Penulis : Fred Kuen
Editor : Mitha MK.
Makassar, (Phinisinews) - Ketua Dewan Adat Turikale Maros, Massulangka Karaeng Situju memprotes rencana penobatan Karaeng Turikale VIII dari Kerajaan Adat Turikale Maros dan mengharapkan Pemerintah Kabupaten Maros dan Pemprov Sulawesi Selatan hanya mengakui sesuai Mazhab yang benar dari garis keturunan yang sah.
Hal itu terutama untuk menghindari kekisruhan adat seperti yang terjadi di beberapa kerajaan adat lain, termasuk di Sulsel (Gowa dan Luwu). Karena tujuan melestarikan pewaris tahta kerajaan adat adalah untuk melestarikan adat dan budaya serta saling bersinergi antara adat/budaya dengan pemerintahan di daerah.
Ketua Dewan Adat Turikale Maros, Massulangka Karaeng Situju yang didampingi 11 dewan adat lainnya mengemukakan hal itu kepada Pers di Makassar, Senin, menanggapi beredarnya undangan rencana penobatan Brigjen Pol (P) Dr Achmad Aflus Mapparessa, MM, MSi sebagai Karaeng Turikale VIII pada 5 September 2019 di Maros.
Sebagai Ketua Dewan Adat yang sah, lanjutnya, saya sudah diminta oleh Karaeng Marusu untuk hadir dalam penobatan, namun saya menolak karena saya berpegang teguh pada Mazhab (garis keturunan) serta menghormati Karaeng Turikale IX yang sudah dilantik oleh Dewan Adat Turikale dan diakui oleh Dewan Adat Nasional April 2019.
Dia menguraikan, Karaeng Turikale VIII adalah Kamaruddin Sjahban Daeng Mambani yang dinobatkan Tahun 1958 dan kini sudah wafat (almarhum), lalu Dewan Adat Turikale pada 24 Maret 2019 menobatkan Hj Andi Alice Tenriawaru Karaeng Rannu sebagai Karaeng (Ratu) Turikale IX dan disahkan oleh Ketua Dewan Adat Nasional, Prof Dr H.E. Irwannur Latubual, MM, MH, Ph.D (Raja P. Buru XXI) 5 April 2019. Selain itu negara juga mengakui Karaeng Turikale IX dengan mengundang hadir di Istana Negara Jakarta, saat peringatan HUT ke-74 Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 2019.
Hj Andi Alice Tenriawaru Karaeng Rannu merupakan cucu dari Karaeng (Raja dan Permaisuri) Turikale VI Andi Abdul Hamid Puang Nassa serta juga keturunan langsung dari Karaeng Turikale V dan Karaeng Turikale IV.
Berdasarkan kenyataan itu Dewan Adat Turikale yang berjumlah 12 orang mengharapkan para pemuka adat di Maros, Pemkab Maros dan Pemprov Sulsel agar menyikapi bijaksana atas keinginan pihak pihak tertentu yang memaksakan kehendak untuk menjadi Karaeng Turikale agar kondusifitas adat dan keamanan daerah tetap terjaga.
"Jangan ada dualisme Karaeng Turikale di Maros sebab itu akan menjadi bahan tertawaan publik, khususnya kerajaan kerajaan adat Nusantara yang selama ini harmonis," katanya.
Kecenderungan di Sulawesi Selatan ada perebutan kekuasaan raja adat dan diharapkan tidak terjadi di Kerajaan Adat Turikale Maros. Mari kita saling menjaga, saling menghormati dan menempatkan ahli waris raja adat sesuai garis keturunan yang kita ketahui bersama (Mazhab).
Kalau ada yang protes hingga harus mengganti Raja Adat karena beliau adalah wanita maka itu salah besar, ucapnya dan melanjutkan, sebab tidak ada dalam lontara aturan tentang itu. Dan harus diingat bahwa kerajaan besar di Sulsel seperti Gowa, Raja Pertamanya adalah Wanita, Kerajaan Bone ada Rajanya Wanita, Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri hingga Presiden di Indonesia ada Wanita.
Sejak zaman dahulu hingga sekarang tidak ada diskriminasi terhadap wanita dalam pemerintahan dan Kerajaan. Jadi janganlah mengada-ngada untuk mencapai ambisi tertentu, ujarnya.
Mari kita lestarikan adat dan budaya dan saling bersinergi dengan pemerintah untuk pembangunan dan kesejahteraan bersama. Kita tidak perlu kisruh, kita tidak perlu saling permalukan untuk jabatan Karaeng (Raja Adat) tetapi mari sebagai pemegang dan pelestari adat kita bermusyawarah untuk sesuatu yang sifatnya strategis dalam upaya pelestarian adat dan budaya, khususnya di Maros sebagai wujud partisipasi kita dalam pembangunan nasional secara utuh, ucapnya.(MK)