Oleh : Halilintar Latief *
Makassar (Phinisinews.com) - Runtutan peristiwa yang menggoyahkan kestabilan keamanan beberapa abad di wilayah Sulawesi Selatan membuat kesenian merana. Baik secara fisik maupun psikis, berkesenian di Sulsel laksana berkarya di atas puing-puing.
Dalam kondisi fisik, kesenian mengalami porak-poranda kelembagaan. Intrik-intrik kekuasaan dalam kelembagaan kesenian lebih mengemuka dari pada perburuan kualitas kreativitas. Pengaruh eksternal pun demikian.
Kekuasaan birokrat dan politisi selalu membayangi pertumbuhan kesenian dengan mengatas namakan pembinaan dan pelestarian. Kini raksasa pariwisata sangat berpengaruh pada pikiran pemerintah dan karya seniman di Sulsel.
Secara psikis, insan-insan seni mengalami berbagai tekanan jiwa, mulai kehidupan keluarga, sampai dilema-dilema sosial. Tekanan-tekanannya bagai gelombang yang terus menerpa tindih menindih.
Di tengah gelombang inilah saya berupaya mengatur riak irama kesenianku. Kadang harus mengelus bagai angin sepoi menggiring para nelayan, kadang harus menyeruak berselencar di atas gelombang, kadang harus berteriak menantang badai, atau bahkan harus bersikap sebagai cadas yang kokoh melindungi pantai.
Penandatanganan “Perjanjian Bungayya” antara Makassar dan Kompeni Belanda 18 November 1667, sebagai awal puing-puing Sulsel. Sejak itulah kejayaan kerajaan-kerajaan di Sulsel secara berangsur melemah dan memudar. Ini terjadi karena orang-orang Makassar dan Bugis berkonsentrasi pada perlawanan fisik secara terus menerus.
Nuansa perang yang terus menerus mengiringi aktivitas kemasyarakatan selama beberapa abad, membias pada persepsi tentang seorang pria yang ideal yaitu haruslah seorang yang perkasa.
Pekerjaan yang halus-halus dan suci-suci (kesenian dan ritual) diserahkan menjadi urusan wanita. Keberadaan pria adalah untuk menjaga harkat keluarga dan berperang untuk negara. Hal ini masih melekat hingga kemerdekaan telah tercapai. Misalnya pandangan yang menganggap seorang pria yang menggeluti tari dianggap hina.
Mereka dituduh banci (wanita pria – waria) atau sebagai wanita yang tidak pantas, apalagi ia seorang bangsawan. Seorang anak bangsawan dianggap tidak etis menari. Apalagi menari pajogek, yang diidentikkan sebagai kelas bawah.
Para bangsawan atau orang merdeka merasa gengsi (siri) untuk membolehkan anaknya ikut menari pada pesta-pesta HUT kemerdekaan atau di sekolah mereka.
Padahal sebelumnya, putra-putri bangsawan turut, bahkan diwajibkan menari dalam istana. Suatu hari ketika usai pentas di tahun 1971, Petta Bunga Rosi nenek saya menghardik saya. Katanya, “Belum pernah terjadi sebelumnya, turunan dari keluarga kita menjadi pajogek atau melakukan jogek. Justru kitalah yang harus disuguhkan pajogek itu.”
Sebagai putra tertua dari keluarga bangsawan Bugis yang bukan seniman, aktivitas kesenianku dipandang memalukan keluarga besar. Kesenian identik dengan pekerjaan hamba dan atau hanya untuk dilakukan oleh para wanita saja.
Bila ada seorang pria yang menari maka kejantanannya perlu dipertanyakan, mungkin dia seorang banci. Tetapi secara sembunyi-sembunyi, seni pertunjukan masih saya geluti hampir secara total.
Hingga suatu waktu, tahun 1977, saya harus menghadapi sidang keluarga. Penuntut umum dan hakimnya adalah ayah saya. Beliau menvonis , “... jika berkesenian kamu akan jadi apa?, kucing kurus saja tidak akan sanggup diberi makan ....” Kata-kata tersebut mengiang terus dibenakku.
Apa betul demikian, saya harus buktikan kelak bahwa itu tidak benar. Sidang tersebut akhirnya memutuskan bahwa saya harus dipisahkan dari komunitas kesenian Makassar, dan dipindahkan ke Yogyakarta. Hal semacam itu telah pernah saya alami ketika masih di SMU, harus dipindah ke kota lain menjelang kelas tiga.
Syukurlah dapat menjadi sarjana tari pertama asal Sulsel (1985) yang kembali ke daerah asal, dan diterima kembali oleh keluarga walau mulanya dengan keraguan dan keterpaksaan. Saya mengajar di Universitas Makassar (dulu IKIP), untuk membuktikan kepada keluarga dan masyarakat bahwa profesi dalam kesenian juga terhormat dan dapat menghidupi keluarga.
Peran istana sebagai pusat pembinaan kesenian kemudian diambil alih oleh rakyat dan para anrongguru, matowa, dan sanro, dan rakyat di luar istana. Kerajaan pun berakhir dan meleburkan dirinya masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masa-masa awal pascaproklamasi kemerdekaan, ditandai oleh semangat over nasionalisme para tokoh pejuang Sulsel.
Berbagai aspek kehidupan masyarakat yang selama ini terikat oleh adat-istiadat atau norma-norma setempat ikut pula berubah. Hampir semua lembaga adat masa lampau dihapuskan. Berbagai gelar kebangsawanan bahkan ditanggalkan. Dalam lembaran budaya, mereka menghapus idiom-idiom yang dahulu mereka dambakan.
Spirit Karaeng, Andi, Opu, dan lainnya, hilang bersama ketakutan-ketakutan antinasionalisme. Mereka gentar dicap feodal atau enggan dikatakan mempertahankan feodalisme yang menjadi tantangan utama perjuangan NKRI.
Tidak banyak lagi orang yang berani memelihara kesenian yang selama ini merupakan warisan budaya. Jika perlu, semua kesenian yang berbau istana harus dihilangkan. Begitu pula seni pertunjukan yang dibina selama ini oleh keluarga raja-raja harus pula ditiadakan. Akibatnya, seni pertunjukan tradisi di Sulsel hampir-hampir punah. Kalaupun masih ada, keadaannya sangat menyedihkan bahkan morat marit dan sekadar tambal sulam adanya.
Situasi seni budaya Bugis dan Makassar diibaratkan berjalan sendiri bagai ‘madoko tenrijampangi‟ atau bagai sakit tak terhiraukan. Inilah salah satu puing yang mencecari kesenian di Sulsel.
Sekitar tahun 1959, lahirlah tari garapan baru Sulsel yang dipelopori oleh Fachruddin Daeng Romo dan Andi Nurhani Sapada (Anida). Lahirnya tari garapan baru Sulsel dimungkinkan setelah penggabungan instrumen musik tradisional menjadi satu sinfoni kecil pada tahun 1960.
Sinfoni musik kecapi, suling, gendang, dan gong yang dipadukan pertama kali, salah satu cirinya khas gaya tari rumpun ANIDA. Instrumen yang paling dominan karena merupakan melodi adalah suling atau kadang-kadang vokal. Instrumen musik lainnya hanya merupakan pelengkap. Lagu yang dipilih adalah lagu-lagu berbahasa daerah yang telah distandarisasi mengikuti konvensi nada diatonis.
Geraknya mengikuti melodi, mengalun berkesinambungan, dan jarang ada gerak stacato. Karena lagu-lagu telah terpola yang berarti durasinya tetap tanpa penggarapan, maka gerak tari terpaksa menyesuaikan dengan panjang lagu tersebut.
Sehingga pada gilirannya berpengaruh pada dinamika dan dramatik tari yang secara keseluruhan terkesan feminis. Kesan feminis pada tari versi Anida juga dipengaruhi oleh keadaan dan kemampuan penata tarinya yang umumnya adalah kaum wanita pada masa awal pertumbuhannya. Akibatnya, karakter gerakan pria Bugis-Makassar yang dikenal perkasa, dalam tari versi Anida menjadi gerakan kebanci-bancian.
Entah sengaja atau akibat ketidaktahuan, seni pertunjukan versi Anida inilah yang kemudian dikenal secara umum sebagai seni tradisional Sulsel. Berbagai media dan berbagai peristiwa mengedepankan seni versi Anida sebagai wajah kesenian Sulsel dalam kancah kesenian nasional.
Ketika dilakukan pemetaan tari tradisional etnik-etnik yang ada di kawasan Sulsel, temuan sangat menajubkan adalah bahwa di kawasan ini masih terdapat sekitar 370 lebih jenis tari tradisional yang bebas dari versi Anida. Ada lebih dari 200 jenis alat musik etnik tersebar dengan berbagai variasinya. Ratusan lagu rakyat masih dikenal oleh anak-anak dan orang tua di wilayah gunung, pedalaman, pantai dan kepulauan. Walau tertatih-tatih, hasil temuan lapangan ini terus didengungkan dan disebarkan dengan berbagai cara, sebisa dan sebatas kemampuan. Publikasi sederhana yang mandiri telah diupayakan, presentasi di berbagai forum dan di kelas-kelas masih terus dilakukan.
Tahun 1959, kursus Tari Pakarena versi Anida yang pertama dilakukan.Dari tempat itu pula berdiri Yayasan Institut Kesenian Sulawesi (IKS) yang merupakan wadah yang melahirkan tari-tari hasil garapan baru dari tokoh-tokoh pembaharu. Pendirinya antara lain Dr. Mattulada, Hamzah Daeng Mangemba dan ANIDA sendiri. Dari wadah IKS lahir pula organisasi-organisasi seni Sulsel dalam dekade tertentu.
Walaupun berkesenian di tengah puing-puing keruntuhan moral sangat berat dilakukan, namun cukup mengasikkan karena penuh tantangan. Tidak terasa, ternyata telah terajut sebuah konsep kesenian di atas puing-puing tersebut.
Keterampilan fisik, instink, rasa, penalaran dan spritual harus disatukan secara bulat menjadi kekuatan kesempurnaan persegi empat. Ombak harus dijaga agar tetap berdebur, tertiup angin agar semangat api menggoyang dinamika perahu ke tanah tujuan. Keadaan itu membuat jaga, dan ingin terus berteriak : “apalagi ... bagaimana lagi...!” (Editor : Fred Kuen).
Catatan : Andi Halilintar Latief adalah Antropolog (S3 Antropologi Budaya Unhas 2005).