai kelainan jantung dan penyakit bawaan lainnya. Zulfi (12 bulan) gizi buruk disertai gejala gagal tumbuh dan anemia, serta Erna Murniati (3 bulan) dengan gejala klinis marasmus disertai palatoskisis (tidak mempunyai langit-langit mulut).

Menurut Ahmadi, pasien gizi buruk yang dirujuk ke RSUP NTB umumnya juga menderita peyakit bawaan, bahkan komplikasi penyakit, sehingga masa pemulihan kondisi kesehatannya cukup rumit, hingga tidak jarang meninggal dunia.

"Dengan demikian, bukan hanya gejala klinis gizi buruk, tetapi juga beragam penyakit ikutan, sehingga penanganan medisnya pun harus diawali dengan pemulihan kondisi, baru pengobatan penyakitnya," ujar Ahmadi.

Gejala klinis gizi buruk, badan kurus, dan wajah terlihat lebih tua dari usia yang menunjukkan gejala kekurangan karbohidrat (marasmus), serta adanya komplikasi penyakit kronis seperti kelainan penglihatan, dan gangguan pernapasan.

Sementara penyakit ikutannya antara lain berat badan tidak normal, terindentifikasi menderita kelainan di lapisan paru yang mengarah ke TBC, gangguan jantung, hydrocephalus (kepala membesar), gejala TBC, serta terinfeksi beberapa bibit penyakit.

Menyinggung biaya perawatan, Ahmadi menyebutkan, biaya pelayanan medis untuk para pasien gizi buruk dengan komplikasi beragam penyakit, dibebankan kepada Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), sehingga terlayani secara gratis.

"Tentu kondisi pasien seperti itu erat kaitannya dengan pola asupan gizi, dan perhatian terhadap kondisi kesehatan balita. Biasanya setelah penyakit bawaan mencuat, baru dibawa ke puskesmas hingga dirujuk ke RSUP NTB, sehingga penanganan menjadi cukup terlambat," ujar Ahmadi, didampingi dr Dewi Sangawati SPA, dokter ahli anak yang menangani pasien gizi buruk di RSUP NTB.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi NTB mengklaim, kasus gizi buruk antara lain terjadi akibat tingkat kesadaran para pengasuh anak dan balita yang belum menyeluruh tentang pentingnya peranan gizi.


Kurang asupan gizi
"Kasus gizi buruk di NTB umumnya karena kurangnya asupan gizi di kalangan balita dan anak-anak, dan hal ini erat kaitannya dengan SDM orang tua anak, di samping tingkat kesejahteraan keluarga," tukas Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr Moch Ismail di Mataram.

Ia mengemukakan, kurangnya asupan gizi akan mengarah kepada gizi buruk jika tidak segera ditangani secara baik. Apalagi, balita dan anak-anak yang kurang gizi juga diserang penyakit.

Karena itu, kesadaran pengasuh anak dan balita merupakan hal yang amat penting, selain pengetahuan tentang gejala klinis gizi buruk.

Gejala klinis gizi buruk antara lain badan kurus, wajah terlihat lebih tua dari usia bayi, yang menunjukkan gejala kekurangan karbohidrat (marasmus), serta adanya komplikasi penyakit kronis seperti kelainan penglihatan, dan gangguan pernapasan.

"Itu sebabnya, pemerintah terus berupaya mengintervensi permasalahan tersebut yang mengarah kepada pemberian makanan bergizi, sekaligus penyembuhan penyakit yang diderita si pasien," ujarnya.

Menurut Ismail, salah satu program penanganan gizi buruk secara terpadu, ialah dilakukannya gerakan makan bergizi seimbang yang merupakan penyempurnaan dari kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi ibu hamil dan menyusui serta balita.

Gerakan makan bergizi seimbang itu juga diterapkan di sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI), selain program peningkatan derajat kesehatan balita dan anak-anak melalui posyandu dan puskesmas.

"Intervensi memang harus terus ditingkatkan, selain mendorong perubahan tingkat kesadaran pengasuh anak dan balita di masyarakat," ucapnya.

Ismail tidak menampik kalau kasus gizi buruk di wilayah NTB masih cukup banyak, namun ia memastikan kasus tersebut belum sampai tahapan Kejadian Luar Biasa (KLB).

Belakangan ini, kasus gizi buruk atau malnutrisi mencuat setiap tahun, namun belum dikategori KLB karena jumlah pasiennya masih tergolong sedikit jika dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Versi Dinas Kesehatan Provinsi NTB, kasus gizi buruk sudah mencuat di wilayah NTB sejak 2000, dan sejak 2001 prevalensi penderita pada balita justru menunjukkan kecenderungan meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Pada 2001 masih sebesar 3,73 persen, selanjutnya pada 2002 prevalensi gizi buruk anak balita sebesar 4,15 persen, pada 2003 sempat turun menjadi 3,31 persen, namun naik lagi pada 2004 menjadi 4,09 persen.

Tahun 2005 meningkat secara tajam menjadi 6,58 persen, sehingga dinyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus gizi buruk dengan jumlah kasus sebanyak 3.950, yang 2.185 di antaranya terungkap kasus non-klinis.

Prevalensi gizi buruk di NTB pada 2006 hingga beberapa tahun kemudian termasuk 2007 mengalami penurunan, namun masih terus bermunculan di sejumlah daerah.

Pada 2008 kasus gizi bermasalah yang ditemukan tercatat 1.207 kasus, dan setelah ditangani sebanyak 892 orang penderita sudah membaik. Sisanya sebanyak 270 orang, termasuk 23 di antaranya merupakan kasus klinis atau busung lapar.

Jumlah penderita gizi buruk selama 2008 sebanyak 1.207 orang, yang 45 di antaranya tak terhasil ditolong jiwannya. Dari penderita sebanyak itu, 466 di antaranya merupakan kasus klinis dan 471 kasus non-klinis.

Pada 2009 tercatat lebih dari 600 kasus gizi buruk yang pada umumnya menimpa balita, dan 31 kasus di antaranya berujung kematian. Kasus gizi buruk pada 2010 nisbi sama dengan 2009.

Selanjutnya berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) 2011, terjadi penurunan kasus gizi buruk dari 4,77 persen di 2010 menjadi 4,57 persen di 2011. Prevalensi stunting (pendek) turun dari 42,63 persen di 2010 menjadi 40,55 persen di 2011. Sementara prevalensi wasting (kurus) turun dari 12,02 persen di 2010 menjadi 10,76 persen di 2011.

Tahun 2012, juga dilaporkan terjadi penurunan kasus gizi buruk yang mencapai 1.092 kasus di 2011 menjadi 507 kasus di 2012. Dari kasus sebanyak itu, 20 pasien meninggal dunia, terdiri atas 17 pasien akibat komplikasi berbagai penyakit, dan tiga kasus murni akibat gizi buruk.

"Dengan demikian, kasus gizi buruk di 2012 di wilayah NTB relatif sedikit jika dibandingkan dengan kasus 2008 dan 2009, bahkan cenderung menurun. Kami harapkan, tahun ini pun terjadi penurunan yang berarti," ujarnya, menjelaskan.

(Sumber: Yanes Setat)
  •  Start 
  •  Prev 
  •  1 
  •  2 
  •  3 
  •  4 
  •  5 
  •  6 
  •  7 
  •  Next 
  •  End 

Galleries

 
  Penulis : Redaksi  /  Editor : Fred Daeng Narang Bulukumba, Sulsel (Phinisinews.com) – Masyarakat adat...
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha K Makassar (Phinisinews.com) – Kawasan Wisata Terpadu Gowa...
  Penulis : Andi Mahrus Andis.   Makassar (Phinisinews.com) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi...
  Penulis : Redaktur Medan (Phinisinews.com) - Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia, Hence...

Get connected with Us