Phinisinews - CNN Indonesia -- Ada perasaan bangga yang membuncah saat seorang penulis melihat buku karyanya akhirnya terbit dan dipajang di rak toko. Namun perasaan itu tak bisa dialami Ahmad Fawaid atau Emma Harrison Clark. Keduanya adalah penulis hantu alias ghostwriter.
Uniknya, mereka mengaku tidak pernah menyesal tak mendapati namanya terpampang di buku yang ditulisnya sendiri.
Dalam sebuah sesi diskusi di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015, Fawaid membagi kisahnya. Ia mengawali pekerjaan sebagai ghostwriter sejak 2008, atas inisiatif sendiri. Bukunya tentang elektronik, ia tulis atas nama sang bos.
Pada 2010, ia kembali melakukan hal yang sama. Kali ini juga atas dasar inisiatif. Fawaid menggunakan nama saudara lelakinya.
"Dia sangat senang. Buku itu membuat dia populer," tuturnya dalam diskusi yang diselenggarakan di Bali, beberapa waktu lalu itu. Ia sebenarnya bisa membuatkan buku orang lain. Namun ia berpikir, mengapa tidak berbuat untuk anggota keluarga dulu.
Padahal, Fawaid mengaku, ia tidak diberi imbalan apa pun saat menuliskan buku untuk saudaranya itu. "Cuma ucapan terima kasih. Tapi nanti tolong, kalau saya butuh apa-apa dibantu," ia melanjutkan. Perjanjian ghostwriter di Indonesia, sepersonal itu.
"Hanya antara diri Anda dan bos yang mempekerjakan, atau siapa pun," katanya.
Karena itu Fawaid menekankan, jangan menjadi ghostwriter jika ingin menjadi miliuner. "Kalau orang yang minta, misalnya untuk kredit akademik atau dia butuh nama, Anda akan dibayar. Tapi kalau inisiatif sendiri, ya bisa enggak dapat apa-apa."
Royalti pun kebanyakan tidak diatur profesional. Ada yang berbaik hati untuk membagi royalti, biasanya buku biografi. Ada pula yang membeli naskah secara putus. Tetapi jika ghostwriter itu dimiliki penerbit, ceritanya bisa berbeda lagi.
"Biasanya penerbit juga punya ghostwriter, untuk isu aktual. Nama penulisnya pakai yang populer. Kalau gitu, semua royalti diserahkan ke ghostwriter," ujar Fawaid.
Ini pekerjaan untuk bertahan hidup.Ahmad Fawaid |
Ia tidak bisa menyebut ada berapa banyak ghostwriter di Indonesia. Menurutnya, hampir semua penulis pernah melakoninya. Kebanyakan melakukannya demi uang. Sebab, penulis tidak bisa mengandalkan idealisme.
"Misalnya ada teman saya yang menulis soal Marxisme. Itu buku yang sangat idealis dan bakal susah diterbitkan, bakal susah mendapatkan uang," ujarnya. Ia pun pernah menerbitkan buku berjudul Tarot, yang cukup kontroversial dan susah mendapat penerbit.
Fawaid pun menerbitkannya secara independen. "Buku saya, diterbitkan pakai uang saya, yang saya dapat dari menjadi ghostwriter," kata Fawaid berseloroh. Sementara idealismenya tersalur di situ, kantong kebutuhannya diisi dari hasil menjadi ghostwriter.
"Ini pekerjaan untuk bertahan hidup. Selain ghostwriter biasanya juga ada ghosttranslater, ghost copywriter," tuturnya.