News dan Feature dari Sisi Humanis
Oleh : Fyan Andinasari Kuen, S.IP, M.Ikom
(Ka Prodi Ilmu Komunikasi UIT)
Makassar (Phinisinews) – Berita (News) dan Karangan Khas (Feature) setiap hari tersaji dalam berbagai rublik informasi publik di media pers maupun media sosial dengan jumlah sajian terpublis tidak berimbang, terutama dalam jumlah sentuhan humanis (sentuhan kemanusiaan).
Berita (straight news) cenderung berita apa adanya sesuai fakta dan bila itu berita kriminal, kecelakaan atau bencana, maka yang dominan adalah berita (mungkin “berdarah-darah”), baik gambar yang terblur maupun narasi yang terurai, serta penggambaran kekerasan.
Sedangkan Karangan Khas (feature) yang agak longgar dari segi waktu tayang sifatnya lebih lembut (soft) dengan sisi humanis yang menonjol dengan penggambaran suasana dilakukan dengan penggunaan narasi yang menyentuh.
Sejauh ini dalil tentang berita dan karangan khas (feature) senantiasa beragam pendekatannya, namun semuanya memiliki kesepahaman dalam proses dan hasil kerjanya.
Dalam bahasa yang terang benderang, banyak wartawan berpendapat "Berita adalah semua hal yang patut dipublikasikan."
Teorinya menurut Laurence R Campbell, Rolland E. Wolseley, dalam buku “How to report and write the news”, berita adalah laporan tentang suatu kejadian baru, peristiwa, masalah, pendapat, yang menarik banyak perhatian orang
Hal itu dibenarkan pula oleh tiga sekawan Dosen Universitas Tennessee (Amerika Serikat) Julian Harriss, Kelly Leiter, dan Stanley Johnson-dalam buku "The Complete Reporter" pada tahun 1985.
Mereka juga merumuskan bahwa berita minimal menyangkut kepentingan manusia, kejadian dari peristiwa, memiliki fakta dan pendapat yang menarik perhatian publik, kejadian baru atau sesuatu yang menarik untuk diperbarui lagi, berbagai hal yang patut mendapat perhatian publik, sesuatu yang akurat, terikat waktu, membangkitkan rasa ingin tahu, penuh hal-hal baru dan berdampak terhadap perhatian publik, semua hal yang terjadi, yang membangkitkan inspirasi untuk mengetahui apakah hal itu, dan bagaimana hasilnya dari perkembangan hal tersebut, gabungan dari semua kegiatan rutin yang menyentuh rasa kemanusiaan (humanis), dan menjadi perhatian dari banyak khalayak.
Sedangkan beberapa pakar ilmu komunikasi seperti Wilbur Schramm dan Harold Laswell, keduanya dari Amerika Serikat berpendapat bahwa berita minimal memberi jawaban terhadap lima unsur "W" - Who says What at Where and When,then Why- (siapa mengatakan apa, dimana dan kapan, kemudian mengapa), serta dilengkapi satu unsur "H" alias "How" (bagaimana).
Berbagai pengertian tentang berita tersebut, maka pengertian apa itu berita dapat tergambarkan lebih jelas. Namun tahap pelaksanaan untuk mencari berita seringkali dianggap bukanlah hal yang mudah. Permasalahan yang sama, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai lebih rumit lagi, juga terjadi dalam proses pembuatan karangan khas (feature).
Seperti juga berita, istilah karangan khas juga memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang. Namun akhirnya pengertian karangan khas berada di muara yang sama, yaitu karya jurnalistik yang susunan dasarnya sama dengan berita.
Namun, karangan khas (seperti juga namanya) memiliki sesuatu yang lebih khas (khusus) dibanding berita. Oleh karena, karangan khas merupakan berita yang berkedalaman.
Feature lebih dalam saat mengungkapkan latar belakang dari suatu permasalahan. Lebih dalam penuturannya. Lebih dalam informasi yang diungkapkan. Dan, diharapkan lebih dalam menyentuh rasa kemanusiaan pembaca atau publik pada umumnya dan humanis yang terkandung dalam feature itu menjadi kekhasan dan ciri utama feature tersebut.
Selama ini, banyak kalangan pers (wartawan) yang menyatakan lebih mudah mengungkapkan satu permasalahan pelik dalam bentuk karangan khas dan foto dibanding berita biasa.
Kenapa?. Sebab, karangan khas memuat unsur latar belakang sebagai wujud “kedalaman dan humanisnya” dibandingkan berita yang terkesan informasinya masih sepotong-sepotong, terutama pada media on line yang memiliki sistem pemberitaan sesuai tahapan temuan tiap fakta kejadian, karena terikat pola batas waktu tayang (dead line every second), yang mengutamakan kecepatan siar.
Sehingga ada yang mengandaikan, berita ibarat makan nasi saja, sedangkan karangan khas seperti memakan nasi komplit dengan lauk pauknya.
Begitu pentingnya media sejak dahulu sehingga dalam sejarah pers sempat tercatat anekdot bahwa Napoleon Bonaparte sebagai Sang Kaisar Kerajaan Prancis, yang juga panglima perang kawakan, mengatakan bahwa dirinya lebih baik menghadapi senapan dari satu batalyon militer dibanding harus menghadapi satu pena wartawan.
Sedangkan pada bagian lain, banyak orang yang menyebut wartawan adalah “Ratu Dunia” karena hasil pekerjaannya senantiasa menarik perhatian masyarakat dunia.
Era kekinian, menjadi pers idealis dan pers industrialis maka “persaingan” menjadi “agenda tetap” yakni bagaimana pers dapat menjalankan peran idealis sebagai penyampai informasi, pendidik masyarakat, dan memberikan hiburan.
Selain itu, pers dalam fungsinya sebagai lembaga industri perlu pula mengembangkan berita yang bernilai bisnis dari segi iklan agar dapat mensejahterakan wartawannya serta pekerja yang terlibat menunjang bisnis media tersebut dalam bentuk gaji (salary).
Untuk itu, keberhasilan awalnya lebih banyak ditentukan dari persiapan hingga hasil peliputan (reportase)-nya. Artinya, proses dan hasil pekerjaan bagi wartawan sama pentingnya.
Sisi lain dari keseharian kehidupan jurnalis yang tidak kalah pentingnya selain sebagai pembuat berita, feature dan produk jurnalistik lainnya yakni mereka harus menjalankan tiga peran yakni sebagai Journalist, Agent dan Lobbyist.
Sebagai “journalist”, merupakan tugas dasarnya sebagai orang yang melaporkan (de journale) kejadian dari fakta-fakta yang terjadi.
Sebagai “agent”, mereka menerapkan cara kerja “journalist” yang dalam prosesnya melakukan serangkaian pengumpulan fakta-fakta dari suatu kejadian yang dipaparkan untuk kepentingan umum melalui media massa.
Sebagai “lobbyist” merupakan satu kecenderungan yang tidak terlepaskan dalam tatanan kehidupan sosial dari tingkat bawah hingga atas, sehingga
secara pribadi mampu memberikan masukan positif bagi pemegang kebijakan, sekaligus dapat mengorek informasi sekalipun sifatnya tertutup untuk pemberitaan yang mendalam.
Jadi profesionalitas kerja jurnalis (pers) tidak hanya ditentukan oleh ketrampilan teoritis dan praktek, namun juga ditunjang oleh skill multi talenta, sehingga akan terlihat “pembeda” antar jurnalis saat penyajian berita, feature dan produk jurnalistik lainnya yang humanis, faktual, berimbang (balance) dan lengkap. (Editor : FK).