Penulis : Ahmad Imron / Editor : Hasfrin Piping
Tonasa, Takalar, Sulsel (Phinisinews.com) – Wartawan Senior Fredrich Kuen, M.Si menilai sangat minim literatur pendukung fakta sejarah tentang Perjanjian Sanrobone 31 Juli 1780 dibandingkan Perjanjian Bungaya 18 November 1667 pada masa perlawanan terhadap Kompeni Belanda yang terpublikasi secara umum maupun di mesin pencari Google.
Padahal, walau jumlah item dari isi perjanjian Sanrobone tersebut lebih sedikit (16 item) di banding perjanjian Bungaya (lebih 20 item), namun isi perjanjian Sanrobone lebih kejam karena mengisolasi total wilayah dan masyarakat Kerajaan Sanrobone tersebut.
Hal itu dikemukakan Fredrich sebagai penanggap pada Pesta Adat “Attamu Taung KareLoe Tonasa dirangkaikan Dialog Budaya Refleksi Perjanjian Sanrobone tahun 1780 dan digitalisasi kebudayaan, strategi unggul pemaju kebudayaan di Takalar” di Baruga Karaeng Pepeya Tonasa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, 29-31 Desember 2022, Sabtu, sekitar 67 kilometer arah selatan dari Makassar.
Acara adat yang berlangsung tiga hari itu dihadiri tokoh serta masyarakat adat dan diakhiri dengan dialog budaya serta pemberian pin kekerabatan Gallarang Tonasa Sanrobone kepada tokoh adat Wanita, Hj Andi Willi Petta Lenna serta tokoh pers Sulsel Fredrich Kuen Daeng Narang, M.Si yang dinilai pemerhati dan pelestari adat melalui profesi masing masing yang penyematannya dilakukan oleh Gallarang Tonasa, Ir Hamin Mustafa Daeng Nyanrang, Dipl Ing, melalui ritual adat penuh, diiringi tabuhan gendang bertalu talu (Tunrung Pakanjara).
Hamin Mustafa Daeng Nyanrang sebagai pembicara utama menguraikan secara rinci isi perjanjian Sanrobone yang diterjemahkan dari Lontara gundul (aksara tanpa tanda baca) yang minim literatur dan publikasi dibandingkan dengan Perjanjian Bungaya yang mudah diketahui melalui mesin pencari Google karena sudah terpublikasi secara mendunia.
Fredrich menyambut sangat positif acara budaya serta refleksi perjanjian Sanrobone yang diterjemahkan dari Lontara Gundul sebagai bukti otentitk dari pelestarian sejarah adat Kerajaan Sanrobone, sekaligus sebagai tonggak masuknya arsip ini pada mesin pencari Google setelah diberitakan.
Saat melakukan flash back Perjanjian Bungaya sebagai pembanding , Fredrich menguraikan fakta sejarah bahwa perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya / Het Bongaais Verdrag) terjadi antara lain karena perlawanan Raja Gowa XVI Sultan Hasanuddin I Malombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape sangat frontal serta memprakarsai kerajaan lain dan kerajaan pengikut melakukan perlawanan bersama, Pasukan Maritim Gowa sangat tangguh, Gowa sebagai pusat Kekuatan Parekonomkian dan perdagangan domestic serta internasional.
Selain itu alur rempah dari Maluku yang lebih dahulu dikuasai VOC Belanda selalu harus melalui kekuatan maritim Kerajaan Gowa dan sekutunya di perairan kekuasaan Kerajaan Gowa. Serta wilayah daratnya juga adalah produsen rempah yang diinginkan VOC Belanda.
Berdasarkan fakta itu, Kerajaan Gowa Harus dikalahkan dan dikuasai melalui strategi politik pecah belah serta menggunakan persenjataan modern (bedil dan meriam) dan kekalahan itu ditandai Perjanjian Bungaya yang ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin dan Admiral Cornelis Speelman. Di samping itu, Belanda juga mengakui Sultan Hasanuddin dengan gelar “Ayam Jantan dari Timur” (De Haantjes van Het Osten).
Karena isi perjanjian yang sangat sepihak maka empat bulan kemudian, 9 Maret 1668, Sultan Hasanuddin Kembali memimpin penyerangan kepada Belanda, walaupun akhirnya kalah terhormat ditandai hancurnya Benteng Somba Opu.
113 tahun kemudian yakni 31 Juli 1780 dilakukan Perjanjian Sanrobone antara Raja Sanrobone dan pihak Belanda di Benteng Rotterdam (Benteng Pannyua) yang terdiri dari 16 item dan menurut Fredrich, perjanjian itu sifatnya mengisolasi Kerajaan Sanrobone, sebab Sanrobone hanya harus patuh kepada Belanda, tidak ada hubungan keluar dan ke dalam, tidak ada persuratan keluar dan ke dalam, kalau melakukan perlawanan dan kalah maka seluruh wilayah Sanrobone menjadi wilayah Company Belanda dan Sanrobone harus membayar denda perang 20 ribu Gulden.
Belum ditemukan referensi dan literatur yang mengurai factor penyebab Kerajaan kecil Sanrobone (kerajaan Palili dari Kerajaan Gowa ini) harus diisolasi. Apakah karena perlawanannya ataukah karena pengaruhnya.
Menurut pemikiran subyektif Fredrich yang juga pelatih wartawan dan Asesor Pers serta Penguji Kompetensi Wartawan, Perjanjian Sanrobone terjadi akibat rasa takut Company Belanda terhadap pengaruh Kerajaan Sanrobone yang besar terhadap Kerajaan Gowa dan kerajaan pengikut Gowa (Palili) lainnya.
Sebab Agama Islam pertama masuk ke Sulsel adalah di Sanrobone tahun 1510 dan di Sanrobone tempat para mahaguru spiritual (Anrong Guru) Raja raja Gowa dan kerajaan palili lainnya, sehingga bila tidak diisolasi, maka Sanrobone dapat mempengaruhi para raja untuk melakukan perlawanan Kembali.
Kerajaan Sanrobone tetap Tangguh sebab, sekalipun diisolasi tetap bertahan ada hingga kini karena potensi sumber daya alam wilayahnya mendukung untuk rakyatnya tetap hidup kuat dalam adat yang tidak lekang oleh waktu, sekalipun sudah berubah menjadi kerajaan adat seperti kerajaan kerajaan lainnya di Indonesia.
Diakhir tanggapannya, Fredrich menyatakan prosesi adat yang dilakukan Gallarang Tonasa Sanrobone ini sangat bagus sebagai upaya pelestarian budaya, memperkuat jadi diri, menjadi kebanggaan terhadap kebijakan budaya local dan yang paling penting sekaligus sebagai upaya membangun monumen ingatan.
Jika Monumen Fisik sulit dibangun, maka monument ingatan harus senantiasa dilakukan untuk pelestarian budaya bagi anak cucu, di samping upaya digitalisasi arsip budaya dalam bentuk rekaman kegiatan, foto dan lainnya serta dilakukan publikasi agar jejak digitalnya tetap dapat ditemukan pada mesin pencari sehingga bersifat universal yang dapat diakses oleh siapa saja yang ingin mengetahui, ujarnya.
Kutipan Perjanjian Sanrobone oleh Gallarang Tonasa Sanrobone, Hamin Mustafa Daeng Nyanrang yang dikutip dari terjemahan Lontara Gundul.
Perjanjian Sanrobone (Senin, 31 Juli 1780)
1. Kerajaan Sanrobone tidak di bawah perintah Kerajaan Gowa. 2. Kerajaan harus tunduk di bawah Company Belanda dan wajib membantu dalam urusan perang. 3. Kerajaan Sanrobone dan segenap Bangsawan serta Rakyatnya tidak bisa mengadakan hubungan dengan kerajaan di seberang, termasuk saling menikah. 4. Kerajaan Sanrobone tidak bisa lagi mengadakan hubungan dan ataupun saling berkirim surat menggunakan Lontara.
5. Barang siapa melanggar larangan menyeberang ke negeri seberang akan dihukum. 6. Jika ada pihak yang berada di wilayah Sanrobone berani menentang company, wajib ditangkap dan diserahkan ke company. 7. Semua kapal perahu yang menjadi lawan company tidak bisa merapat kesemua Pelabuhan, kalau terjadi pelanggaran tangkap dan serahkan ke Company Belanda.
8. Benteng Sanrobone harus dihancur rata dengan tanah dan tidak boleh membangun benteng lagi dimanapun berada. 9. Kerajaan Sanrobone tidak bisa lagi mengangkat Raja dan Pabbicara Butta tanpa ijin Compeny Belanda. 10. Kerajaan Sanrobon wajib membuka Kembali hubungan baik dengan Polombangkeng dan Galesong. 11. Orang Sanrobone dilarang tinggal di Bulukumba, Bantaeng dan Marusu.
12. Jika ada orang Sanrobone berada di wilayah larangan diwajibkan Kembali ke Sanrobone. 13. Jika terjadi perlawananan terhadap Company Belanda oleh Pasukan sanrobone, dan Kembali dikalahkan, maka seluruh wilayah akan disita. 14. Membayar denda perang sebesar 20.000 Gulden. 15. Menyerahkan budak. 16. Mengirim utusan untuk menemui Jenderal Belanda dan ratu Panikang untuk mengesahkan Perjanjian ini. (AI/HP).