Monday, 17 February 2020 13:21
 
Penulis : Heintje G. Mandagie
Ketum DPP SPRI / Ketua Dewan Pers Indonesia
 
Editor : Fred Kuen.
 
Jakarta (Phinisinews.com) - Judul tulisan ini sesungguhnya tidaklah seekstrim tudingan media abal-abal yang terus dihembuskan Dewan Pers dan para pelayannya terhadap media lokal yang belum terverifikasi. 
 
Potret buruk media lokal yang menjadi corong informasi publik adalah menu utama propaganda  sekelompok elit politik yang ingin terus menguasai Dewan Pers demi mengontrol kekuasaan.
 
Pelaku pers nasional begitu rela diseret ke ruang gelap kemerdekaan pers.  Kelihatannya bangga sekali berada di kelompok elit media atau lebih dikenal dengan sebutan media mainstream. 
 
Bahkan saat ini, menjadi konstituen Dewan Pers -bagi sebagian organisasi pers- adalah ibarat barang langka dan mahal di pasaran. Tak heran ada kelompok organisasi pers yang ikut berjuang menggelar Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia 2019 rela menjual idealisme dengan menjilat Dewan Pers hanya untuk memburu status menjadi konstituen Dewan Pers. 
 
Sudah menjadi rahasia umum "Pengemis Sakti" (baca wartawan media mainstream) bertahun-tahun sadar dijadikan "sapi perahan" para konglomerat media, namun tetap saja angkat kepala menjalankan profesi mulia ini. 
 
Amplop putih berisi lembaran rupiah masih saja menjadi teman setia di lapangan. Idealisme hanyalah label kamuflase wartawan yang punya merek UKW (Uji Kompetensi Wartawan).
 
Selama bertahun-tahun pasal 10 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak berlaku di Republik ini. Bahwa Pasal 10 UU Pers ini mengatur kesejahteraan wartawan wajib diberikan perusahaan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya, namun tidak pernah terimplementasi.
 
Faktanya, wartawan digaji rendah namun dituntut tetap idealis. Sementara antara gaji dan kebutuhan bulanan wartawan tidak imbang, bahkan cenderung minus.
 
Dewan Pers  dan konstituennya yang memiliki kewenangan pengawasan hanya diam membisu. Wartawan dibiarkan "melacur" dan menjadi "pengemis sakti" selama bertahun-tahun. Sementara perusahaan pers meraup untung besar dibiarkan saja tidak memenuhi kewajibannya.
 
Sebagai wartawan yang pernah memimpin beberapa media mainstream lokal, penulis sudah paham betul dengan situasi pasrah dijadikan "sapi perahan" pemilik media.
 
Pada akhirnya "melacurkan diri" atau menjadi "pengemis sakti" menjadi pilihan untuk mengais rejeki dari menjalankan profesi sebagai wartawan. Ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan dan masih berlanjut hingga saat ini, bahkan terjadi di seluruh Indonesia.
 
Alih-alih kondisi ini diatasi, Dewan Pers malah pura-pura sibuk mengurus verifikasi perusahaan pers dan Uji Kompetensi Wartawan. 
 
Bagaimana mungkin wartawan bisa kompeten jika praktek terima amplop masih jadi pilihan utama untuk menutupi biaya bulanan. Buntutnya idealisme pers harus tergadaikan. Ini bukti pers di Indonesia belum merdeka. Artinya kita insan pers terpaksa harus berlumur "dosa" akibat menjual idealisme pers.
 
Padahal faktanya setiap tahun ada angka lebih dari 100 triliun rupiah perusahaan pers meraup pemasukan dari belanja iklan nasional. Tapi wartawan tidak pernah menerima hak kesejahteraannya yang dijamin pasal 10 UU Pers. 
 
Wartawan justeru terseret konflik kepentingan akibat label konstituen dan non konstituen, lalu tanpa sadar saling menyerang lewat media. Maka jadilah jeruk makan jeruk.
 
Lantas upaya apa yang sudah dilakukan Dewan Pers untuk menjamin kemerdekaan pers?. Justeru sangat ironis. Bukannya memperjuangkan kesejahteraan wartawan, Dewan Pers malah asik menebar isu media abal-abal. 
 
UU Pers menugaskan Dewan Pers mendata perusahaan pers, tetapi yang dilakukan adalah memverifikasi perusahaan pers. Perusahaan pers yang lahir di era kemerdekaan pers pasca disahkannya UU Pers tahun 1999, kini  terus bermunculan. 
 
Bahkan Dewan Pers sendiri mengklaim ada 43 ribu media yang belum terverifikasi. Itu artinya, Dewan Pers dengan kondisi personil yang hanya sembilan orang, membuat kebijakan melakukan sendiri verifikasi perusahaan pers di seluruh Indonesia. 
 
Logikanya, apakah Dewan Pers mampu melakukan verifikasi faktual ke 40 ribuan media lokal di seluruh Indonesia?.
 
Jawabannya sederhana. Kita coba ikuti permainan Dewan Pers. Katakanlah 10 tahun proses verifikasi media ini dilakukan Dewan Pers bersama kroni-kroni konstituennya.
 
Dari data yang diakses di situs Dewan Pers per 17 Februari 2020, tercatat baru 1.216 yang terdata. Itupun belum semua dinyatakan terverifikasi faktual. Artinya, masih ada seribu lebih perusahaan pers yang sudah terverifikasi administrasi tapi belum terverifikasi faktual. 
 
Fakta data membuktikan bahwa sudah selama 10 tahun Dewan Pers bekerja tapi kenyataannya hanya mampu memverifikasi faktual 200-an media saja . Bagaimana mungkin puluhan ribu bahkan ratusan ribu media bisa diverifikasi faktual jika kinerja 10 tahun saja fakta datanya seperti itu. Butuh berapa puluh tahun lagi bagi media yang belum terverifikasi mendapat gilirannya?
 
Sekarang perusahaan pers yang belum terverifikasi, pada kenyataannya malah dipotret buruk dengan sebutan abal-abal. Dan bahkan, sengaja dimunculkan propaganda negatif bahwa kerja sama pemerintah dengan media yang belum terverifikasi akan berdampak pidana atau temuan. 
 
Meski BPK RI sudah membuat klarifikasi ke DPP Serikat Pers Republik Indonesia bahwa BPK belum menggunakan peraturan verifikasi Dewan Pers sebagai dasar audit keuangan pemerintah, namun berita hoax itu tetap saja dihembuskan. 
 
Sekarang kita coba mulai berpikir positif dan melihat peluang besar terhadap munculnya puluhan ribu media lokal berbasis online. 
 
Sebelum itu, kita runut dulu ke belakang tentang fakta bahwa ada ribuan media dan belasan organisasi pers yang merasa gerah dengan sikap Dewan Pers tersebut, kemudian memilih membentuk Dewan Pers Indonesia melalui keputusan Kongres Pers Indonesia 2019. Dewan Pers Indonesia dibentuk sebagai solusi menggantikan peran Dewan Pers yang dianggap tidak mampu menjalankan amanah sesuai UU Pers.
 
Lalu apa saja yang menjadi peluang besar dari keberadaan puluhan ribu media lokal tersebut?
 
Peluang besar itu adalah ketersediaan lapangan kerja makin besar untuk menyerap puluhan ribu tenaga kerja profesional di bidang pers. Selain itu, potensi belanja iklan nasional bisa terdistribusi ke seluruh Indonesia secara merata dan tidak hanya terpusat di Jakarta. 
 
Dengan begitu maka puluhan triliun anggaran belanja iklan nasional bisa kembali ke daerah lewat kerja sama perusahaan pengguna jasa periklanan dengan media-media lokal. 
 
Jika peluang besar ini bisa terwujud maka ke depan nanti tidak akan ada lagi media lokal "mengemis" kerja sama dengan pemerintah daerah. Dan pada gilirannya wartawan bisa sejahtera dan media makin independen. 
 
Untuk mewujudkan peluang besar ini, Dewan Pers Indonesia telah membangun jaringan media melalui program sertifikasi media.  Media yang sudah disertifikasi otomatis telah menjadi bagian dari jaringan Media DPI. 
 
Dari langkah ini maka DPI memiliki keyakinan akan kekuatan jaringan media ini mampu mengontrol dan menciptakan opini publik dalam satu irama pemberitaan. Inilah bargaining yang harus kita ciptakan bersama. Beberapa kali berita yang direlease melalui jaringan media DPI mampu menciptakan opini publik di seluruh penjuru tanah air. 
 
Kekuatan jaringan media DPI pada gilirannya akan setara atau bahkan lebih dahsyat dari media mainstream berskala nasional sekalipun. Ini patut dibanggakan atas kerja sama semua pihak. 
 
Bahkan, ada salah satu jaringan media DPI yang digawangi Hendri Kampai, telah menciptakan aplikasi media dan mampu menyatukan media-media lokal di seluruh Indonesia dalam satu sistem. Saat ini tercatat sudah ada kurang lebih 3000 media masuk dalam sistem ini dan akan terus bertambah setiap hari.
 
Pemerintah Daerah dan jajaran Pemerintah Pusat seharusnya tidak mengindahkan propaganda negatif tentang media-media lokal. Sebab perusahaan pers yang bernaung di DPI sedang disertifikasi secara sah sesuai peraturan perundang-undangan melalui organisasi-organisasi pers (berbadan hukum) yang menjadi konstituen Dewan Pers Indonesia, termasuk SPRI.
 
Pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan media-media yang sudah tersertifikasi DPI. Tidak perlu terpengaruh atau takut dengan ancaman Dewan Pers. Karena, DPI memiliki jaringan media sendiri yang sebagian sudah tersertifikasi dan layak mendapat hak atau akses ekonomi yang sama dengan media terverifikasi Dewan Pers. 
 
SPRI yang menerbitkan Sertifikasi Media adalah organisasi pers yang berbadan hukum resmi dari KemenkumHAM RI. Jadi produk sertifikasi media SPRI yang turut disahkan DPI adalah sah sesuai peraturan perundang-undangan. Kalau ada yang mengatakan tidak sah maka itu akan berhadapan dengan hukum. 
 
Yang pasti negara sudah menjamin setiap orang berhak berusaha dan mendirikan perusahaan yang badan hukumnya disahkan pemerintah melalui Dirjen AHU KemenkumHAM RI. UU Pers hanya mengatur syarat mendirikan perusahaan pers adalah berbadan hukum Indonesia dan bukan verifikasi Dewan Pers atau bahkan Sertifikasi Media DPI sekalipun.
 
Sertifikasi Media hanyalah alat untuk mendata perusahaan pers bukan sebagai bukti keabsahan media. 
 
DPI sendiri menjadikan program sertifikasi media untuk membangun jaringan media. 
 
Saat ini kita diajak bermain oleh Dewan Pers dan kroni-kroninya untuk melawan pemerintah yang kabarnya sedang menyusun draft revisi Undang-Undang tentang Pers. Beberapa pasal yang dianggap pemerintah ikut campur dalam ruang lingkup kehidupan pers ditentang. Salah satunya soal pemberian sanksi jika melanggar. 
 
Pada kondisi ini kita abaikan dulu substansi permasalahan yang diprotes oleh organisasi-organisasi konstituen Dewan Pers. Toh investasi media asing yang sepertinya mau dikontrol pemerintah tidaklah berpengaruh langsung bagi kehidupan pers lokal. 
 
Saat ini, ada dan tidak adanya revisi UU Pers, faktanya media-media lokal yang disebut abal-abal sudah terbiasa ditutup akses ekonominya oleh Dewan Pers lewat propaganda negatifnya. 
 
Wartawan media yang disebut abal-abal pun sadar betul bahwa keberadaannya tidak se "sexy" wartawan media mainstream. Makanya untuk "melacurkan diri" tidak mungkin dilirik. Wartawan media-media yang belum terverifikasi sudah terbiasa pula dihina dengan sebutan abal-abal tapi masih lebih terhormat dari pada menjadi "pelacur". 
 
Kehidupan Pers nasional sebetulnya sudah berada pada titik nadir. Sejumlah media nasional yang menguasai ruang publik sudah dikuasai orang parpol. Sangat sulit mendapatkan informasi yang benar-benar dapat dipercaya. Pers nyaris tidak bisa bebas menjalankan fungsi sosial kontrolnya. 
 
Saat ini konstituen DPI sebaiknya fokus pada program memperkuat jaringan media. Semakin besar jaringan media DPI maka akan semakin kuat bargaining posisi perusahaan-perusahaan pers lokal. Bersatu akan lebih baik dari pada diam saja. 
 
Perjuangan bersama harus dimulai dari sekarang. Jangan biarkan perusahaan di Jakarta saja yang menikmati belanja iklan nasional. Perputaran uang di daerah dalam bentuk belanja barang produk nasional harusnya balik ke daerah dalam bentuk belanja iklan.
 
Sehingga perusahaan-perusahaan pers lokal bisa ikut menikmati belanja iklan nasional. Pemerinah Daerah haruslah dibukakan mata bahwa ada ketidak-adilan dalam distribusi belanja iklan nasional. 
 
Sebab fakta sesungguhnya adalah masyarakat lokal yang berbelanja tapi perusahaan di Jakarta saja yang menikmati belanja iklan nasional. (HGM/FK).
Sunday, 09 February 2020 19:52
 
Penulis : Fyan AK.
Editor : Mitha MK
 
Makassar, Phinisinews.com - Aktivis Pers, Sudarman Djoni mengatakan, pelatihan Jurnalistik, khususnya di Sulawesi Selatan, sebaiknya mencontoh pola yang dilakukan "Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC)" yang berada di bawah naungan Yayasan Pers Multimedia Phinisi Kuensyam.
 
Sebab, pola pelatihannya terstruktur, pemateri sangat profesional dan berpengalaman, paham benar tentang kebutuhan wartawan dari pengetahuan hingga teknik jurnalistik dalam praktek keseharian, disajikan secara dinamis dan peserta aktif yang diselingi ice breaker sehingga 10 jam pelatihan tanpa jedah dilalui tanpa mengantuk.
 
Hal itu dikemukakan Sudarman Djoni yang biasa disapa Ali Mitos, aktivis Pers yang juga Sekwil JOIN  (Jurnalis Online Indonesia) Sulawesi Selatan saat mengikuti pelatihan jurnalistik "Smart Journalism, menjadi wartawan cerdas di era Milenial" yang diselenggarakan Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC) bekerjasama dengan Radar Grup di Hotel Sultan and Convention di Makassar, Minggu.
 
Pelatihan tersebut diikuti puluhan peserta dari berbagai profesi seperti wartawan, pengacara, polisi, arsitek, humas, LSM, camat dan lainnya.
 
Dia menguraikan, instruktur sekaligus Direktur Eksekutif P2MTC, Fredrich Kuen MSi yang juga Penguji Kompetensi Wartawan dari LPDS, membuka pelatihan dengan hal yang tidak lazim dengan materi etika peliputan dan moralitas berita lalu mendeteksi serta menangkal hoax versi pers, lalu silent interview untuk memperoleh berita berbeda di liputan umum, kemudian teknik membuat berita Inverted Pyramid dengan angle menarik lalu ditutup dengan praktek menulis berita 15 menit selesai.
 
Seluruh peserta mampu menyelesaikan praktek latihan tersebut tepat waktu dengan hasil yang sangat baik karena dipandu instruktur melalui tahapan dengan disiplin waktu yang ketat, ujar Ali.
 
Dia melanjutkan, tanpa bermaksud membanding bandingkan, banyak pelatihan jurnalistik dilakukan dengan cara tidak fokus dan cenderung hanya menceritakan pengalaman pemateri tanpa praktek dan contoh yang kongkrit.
 
Sedangkan yang dilakukan P2MTC benar benar pengetahuan dan teknik yang dibutuhkan wartawan dalam meliput dan menulis berita yang menarik, terhindar dari masalah hukum dan kerja secara profesional, ucapnya.
 
Salah seorang peserta dari unsur Polisi Bhabinkamtibmas, Aiptu Indrawan mengungkapkan rasa syukur sekaligus merasa bangga.
 
“Terima kasih atas pelatihan yang telah digelar P2MTC, saya bersyukur dan bangga oleh karena tidak semua orang bisa merasakan pelatihan penulisan yang sempurna seperti yang berlangsung hari ini,” ucapnya.
 
 
Peserta lainnya dari Humas Lapas Narkotika, Zulfitra dan Rifai menyatakan selama ini lebih banyak hal negatif yang disorot pers terhadap Lapas, padahal banyak program positif yang telah dilakukan namun tidak terekspose, sehingga melalui pelatihan ini kami akan aktif membuat press release dan meminta bantuan link dari P2MTC agar release tersebut menyebar dibanyak media online.
 
Pimpinan Radar Grup, Herman Nompo ST MT mengatakan materi dalam pelatihan sangat berkualitas dan  dibawakan oleh instruktur profesional Direktur Eksekutif Phinisi Pers Multimedia Training Center sekaligus, Penguji Kompetensi Wartawan (LPDS), mantan GM Perum LKBN Antara, Wartawan Utama dan penulis buku Jurnalisme dan Humanisme, Fredrich Kuen di Dampingi Dosen Komunikasi yang juga mantan VJ (Video Journalist) AntaraTV serta Penulis Buku "Panduan Praktis Kewartawanan di Era Milenial, Mitha Mayestika Kuen, S.I.P, M.I.Kom.
 
Materi yang dibawakan dalam pelatihan itu, Etika dan Moralitas Berita, Cara cerdas menghindari jebakan berita palsu, cara cerdas melakukan silent interview, cara cerdas menulis berita Inverted Pyramid, cara cerdas menentukan angle menarik dan judul menjual lalu praktek penulisan berita.
(FAK/MMK).
Tuesday, 28 January 2020 01:27

 

Penulis : Fyan Andinasari Kuen, S.IP, M.I.Kom

              Ka.Prodi Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Timur (UIT)

Editor : Mitha MK

Ilmu komunikasi adalah ilmu yang selalu mampu untuk masuk ke semua bidang ilmu apapun, baik Politik, Ekonomi, khususnya marketing (pemasaran), kesehatan, Kehumasan dan publik relation untuk semua institusi dan organisasi serta bidang lainnya.

Melalui fakta ilmiah tersebut, maka Ilmu Komunikasi memiliki peluang besar memanfaatkan kebijaksanaan baru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang “Kampus Merdeka”.

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, tanggal 24 Januari 2020, di Jakarta, kembali meluncurkan Kebijakan Merdeka Belajar. Kali ini diberi nama “Kampus Merdeka” yang merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar.

Menurut Menteri, Pelaksanaan Kampus Merdeka paling memungkinkan untuk segera dilangsungkan, hanya mengubah peraturan Menteri, tidak sampai mengubah Peraturan Pemerintah atau Undang-undang.

Terdapat empat (4) penyesuaian kebijaksanaan di lingkup perguruan tinggi untuk pelaksanaan Kampus Merdeka yaitu 1. Membuat Program Studi (Prodi) Baru dengan cara berkolaborasi dengan perusahaan kelas dunia, organisasi nirlaba dan NGO internasional, BUMN atau dengan salah satu dari 100 universitas Top dunia. 2. Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi, 3. Perguruan Tinggi Negeri dengan sistem pengelolaan Satker, BLU dan PTN BH serta 4. Hak Belajar tiga (3) semester bagi mahasiswa S1 di luar Prodi dalam bentuk Opsi (pilihan).

Untuk Ilmu Komunikasi, dengan adanya Kampus Merdeka terutama pada point 4 Belajar 3 semester di luar prodi membuka gerbang baru bagi mahasiswa ilmu komunikasi lebih banyak lagi menguasai ilmu lainnya dan membuka peluang menjadi pribadi pribadi berdaya saing dengan kemampuan multitasking.

Sekarang ini saja, luaran (alumni) jurusan komunikasi yang bekerja sebagai jurnalis profesional, secara mandiri telah mengembangkan keilmuan dan ketrampilannya untuk menjadi multitasking dengan mempelajari ilmu lain untuk digabungkan sebab profesi wartawan harus mengikuti perkembangan teknologi yang terjadi.

Contoh persaingan kerja di dunia pertelevisian yang sudah mengarah pada kapitalisasi ekonomi akan menerima dan mempekerjakan wartawan yang multitasking seperti profesi Video Journalist (VJ) harus mampu membuat berita, mengambil gambar, mengedit gambar, mengisi voice (suara) pada narasi berita dan menyiarkannya / melaporkannya sendiri dari lapangan yang sebelumnya pekerjaan itu harus dilakukan oleh 3-4 orang dan kini hanya satu orang.

Begitupun terhadap wartawan media online harus bisa meliput dan menulis berita, mengedit, mengambil gambar foto untuk kelengkapan berita dengan angle (sudut pengambilan gambar) yang tepat serta melengkapi dengan gambar Video singkap dan menyiarkannya sendiri atas izin admin atau editor penanggungjawab yang biasanya pekerjaan itu dilakukan 3-4 orang, namun saat ini hanya satu orang.

Selain itu, luaran Ilmu Komunikasi juga banyak yang bekerja sebagai Humas, PR, Pemasaran untuk organisasi politik, institusi pemerintah dan swasta yang selama ini penambahan keilmuawan untuk mendukung kinerja profesionalnya di bidang ilmu lain harus dilakukan secara mandiri agar tetap kompetitif di dunia kerja.

Sebab, dalam organisasi modern dan kompleks saat ini, multitasking telah menjadi fenomena yang semakin terjadi dan dianggap sebagai salah satu penentu utama dalam penilaian kinerja.

Dengan kemajuan teknologi, perubahan struktur organisasi dan menyusutnya waktu, multitasking dipandang sebagai persyaratan penting dalam lingkungan kerja modern, untuk melakukan lebih dari satu tugas pada satu waktu.

Sehingga multitasking tampil sebagai salah satu elemen kunci sekaligus memberikan kompetensi inti dan keterampilan yang diperlukan dalam kerja profesional.

Ke depan, multitasking secara mandiri tidak perlu lagi terjadi sebab kebijaksanaan Mendikbud sudah memungkinkan untuk memperoleh keahlian tambahan dalam mem-back up (mendukung) bidang kerja yang diinginkan melalui tiga semester pilihan belajar di luar prodi pada program Kampus Merdeka.

Kebijaksanaan Mendikbud tentang Kampus Merdeka ini merupakan inovasi yang bersifat progresif untuk menciptakan perubahan besar dalam waktu yang tidak lama dan dalam ilmu komunikasi ini selaras dengan perkembangan media baru dan perkembangan teknologi komunikasi kekinian yang membutuhkan perubahan cepat serta penguasaan banyak ilmu dalam bentuk kolaborasi sesuai Teori Difusi Inovasi dari Everett Rogers (1961) bahwa “Difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus dan berkaitan dengan penyebaran beberapa pesan berisi gagasan-gagasan baru (Inovasi) serta teori ini berkaitan dengan proses pembangunan masyarakat dan ada empat (4) elemen utama yang mempengaruhi berkembangnya  yaitu inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial.

Rogers mendefinisikan karakter inovasi yang dapat mempengaruhi keputusan seorang individu untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi.

Berdasarkan hal itu, dengan terbukanya 3 semester belajar di luar prodi atau universitas maka akan menambah pengetahuan dan keahlian serta memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk berinovasi melengkapi bidang keilmuannya dengan bidang kerja yang diinginkan setelah menyelesaikan S1.

Universitas umumnya dan prodi khususnya merupakan pencetak, pembentuk mahasiswa menjadi manusia berdayasaing bukan hanya standar nasional namun juga internasional.

Ilmu komunikasi adalah ilmu dasar namun sangat mempengaruhi hampir semua bidang kerja atau pun ke ilmuan yang menjadi dasar sekaligus penentu kecakapan seorang mahasiswa dalam bersosialisasi.

Kolaborasi keilmuan selama tiga semester akan berdampak multitasking bagi lulusan Ilmu Komunikasi untuk bidang kerja yang diinginkan melalui tiga pendekatan sesuai pengamatan Little John dalam buku Theories of Human Communications, yakni 1. Pendekatan Scientific (Ilmiah-Empiris), 2. Pendekatan Humanistic, 3. Pendekatan Khusus Ilmu pengetahuan sosial (Sosial Sciences).

Sehingga komunikasi tidak hanya pelengkap kemampuan seorang mahasiswa namun saat ini menjadi kebutuhan dalam menghadapi dunia kerja, komunikasi saat ini bukan hanya alat bersosialisasi tetapi sebagai kemampuan  atau skill di segala bidang, sehingga ilmu ini bisa melengkapi ataupun menjadi utama berperan sebab semua bidang ilmu membutuhkan komunikasi yang baik dalam aktualisasi keilmuannya di dunia kerja maupun research (penelitian).

Sebagai Dosen, kami menyambut positif Kebijaksanaan “Kampus Merdeka” Mendikbud Nadiem Anwar Makarim sebagai terobosan baru di dunia pendidikan nasional yang sekaligus mendekatkan luaran perguruan tinggi dengan dunia kerja secara profesional.(MMK)

Thursday, 16 January 2020 13:20

 

Penulis : Fred K

Editor : Mitha MK

Makassar (Phinisinews.com) - Unit Tim Tagana (tanggap bencana) Mako Brimob Polda Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan siap membimbing serta melakukan simulasi dan latihan bersama dengan Tim SAR (pencarian dan penyelamatan) Yayasan Aksi Peduli Kemanusiaan (Y-APK).

"Silahkan kontak dan datang ke Tegana Mako Brimob Pabaeng Baeng Makassar untuk simulasi dan latihan penggunaan peralatan pencarian, penyelamatan, evakuasi serta simulasi lapangan, kita bersinergi untuk aksi kemanusiaan," kata unsur Pimpinan Tegana Mako Brimob Makassar AKP Abdul Azis Bani, S.Sos dan IPTU Alimuddin Sau, S.Kom, di Makassar, Kamis.

Sambutan hangat tersebut diberikan Tim Tegana Mako Brimob saat menerima audiensi pengurus Y-APK yang terdiri Ketua Umum, Jufri Tutu, Ketua Dewan Pembina, Herman Nompo, ST, MT, Ketua Dewan Pengawas, Fredrich Kuen, S.Sos, M.Si serta pengurus Y-APK lainnya.

Tim Tagana Mako Brimob menyambut positif teman teman Y-APK yang memiliki Tim SAR dan puluhan relawan kemanusiaan yang diinisiatori beberapa wartawan senior yang terpanggil bukan hanya meliput dan memberitakan bencana dan berbagai masalah kemanusiaan, melainkan sekarang terjun langsung dalam aksi kemanusiaan, ujar mereka.

Fredrich Kuen mengatakan, sinergitas Tegana dan Y-APK akan unik serta sangat manusiawi dan semangat membantu aksi kemanusiaan ini kami sadari harus melalui pembekalan pengetahuan pencarian dan penyelamatan sehingga kami menjalin kerjasama dengan beberapa pihak terkait yang selama ini profesional dalam aksi kemanusiaan.

Tim SAR Y-APK tidak ingin saat melakukan kegiatan kemanusiaan seperti penyelamatan korban bencana, malah kami yang dievakuasi karena fisik dan ketrampilan SAR tidak memadai, ujarnya.

Tim SAR Y-APK yang beberapa orang diantaranya adalah wartawan pasti memiliki keistimewaan yakni saat musibah atau bencana akan langsung terlibat dalam proses penyelamatan, setelah itu membuat dan menyiarkan berita, sehingga informasi itu akan menggerakkan donatur ikut membantu kelanjutan penanganan korban pasca bencana, kata Fredrich yang juga Direktur Eksekutif Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC).

Filosofi tim penyelamatan yang pantang dievakuasi karena dirinya ikut jadi korban, lanjutnya itu mirip dengan sistem kerja wartawan bahwa tidak ada berita yang lebih besar dibanding keselamatan wartawan tersebut saat meliput sebab pantang wartawan jadi korban, karena bila itu terjadi maka dialah yang menjadi berita besar dan bukan dia yang membuat berita besar.

"Kami juga selalu mengingatkan teman wartawan yang menjadi Tim SAR Y-APK agar mendahulukan memberi pertolongan saat penyelamatan korban bencana dibandingkan memotret untuk foto berita," ucapnya.

Herman Nompo berharap agar sesegera mungkin untuk mengimplementasikan program-program kerja bersama Tim Tagana Korps Brimob dan Y-APK dalam kegiatan pelatihan cara penyelamatan dan evakuasi korban bencana.

Selain itu, dalam waktu dekat Y-APK akan bekerjasama dengan P2MTC untuk melakukan pelatihan jurnalistik dan menyertakan peminat dari Tagana dan Tim Penyelamat lain dengan tujuan agar mampu menulis berita singkat dan membuat foto berita.

Sasarannya, ujar Herman, agar berita dan foto berita yang tidak terjangkau wartawan bisa dibagikan ke Pers untuk pemberitaan agar rasa kemanusiaan calon donatur atau lembaga donatur tergerak untuk membantu pasca bencana atau pasca penyelamatan korban. (FK/MMK).

Wednesday, 15 January 2020 14:36

 

Penulis : Fred K
Editor : Mitha MK

Makassar (Phinisinews.com) - Kodam XIV Hasanuddin dan Yayasan Aksi Peduli Kemanusiaan (Y-APK) siap saling bersinergi melakukan kerjasama untuk kegiatan kemanusiaan di Provinsi Sulawesi Selatan.

"Kam siap membantu kegiatan kemanusiaan yang dilakukan Y-APK dan sangat bagus bila Y-APK juga bisa berkontribusi bila sewaktu waktu kami membutuhkan kerjasama untuk aksi kemanusiaan," kata Aster Kodam XIV Hasanuddin, Kol Arm Hari Wibowo, S.Sos di Makassar, Rabu.

Hal itu dikemukakan Hari Wibowo saat mewakili Pangdam XIV Hasanuddin menerima audiensi Y-APK yang terdiri dari Ketua Umum, Jufri Tutu, Ketua Dewan Pembina, Herman Nompo, ST, MT, Ketua Dewan Pengawas, Fredrich Kuen, S.Sos, M.Si di ruang kerjanya.

Dia menyatakan sangat mengapresiasi kegiatan Y-APK yang bergerak di bidang kemanusiaan dan pertemuan yang bernuansa silaturahmi ini sangat penting bagi kita semua untuk memelihara dan menjaga sinergitas.

Selain itu, pihaknya menyambut positif tawaran kerjasama Y-APK melakukan pelatihan jurnalistik untuk staf penerangan Kodam, mengingat inisiator pendiri yayasan tersebut sebagian adalah wartawan senior.

Fredrich Kuen mengharapkan agar ke depan Kodam XIV Hasanuddin melibatkan Tim SAR (pencarian dan penyelamatan) Y-APK dalam latihan SAR untuk mematangkan ilmu dan pengetahuan dari devisi SAR yang dimiliki Y-APK.

Selain itu, relawan Y-APK siap terlibat langsung untuk aksi kemanusiaan yang bersifat umum atau massal.

Fredrich yang juga Direktur Eksekutif Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC) menyatakan, Y-APK akan menggandeng P2MTC dan menawarkan kerjasama pelatihan jurnalistik untuk staf penerangan di lingkup Kodam XIV Hasanuddin.

Kerjasama itu bisa dalam bentuk Kodam menyelenggarakan pelatihan jurnalistik secara internal untuk staf penerangan Kodam dan P2MTC menjadi pemateri atau beberapa pelatihan jurnalistik yang dilakukan P2MTC akan mengikutsertakan staf Penerangan Kodam.

Penawaran Y-APK tersebut mengingat selama ini banyak kegiatan teritorial dan kegiatan kemanusiaan TNI di daerah yang sangat bagus dan dekat dengan rakyat namun kurang diketahui oleh masyarakat luas karena tidak terpublikasi atau publikasinya terbatas.

Aksi kemanusiaan dan kedekatan TNI dengan rakyat ini harus diketahui publik dan kami siap menularkan ilmu jurnalistik tersebut dan membuka link link penyebaran informasi secara online untuk kegiatan Kodam, ucap Fredrich yang juga Penguji Kompetensi Wartawan.

Jufri Tutu menyatakan bahwa ini kehormatan bagi Y-APK bisa membangun hubungan kerjasama dan silaturrahim dengan Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin.

Sedangkan Herman Nompo juga memaparkan bahwa Tim SAR Y-APK juga sudah pernah ikut terlibat bersama Armed 6 Kostrad saat gelar simulasi latihan penanggulangan bencana alam di Danau Tanjung Bunga Makassar beberapa minggu yang lalu.

“Tentunya juga kami berharap agar kerjasama, dukungan dan sinergitas yang akan kita bangun dapat ditingkatkan guna membantu masyarakat dalam berbagai kegiatan dan aksi kemanusiaan," ucapnya. (FK/MMK).

Wednesday, 15 January 2020 11:41
 
Penulis : Fred K
Editor : Mitha MK
 
Makassar (Phinisinews.com) - Asisten II Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Drs Muhammad Firda MSi menyatakan, sangat positif menyentuh kepedulian masyarakat untuk kegiatan kemanusiaan.
 
Dan hal itu telah dilakukan Yayasan Aksi Peduli Kemanusiaan (Y-APK) sesuai skala kemampuan yang dimiliki sehingga Pemprov Sulsel siap bersinergi untuk aksi sosial dan kemanusiaan di provinsi ini.
 
Hal itu dikemukakan Muhammad Firda saat menerima Tim Y-APK yang terdiri dari Ketua Umum, Jufri Tutu, Ketua Dewan Pembina, Herman Nompo, ST, MT dan Ketua Dewan Pengawas Y-APK, Fredrich Kuen, S.Sos, MSi di ruang kerjanya kantor Gubernur Sulsel di Makassar, Rabu.
 
Pemprov Sulsel sangat mengapresiasi program kerja Yayasan Aksi Peduli Kemanusiaan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan ini.
 
"Kami siap bersinergi dengan YAPK sesuai dengan visi misi yang bergerak di bidang kemanusiaan dan ini sudah membantu pemprov, ” ucap Firda yang didampingi stafnya Muh Nur Saleh.
 
Jufri Tutu menguraikan, Y-APK bergerak di bidang kemanusiaan seperti ikut membantu korban kebakaran, membantu masyarakat tidak mampu yang sakit dengan cara membawa ke rumah sakit hingga membantu biaya pengobatan dan perawatan, bakti sosial untuk rumah ibadah, membantu kursi roda bagi yang membutuhkan, pembibitan kentang untuk membantu masyarakat miskin di pegunungan, edukasi terhadap penanggulangan bahaya narkoba, donor darah untuk kebutuhan mendesak dan lainnya.
 
Cara kerja Y-APK selalu tepat sasaran sebab sebelum membantu dalam aksi kemanusiaan terlebih dahulu dilakukan survei atau investigasi karena dalam yayasan ini digerakkan oleh inisiator inisiator wartawan senior, ujarnya.
 
Menurut Herman Nompo, Y-APK biasanya jadi inisiator dan karena kegiatannya dipertanggungjawabkan dalam bentuk publis berita, maka banyak masyarakat peduli kemanusiaan langsung melanjutkan aksi tersebut melalui inisiatif sendiri, seperti saat dibuatkan kebun percontohan untuk bibit kentang di Malino, Kabupaten Gowa, maka Pemda setempat setelah melihat hasil yang bagus tersebut, langsung membantu petani untuk pembibitan dengan mengucurkan dana ratusan juta.
 
"Ini sangat positif dan ini memang tujuan Y-APK yakni membantu dalam hal kemanusiaan, sekaligus menyentuh dan menggerakkan berbagai pihak untuk juga melakukan aksi kemanusiaan, ucapnya.
 
Dia juga menambahkan bahwa Ke depannya YAPK akan selalu melaksanakan kegiatan – kegiatan peduli kemanusiaan dan sosial serta  juga akan mengembangkan bimbingan kewirausahaan (entrepreneurship) bagi UMKM.
 
Fredrick Kuen yang juga Direktur Eksekutif Phinisi Pers Multimedia Training Center menguraikan, untuk penanggulangan narkoba, Y-APK melakukan dalam bentuk edukasi dalam bentuk seminar dan pelatihan yang mangaitkannya dengan pelatihan citizen jurnalism untuk siswa maupun masyarakat di pedesaan dengan memanfaatkan media sosial (medsos) dalam upaya pencegahan dan penanggulangan narkoba.
 
Edukasi penanggulangan narkoba yang dikaitkan pelatihan jurnalistik citizen jurnalism maupun pelatihan jurnalistik dasar agar mampu menulis secara benar dan aman di medsos sangat diminati pelajar, siswa maupun masyarakat umum dari kalangan Milenial. (FK/MMK).
Tuesday, 31 December 2019 22:58
 
Oleh : Yohandri Akmal
 
Dilansir dari Wikipedia, Dewan Pers adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers. Telah berdiri sejak tahun 1966 melalui Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers, tetapi pada saat itu fungsinya sebagai penasehat Pemerintah, dan memiliki hubungan secara struktural dengan Departemen Penerangan. 
 
Seiring berjalannya waktu, Dewan Pers terus berkembang dan akhirnya memiliki dasar hukum terbaru, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak saat itulah menjadi sebuah lembaga independen. Pembentukannya juga dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena Kemerdekaan Pers termasuk sebagai bagian dari HAM. Kewenanganya, untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Sebagai lembaga independen, Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari Pemerintah pada jajaran anggotanya.
 
Nah, seperti keterangan di atas menjelaskan bahwa Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari pemerintah pada jajaran anggotanya. Hal itu berarti, benar benar menjadi lembaga yang independen. Kita kunci dulu dasar kata “independen”nya.
 
Fungsi Dewan Pers 
Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Pers, Dewan Pers berfungsi sebagai berikut:
• Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
• Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
• Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
• Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
• Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
• Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
• Mendata perusahaan pers.
 
 
Dewan Pers bersifat mandiri, dan tidak ada lagi bagian pemerintah di dalam struktur pengurusannya. Otoritas Dewan Pers terletak pada keinginan redaksi serta perusahaan media pers untuk menghargai pendapatnya, serta mematuhi kode etik jurnalistik juga mengakui segala kesalahan secara terbuka.
 
Lagi, di atas juga menyebutkan berdasarkan fungsinya, Dewan Pers masih dikatakan independen demi kualitas Media Pers dan Wartawan. Sangat bagus ternyata.
 
Namun, kondisi di lapangan sering bertolak belakang. Saya mendengar banyaknya Pengusaha Media Pers dan Wartawan yang mengeluh akan pendataan Perusahaan Media di Dewan Pers dan Kompetensi Wartawan (UKW), yang dilaksanakan oleh para Lembaga Penguji. Dengan banyaknya keluhan tersebut, apakah Dewan Pers tidak bijaksana dalam menjalankan mekanisme Lembaganya? Saya rasa tidak mungkin. Namun, perdebatan tentang hal ini masih menjadi polemik yang fenomenal di kalangan insan pers.
 
Lalu, siapakah yang musti disalahkan? Apakah Dewan Pers atau Media Pers?
 
Berdasarkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999, Tentang Pers menyebutkan siapa saja bisa menjadi wartawan, asalkan berazas pada cara kerja atau kode etik yang telah tertuang. 
 
Menariknya, perdebatan tersebut mulai mencuat meluas. Bahkan, beberapa organisasi Wartawan ikut membuat Dewan Pers sendiri. Misalnya Dewan Pers Indonesia (DPI) yang digagas oleh Heintje Mandagi dan Wilson Lalengke, bersama rekan rekan wartawan se Indonesia.
 
Dari data yang saya peroleh, terdapat ribuan Media Cetak dan Siber yang terdaftar di dalam DPI. Mengapa bisa?.
 
Kemudian, sayapun menelusuri. Ternyata para media yang mendaftar ke DPI mengungkapkan beberapa alasan yang kuat. Salah satunya ingin menegakkan fungsi Dewan Pers sebenarnya, kata mereka.
 
Menurut saya, Dewan Pers yang telah ada dan Dewan Pers Indonesia, fungsinya sama. Kedua lembaga ini bertujuan untuk memerdekakan pers yang sesungguhnya. 
 
Heintje Mandagi pernah bilang, dia bersama para media yang bergabung bersama DPI akan tetap menegakan fungsi pers secara real (nyata). “Kemerdekaan pers harus ditegakan demi kemajuan bangsa dan fungsi sebenarnya. Kita tidak mau Dewan Pers menjadi penjilat pemerintah dan berdampak melemahkan profesi wartawan. Untuk itu, dengan kehadiran DPI seyogyanya akan menguatkan para media yang ada di tanah air kita ini”, tegasnya.
 
Terkadang saya heran, apakah kritikan wartawan tiada diperlukan lagi? Serasa aneh memang, dilihat dari banyaknya bungkaman yang didapatkan. Media tertekan dengan berbagai hal, mulai dari kriminalisasi, syarat verifikasi, UKW bahkan penolakan kerjasama publikasi oleh sejumlah instansi. Walau sudah dianggarkan sekalipun terkait publikasi, tapi tak semuanya kebagian kontrak kerjasama. Dugaannya, verifikasi Dewan Pers selalu dikedepankan untuk menjadi alasan dalam penolakan oleh sebagian Humas Pemerintah.
 
Dulu Media Pers dianggap sama bila melakukan kegiatan jurnalistik sebagaimana mestinya. Namun sekarang sudah berbeda. Kini, Koran, Penerbit, Portal Berita Online dan Radio memiliki nilai karir dengan verifikasi. Antaranya, Belum Terverifikaasi, Terferivikasi Administrasi dan Terverifikasi Faktual. Hal ini sering menjelmakan banyak sudut pandang dan pengakuan. Kasihan bila adanya anggapan abal abal, ditujukan kepada perusahaan media yang sama sekali belum terdaftar di Dewan Pers. 
 
Lantas, apakah dengan mempunyai Badan Hukum dan Perizinan belum bisa menjadi Perusahaan Pers? Jawaban saya, merujuk kepada UU No 40 Tahun 1999, tidaklah begitu. Karena, undang undang menyebutkan media pers yang layak beroperasi musti berbadan hukum PT, Yayasan dan Koperasi. Tidak disebutkan adanya verifikasi oleh Dewan Pers. Kalau kita mengacu pada UU yaa..
 
 
Dalam hal ini, saya menganggap apa yang dilakukan Dewan Pers itu hal wajar. Sebab, apalagi kegiatan mereka jika bukan untuk mengurusi Media Pers di Indonesia. Tandanya DP telah bekerja, dengan baik.
 
Siapa yang musti disalahkan, jika para Humas menolak kerjasama publikasi dengan alasan para media belum terverifikasi. Dewan Pers atau humas kah? Sangat dilematis bukan. DP dalam hal ini bertindak demi kebaikan pers, katanya. Sedangkan Humas bertindak demi kebaikan pemerintah. 
 
Mengenai Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diselenggarakan oleh berbagai pihak di daerah daerah, itu masih menyimpan banyak pertanyaan dan upatan. Pastinya, karena budget yang di anggap cukup besar untuk mengikuti UKW. Seperti halnya jenjang karir wartawan muda, madya dan utama. 
 
Di daerah saya, jika ada informasi mengenai rencana pelaksanaan UKW, maka para wartawan yang ingin ikut akan kerepotan untuk mencari biaya pendaftarannya. Biasanya berkisar, 3 – 4 jutaan. Tapi hanya sebagian yang merasa begitu.
 
Beberapa waktu lalu, teman saya hendak mendirikan perusahaan pers. Namun dia meminta pendapat saya terlebih dahulu. Lalu, saya hanya mampu menjawabnya dengan beberapa pertanyaan. Pertama; apakah sudah punya modal besar? Kedua; apakah sudah memiliki Kartu UKW Utama? Ketiga; apakah siap ditolak oleh para humas pemerintah dalam hal kerjasama publikasi?. Artinya, saya menjelaskan jika tidak memiliki kesiapan untuk ketiga hal tersebut, maka lebih baik urungkan saja niatmu teman.
 
“Media dulu pasca reformasi dengan media kini, situasinya sudah berubah”, ucapan singkat saya kepadanya.
 
Diakui memang, kini mendirikan media terbilang sulit. Ribetnya perizinan dan peraturan karbitan yang melemahkan semangat seseorang untuk mendirikan media pers.
 
Sebenarnya, salah satu faktor penunjang untuk menjadikan Negara ini lebih baik lagi, ialah degan memperbanyak jumlah wartawan. Bahkan jika perlu, minimal adanya satu orang wartawan di setiap RW maupun kelurahan.
 
Kenapa sedemikian? Terus terang saja ya, kontrol sosial sangat diperlukan hingga di area terkecil Negara ini. Sebab, informasi merupakan hal penting dalam perkembangan dan kemajuan sebuah daerah. Wartawan adalah corong informasi dan aspirasi rakyat. Tetapi, jika peraturan yang begitu menyulitkan untuk mendirikan Perusahaan Media Pers, dapatkah hal itu tercapai, dan mana mungkin bisa tercipta jurnalis seperti yang diharapkan.
 
Dulu Pers dianggap berperan dalam membangun bangsa, makanya disebut pilar ke empat demokrasi. Tapi kini, meningkatnya laporan kepolisian tentang ITE dan pencemaran nama baik yang ditujukan kepada wartawan, seakan akan jurnalis menjadi hantu bagi para pejabat atau objek berita. Lucunya, tidak sedikit kasus terebut bergulir ke meja hijau (Pengadilan). Lalu, apa gunanya hak jawab, hak tolak dan hak klarifikasi maupun perlindungan wartawan yang dijamin oleh Undang Undang? Mungkinkah cuma omong kosong belaka?. Nilailah sendiri, namun fakta di lapangan memang seperti itu.
 
Pesan saya kepada pemerintah dan objek berita. Perlu diketahui, Karya Jurnalistik tidak bisa serta merta dipidanakan. Andai saja saya pakar hukum, maka saya akan tekankan sisi hukum yang sangat dalam untuk menjelaskan hal ini. Namun, saya belum berkapasitas layak untuk berbicara mendalam terkait bidang Hukum Pers.
 
Saya masih optimis, jika Dewan Pers akan melindungi wartawan, baik yang UKW maupun non UKW. Sebab, fungsi DP seperti yang kita ketahui bersama. Paling tidak, kekhawatiran saya terkait perlindungan wartawan sudah terjawab oleh berdirinya Dewan Pers Indonesia sebagai perisai yang lain.
 
Logikanya begini, saya sudah melakoni dan mempelajari ilmu jurnalistik dalam rentan waktu yang cukup lama. Sebelumnya pada masa orde baru, saya bekerja dengan sejumlah media dan kini sudah memiliki sebuah perusahaan media pers. Tetapi, saya belum pernah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Pertanyaannya, apakah saya belum layak disebut sebagai seorang wartawan dengan sejumlah pengalaman yang cukup lama ini?.
 
Ditambah lagi, saya telah belajar menulis berita dengan para pakar Komunikasi dan Jurnalis di sejumlah Akademisi, bahkan tak sedikit pula seminar jurnalistik yang telah di ikuti. Sederhananya, saya tak ikut UKW karena tidak mau mengeluarkan uang yang besar hanya untuk ujian ini. Bukanya pelit, tapi saya lebih suka mengikuti hal hal yang bersifat keilmuan daripada sekedar kompetensi semata.
 
Mulai dari Indepht Reporting, Investigasi News, Stright News, Storytelling Journalism dan Feature News sudah saya pelajari. Baik dalam penerapannya sekalipun, saya juga pernah. Apalagi dalam hal managemen redaksi, tajuk maupun sisi redaksional pun saya dalami, karena jiwa pers sudah melekat kental. Saya menjadi wartawan untuk Rakyat, dan bangsa yang saya cintai. Nasionalisme saya, disalurkan melalui bidang jurnalistik, tentunya saya juga lebih khawatir bila negara ini berkecamuk. 
 
Ketua PPWI, Wilson Lalengke dalam tulisanya berjudul "Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan". Cukup lama saya mentelaah tulisan tersebut, apakah benar seperti itu? Tapi faktanya, saya kerap menemui beberapa orang wartawan yang telah mengantongi Kartu UKW tetapi tak mengerti dengan karya jurnalistik. Artinya, dalam tulisanya masih terkesan layak koreksi.
 
Paling menarik dikatakan Wilson dalam tulisanya, yaitu menyebutkan bahwa Pelaksanaan UKW DP tidak benar.
 
Wilson Lalengke dan Heintje Mandagi, bukanlah orang baru dalam dunia pers Indonesia. 
 
Wilson dan Heintje tak segan segan mengkritisi kelakuan Dewan Pers. Tentu mereka punya alasan, sayangnya saya tak menanyai sejauh itu.
 
Saya sangat bersyukur, masih ada tokoh "Pembela dan Pelindung Pers" bagi ribuan wartawan.
 
Melihat banyaknya fenomena kriminalisasi terhadap wartawan. Belum lagi, wartawan yang dibilang abal abal, mengkerdilkan perusahaan media pers yang belum terverifikasi DP dan seterusnya. Tentu akan sangat panjang jika di ulas. 
 
Jadi kesimpulanya, saya senang dengan kehadiran para pembela dan pelindung pers. Seperti; Dewan Pers dan Dewan Pers Indonesia. 
 
Perlu diingat, Dewan Pers yang benar itu tidak akan kurang ajar, baik disisi kebijakan maupun wartawan sebagai “Anak Asuhnya”. Dewan Pers yang elok, “Melindungi Insan Pers dan Tidak Berladang di Punggung Wartawan”.(YS/FK).
Monday, 23 December 2019 19:39
 
 
Penulis : Mitha Mayestika Kuen
Editor : Fred K
 
Makassar (Phinisinews.com) – Kepala LLDikti Wilayah IX Sulawesi, Prof  Dr Jasruddin Daud Malago mengatakan, Making Indonesia 4.0 telah menetapkan arah yang jelas bagi masa depan Industri nasional, terutama untuk industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, industri elektronik dan kimia.
 
Faktor pendukungnya adalah mapping penerapan teknologi 5G di sejumlah kawasan industri, penggunaan internet di Indonesia mencapai 143 juta orang dan sekitar 49,8 persen pengguna internet berusia 19-34 tahun. 
 
Hal itu dikemukakan Prof Jasruddin saat berbicara pada “Seminar Nasional Sains, Teknologi dan Sosial Humaniora 2019” yang digelar oleh Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar, di Hotel Horison Makassar, Senin, menyertakan 123 pemakalah dengan tema “Strategi dan implementasi dalam menghadapi Making Indonesia 4.0 dan society 5.0 terhadap SDM dan riset”.
 
Peserta seminar berasal dari 19 perguruan tinggi di Indonesia, baik dari Sulawesi Selatan maupun dari luar provinsi Sulsel.
 
Menurut Jasruddin yang juga Guru Besar Fisika Material Universitas Negeri Makassar (UNM), revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan penguasaan teknologi seperti Cyber physical system yakni sistem siber fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual dan membuat keputusan yang tidak terpusat.
 
Selain itu, menggunakan sistem claud yakni melalui claud, disediakan layanan internal dan lintas organisasi yang dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai manufactur.
 
Dari keadaan itu, lanjutnya, maka model pembelajaran di era revolusi industri 4.0 dikelompokkan menjadi tiga model yakni model konvensional face to face, model daring dan otomatisasi serta model blanded learning.
 
Direktur Direktorat Penelitian UGM, Prof Dr Mustofa mengatakan, dampak dari revolusi industri 4.0, sebagian besar aktivitas telah menerapkan dukungan internet dan dunia digital.
 
Menghadapi perkembangan itu, menurut dia, permasalah penelitian di Indonesia antara lain kelembagaan yakni unit penunjang belum optimal, manejemen riset yakni penelitian dan unit belum optimal, begitu juga dengan anggaran yang alternative funding rendah, lalu SDM peneliti yang jumlah doktor dan profesor rendah serta relevansi serta produktivitas tidak relevan dengan pasar karena rendah produktivitas.
 
Menghadapi masalah itu maka keahlian yang dibutuhkan di industri masa depan antara lain kemampuan untuk memecahkan masalah yang asing dan belum diketahui solusinya di dalam dunia nyata (complex problem solving), kemampuan untuk melakukan koordinasi, negosiasi, persuasi, monitoring, kepekaan dalam memberikan bantuan hingga emotional intelligence (social skill).
 
Selain itu, kemampuan untuk dapat melakukan judgement dan keputusan dengan pertimbangan cost-benefit serta kemampuan  untuk mengetahui bagaimana sebuah sistem dibuat dan dijalankan (system skill).
 
Mustofa juga menguraikan bahwa untuk merespon masa depan dibutuhkan komitmen peningkatan investasi di pengembangan digital skill, selalu mencoba dan menerapkan prototype teknologi terbaru (learning by doing) dan menggali bentuk kolaborasi baru bagi model sertifikasi atau pendidikan dalam ranah peningkatan digital skill.
 
Di samping itu, melakukan kolaborasi antara dunia industri, akademisi dan masyarakat untuk mengidentifikasi permintaan dan ketersediaan skill bagi era digital di masa depan serta menyusun kurikulum pendidikan dengan memasukkan materi  terkait human digital skills.
 
Sedangkan program inovasi mata kuliah yang harus dikembangkan antara lain mata kulian lintas disiplin, paparan kompetensi global, implementasi soft skills dalam kurikulum, transformasi digital berbasis daring serta peningkatan dan penguatan mata kuliah berbasis e-learning dan MOOC.
 
Untuk penelitian di era revolusi industri  harus inovatif, multi, inter dan lintas disiplin, komprehensif, memberikan nilai tambah serta mengangkat potensi lokal, ujar Mustofa.
 
Rektor UIT, Dr. Andi Maryam mengatakan, kegiatan Seminar Nasional ini, bukan hanya sampai di sini. Target UIT adalah menyelenggarakan Seminar Nasional minimal dua kali dan seminar internasional satu kali dalam satu tahun. Rencana akan dilaksanakan bulan April atau Mei 2020.
 
 
Menurut Rektor, sanksi terhadap UIT dari Kemenristek Dikti merupakan berkah, petunjuk dan nasehat dari Dr Ophirtus Sumule, DEA bahwa UIT harus banyak melakukan kegiatan, sehingga bisa dikenal tidak seperti dulu.
 
"UIT sekarang jauh lebih baik. Kami berupaya berkomitmen seluruh atau civitas dari akademik dari bebagai sisi," ujarnya lalu melanjutkan bahwa dahulu mahasiswa waktu disanksi sisa 4.000 orang dari 25.000 orang, tetapi setelah enam bulan ini UIT sekarang memiliki 15.000 mahasiswa setelah adanya perbaikan.
 
Seminar nasional dirangkaikan penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) antara Rektor UIT, Dr Andi Maryam dengan Universitas Ibnu Sina (UIS) Kota Batam Kepulauan Riau. 
 
Turut hadir pada seminar itu,  Wakil Rektor I, Suriati, Wakil Rektor III, Muhammad Khaerul Nur, Direktur Pascasarjana UIT, Prof Dr Hj. Maemunah Dawy, para dekan, ketua prodi, dosen UIT dan lainnya. (MMK/FK).
 

Galleries

 
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha K Makassar (Phinisinews.com) – Sebanyak 120 kantong darah...
  Penulis : Redaksi  /  Editor : Fred Daeng Narang Bulukumba, Sulsel (Phinisinews.com) – Masyarakat adat...
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha K Makassar (Phinisinews.com) – Kawasan Wisata Terpadu Gowa...
  Penulis : Andi Mahrus Andis.   Makassar (Phinisinews.com) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulawesi...

Get connected with Us