Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred K
Makassar (Phinisinews.com) – Direktur Eksekutif, Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC), Fredrich Kuen, MSi mengatakan, penyelarasan antara Dewan Pers (DP) dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), sangat penting untuk wartawan sehingga harus dilakukan kompromistis.
Penyelarasan dalam bentuk harmonisasi itu merupakan titik temu antara dua lembaga untuk satu topik yang sama “Sertifikasi Kompetensi Wartawan” yang dapat berbentuk kompromi yang diharapkan akan menguntungkan semua wartawan secara nasional tanpa sekat pemisah wartawan konstituen Dewan Pers atau wartawan independen yang merdeka non konstituen.
Hal itu dikemukakan Fredrich saat menjawab pers tentang dualisme sertifikat Kompetensi wartawan nanti yakni Kompetensi versi Dewan Pers dan Kompetensi versi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia dari BNSP, saat menutup pelatihan jurnalistik dan pelatihan kehumasan masing masing berdurasi 16 jam, di kampus P2MTC, Ruko Mall GTC Tanjung Bunga, Makassar, Minggu.
Dia menguraikan, Dewan Pers terbentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 40/1999 tentang Pers pada pasal 15 dengan fungsi melindungi kemerdekaan pers, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian terhadap delik pers, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.
Selain itu, memfasilitasi organisasi organisasi pers dalam menyusun peraturan peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan serta mendata perusahaan pers.
Kompetensi wartawan versi Dewan Pers adalah sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan dan menurut data, DP sudah mencatat sekitar 18.000 wartawan kompeten tingkat Muda, Madya dan Utama setelah melakukan uji kompetensi wartawan selama 11 tahun dari 17 lembaga penguji kompetensi.
Pelaksanaan Uji Kompetensi, DP menggunakan metode Observasi dan wawancara untuk pembuktian unjuk kerja. Selain status wartawan kompeten, DP juga memberikan perlindungan hukum melalui Rekomendasinya bila terjadi sengketa hukum karena pemberitaan (Delik Pers) yakni merekomendasikan penyelesaian melalui UU No.40 tahun 1999 tentang pers dengan segala mekanismenya atau penyelesaian menggunakan hukum umum, setelah terlebih dahulu melakukan telaah berita/kasus.
Di sisi lain, lanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2018 tentang BNSP, maka BNSP merupakan lembaga yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang (Negara) untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi.
Uji kompetensi versi BNSP menggunakan Metode Observasi dan Metode Portofolio disertai wawancara untuk pembuktian unjuk kerja dengan prinsip utama bila kompeten, maka tidak terjadi kesalahan dalam mekanisme kerja di lapangan.
Dalam hal ini BNSP tidak mentolerir kesalahan saat pelaksanaan profesi. Bila salah (terjadi delik pers) maka harus melakukan uji kompetensi ulang, artinya asesi belum kompeten sehingga sertifikat kompetensi versi BNSP tetap dapat menjadi alat bukti hukum.
Selama ini, menurut pihak BNSP, ada dua lembaga yang diberi kewenangan oleh negara untuk menerbitkan Sertifikat Kompetensi yakni BNSP dan Perguruan Tinggi.
Sedangkan Dewan Pers bersifat khusus, sehingga timbul pertanyaan, sampai kapan kekhususan itu berlaku, mengingat sejak April 2021 sudah ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia dari BNSP yang sudah meluluskan 18 Asesor (penguji Kompetensi wartawan). Artinya, Lembaga Penguji Kompetensi untuk wartawan saat ini sudah ada dua yakni versi Dewan Pers dan versi BNSP.
Selain itu, sertifikasi kompetensi dari BNSP bersifat general bagi wartawan dan tidak dibatasi sekat konstituen serta lembar sertifikat dicetak di Perum Peruri menggunakan lambang Garuda serta bermeterai menyatu dengan kertas sertifikat.
Dia memprediksi, bila dua lembaga ini, DP dan BNSP adu kuat dan tidak tercapai harmonisasi karena adanya penilaian bahwa BNSP dibentuk dengan UU Ketenagakerjaan sebagai Lex generalis. Profesi wartawan, seperti halnya advokat, dokter, notaris, atau hakim dibentuk dengan Undang Undang khusus (Lex specialis). Adagiumnya Lex specialis derogat legi Generali. Hukum khusus meniadakan hukum umum.
Maka, lanjutnya, DP harus mengupayakan perubahan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan menjadi Peraturan Pemerintah dan masuk dalam lembaran negara dan bila itu tidak dapat dilakukan, maka negara yang akan menyelesaikannya dan semua pihak harus menerima.
Sedangkan bila terjadi harmonisasi atau kompromi dua lembaga ini, maka idealnya pertama, bahan uji harus diselaraskan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang dimiliki oleh BNSP dan bahan masukan seluruhnya dari kalangan pers itu sendiri, kedua, semua lembaga penguji di DP menjadi LSP dan harus ada masa berlaku sertifikat kompetensi, ketiga BNSP harus mengakui 18.000 sertifikat kompeten yang dikeluarkan DP, ke empat, DP harus memberikan perlakuan yang sama terhadap semua wartawan bersertifikat kompeten bila terjadi delik pers, sekaligus menghilangkan sekat konstituen.
Bila harmonisasi itu terjadi, maka wartawan di Indonesia akan diuntungkan, sebab tidak ada lagi sekat konstituen, lalu siapapun yang mengaku wartawan profesional dan kompeten dapat mensertifikatkan kompetensinya di semua LSP Pers yang ada, ucap Fredrich yang juga pemegang sertifikat Penguji dari DP dan sudah lulus (dinyatakan kompeten) sebagai asesor (penguji) BNSP melalui LSP Pers Indonesia. (AI/FK).