Penulis : Fred Daeng Narang / Editor : Ahmad Imron
Makassar (Phinisinews.com) – Dialog Budaya sepanjang tahun 2025 mulai dilakukan setiap minggu (tiap hari Kamis), setelah pekan lalu diluncurkan gerakan “Kedaulatan Budaya” yang diinisiasi oleh masyarakat budaya di Sulawesi Selatan.
Dialog perdana menampilkan Tokoh Masyarakat Syamsul Bachry Daeng Anchu, Tokoh Masyarakat Jawa, M. Joko Surojo, dan Ulama KH Syech Sayyid A. Rahim Assegaf Puang Makka, dengan moderator Budayawan Andi Halilintar Latief diikuti masyarakat budaya dari kalangan pelaku budaya, pegiat budaya, pemerhati budaya, budayawan, seniman, sastrawan dan lainnya di RAS Center (Rahim Assegaf center) di Makassar, Kamis.
Dialog berlangsung seru, sebab walau topik bahasan dibatasi, namun tetap saja melebar ke berbagai hal penting dalam kehidupan budaya di Sulsel.
Menurut Syamsul Bachry Daeng Anchu, setelah peluncuran Gerakan Kedaulatan Budaya serta pemaparan program kerjanya pekan lalu, ramai berbagai tanggapan positif masyarakat, sebab gerakan ini dari masyarakat budaya untuk masyarakat dan dua program fisik revitalisasi diharapkan berubah nama menjadi proyek agar dapat berlangsung multi years, sehingga bila belum selesai selama tahun 2025, dapat dilanjutkan tahun berikutnya dan tahun berikutnya lagi.
Dua program fisik itu adalah revitalisasi kota lama Jongaya menjadi Jongaya Proyek dan Revitalisasi Makam Pangeran Diponegoro menjadi Pemugaran Makam Pangeran Diponegoro Proyek.
Daeng Anchu memastikan, Pemerintah Kota, Provinsi dan Negara akan terlibat untuk dua proyek inisiasi masyarakat budaya Sulsel tersebut, setelah pihaknya mendengar berbagai komentar dari politisi yang ada di DPRD dan DPR RI serta dari beberapa pejabat strategis di pemerintahan.
Menjawab pertanyaan tentang ketiadaan lagi figur tokoh masyarakat di Sulsel tempat “patabe-tabe” (meminta izin untuk hajatan besar), menurut Ulama Rahim assegaf Puang Makka, figur tokoh masyarakat kharismatik akan muncul secara alami dan figur itu menjadi panutan serta akan menjadi tempat masyarakat mengadu, meminta izin dan lainnya dengan syarat selama figur itu tidak berpolitik. Bila figur itu berpolitik, berarti figur itu berpihak, maka lunturlah kefigurannya.
Dia juga mengingatkan agar Gerakan Kedaulatan Budaya yang sudah dicanangkan ini harus yang rasional yang dapat dilaksanakan, jangan sampai harapan yang besar hanya menjadi gerakan halusinasi.
Di sisi lain, masyarakat budaya juga mempertanyakan keanehan Kabupaten Gowa sebagai wilayah pusat Kerajaan Gowa. Dunia mengakui bahwa Pasukan Perang Armada Laut Kerajaan Gowa sangat Tangguh, namun fakta saat ini, daerah tersebut tidak memiliki wilayah laut, karena sudah terbagi ke wilayah Pemerintah Kota Makassar dan Kabupaten Takalar. Ini sesuatu yang ironi dari segi sejarah dan budaya. Dan pertanyaan ini tidak terjawab karena dalam dialog budaya perdana ini tidak terlibat unsur pemerintah. (FDN/AI).