Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred Daeng Narang
Makassar (Phinisinews.com) – General Manager (GM) Journalist Training Development (JTD) Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC), Mitha Mayestika Kuen, S.IP, M.I.Kom mengatakan, idealnya wartawan harus kompeten secara personal dan professional.
Sebab, kompeten secara personal adalah kemampuan (skill) dan penguasaan (knowledge) terhadap mekanisme kerja kewartawanan dengan zero error (tanpa kesalahan) dan sikap (attitude) untuk pertanggungjawaban kepada industri media.
Sedangkan Kompeten Profesional harus dimiliki oleh wartawan sebab unjuk kerja berada di ranah publik yang harus ada rasa (self censoring), kepekaan terhadap publik, ada kepercayaan (trusht) dengan berita yang benar serta bertanggungjawab terhadap publik secara langsung.
Hal itu dikemukakan Mitha usai Pelatihan untuk Pimpinan Redaksi “Share Media Management Knowledge for Pimred” selama 16 jam serta Bimbingan Teknis enam jam menuju pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Wartawan yang diselenggarakan Lembaga Pelatihan Jurnalistik dan Kehumasan P2MTC, 17-19 Januari 2023, di Kampus P2MTC Jalan Metro Tanjung Bunga Ruko Mall GTC Blok GA.9 No.7 Makassar, pekan ini.
Kompeten Personal ada sertifikatnya dalam berbagai tingkatan (level). Jadi jika wartawan sudah menganggap diri kompeten diprofesinya, silahkan sertifikatkan kompetensi Anda. Sedangkan Kompetensi professional itu melekat pada diri dan jiwa serta kerja professional wartawan.
Dia mencontohkan, jika satu berita diperkirakan bila terpublis akan berdampak pertikaian SARA dan lebih banyak dampak negatifnya, maka walau tidak ada lagi Lembaga Sensor, tetapi wartawan professional masih memiliki Hati Nurani yang berfungsi sebagai self censoring untuk tidak menyiarkan berita yang akan berdampak buruk bagi public tersebut.
Banyak cara untuk kompeten di dunia kerja industri media, lanjut Mitha yakni secara otodidak (trial error) namun membutuhkan waktu lama, dari kampus yang sangat teoritas serta dari Pelatihan yang merupakan kombinasi teori dan unjuk kerja yang bersifat praktis dan siap kerja kompeten di profesinya.
Pelatihan di Lembaga pelatihan professional dapat menjembatani proses kompetensi kerja (kompetensi personal) secara cepat dan dapat juga dilakukan oleh organisasi pers serta industry media besar, asal pelatihan dilakukan focus per-level, sebab jika sifatnya general (umum) maka capaian target menjadi lama. Padahal level kompetensi wartawan berjenjang yakni wartawan muda, madya dan utama.
Menurut Mitha yang berlatar Praktisi-akademisi sebab sebelum menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Sulsel adalah video journalist professional di Jakarta, Undang Undang tentang Pers yakni UU No.40/1999 membolehkan siapa saja warganegara membuat perusahaan media asal berbadan hukum legal.
Reformasi yang hebat itu membuat pertumbuhan media dan jumlah wartawan melonjak tajam dan ini harus diimbangi munculnya Lembaga pelatihan jurnalistik professional, minimal di tiap provinsi, untuk mendukung kerja terbatas Dewan Pers maupun Organisasi Pers yang selama ini sangat kurang melakukan pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di bidang jurnalistik dibandingkan pertumbuhan media dan wartawan.
P2MTC memiliki master-master trainer terbaik dengan pengalaman puluhan tahun sebagai jurnalis professional dan akademisi yang telah mendapat kepercayaan besar di Sulsel maupun nasional dalam penyelenggaraan pelatihan Jurnalistik dan Kehumasan hingga penyelenggaraan Bimbingan Teknis menuju Uji Kompetensi,
“Bimbingan Teknis jurnalistik dapat kami lakukan untuk semua level karena trainer kami juga pemegang sertifikat Penguji dari LPDS Dewan Pers serta Sertifikat Asesor Pers dari LSP Pers Indonesia lisensi BNSP”, ucap Mitha berpromosi. (AI/FDN).
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Mitha K.
Makassar (Phinisinews.com) - Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro (IKAPADI) Makassar mengadakan Haul ke-168 Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro di Kompleks Makam pahlawan tersebut di Makassar, Minggu.
Ketua IKAPADI Makassar, RM Saiful Achmad Diponegoro mengatakan, pentingnya menjaga semangat persatuan diantara keluarga Diponegoro yang tergabung dalam organisasi IKAPADI.
Haul di isi lantunan ayat-ayat suci Suci Alquran, kalimah tahlil, takbir, tasbih, keluarga besar IKAPADI Makassar serta audiens mengirimkan doa dengan khidmat untuk Pangeran Diponegoro dan keluarga Trah Diponegoro yang telah meninggal dunia.
Syaiful mengajak peserta haul mengenang dan mengingat kembali jejak sejarah Pangeran Diponegoro selama berkecamuknya Perang Jawa (1825 sampai 1830), Pangeran Diponegoro tidak henti-hentinya didera tantangan hidup yang berat.
Namun beliau tetap istiqomah, tetap kuat dan tegak berdiri dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Sang Penggengam alam semesta, Allah SWT. Nilai-nilai perjuangan Nabi Muhammad SAW, Sultan Agung Hanyakrakusumo (Raja Mataram Islam Ke-3), dan Sri Sultan Hamengku Buwono I (Raja Kasultanan Yogyakarta Ke-1) telah menjadi inspirasi keteguhan jiwa Pangeran Diponegoro, untuk mengumandangkan perang sabil melawan Penjajah Belanda dan londo ireng (pribumi pengkhianat yang memihak Belanda).
Melalui haul ini, diharapkan dapat menjadi titik tolak IKAPADI dan masyarakat Makassar untuk meraih sinergi positif, mewujudkan cita-cita dan tujuan mulia perjuangan para leluhur dan pahlawan bangsa, ujarnya..
Hadir dalam acara tersebut anggota dewan pengurus IKAPADI, dan.Raden Hamzah Diponegoro selaku pengelola Makam Pangeran Diponegoro serta komunitas Masyarakat Jawa yang ada di Makassar dan masyarakat umum serta keluarga besar Pangeran Diponegoro.
Tujuan dari diadakannya Acara Tahlil & Doa Bersama ini adalah untuk mendoakan Pangeran Diponegoro sekaligus mengenang dan meneladani perjuangannya. (AI/MK).
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Hasfrin Piping
Tonasa, Takalar, Sulsel (Phinisinews.com) – Wartawan Senior Fredrich Kuen, M.Si menilai sangat minim literatur pendukung fakta sejarah tentang Perjanjian Sanrobone 31 Juli 1780 dibandingkan Perjanjian Bungaya 18 November 1667 pada masa perlawanan terhadap Kompeni Belanda yang terpublikasi secara umum maupun di mesin pencari Google.
Padahal, walau jumlah item dari isi perjanjian Sanrobone tersebut lebih sedikit (16 item) di banding perjanjian Bungaya (lebih 20 item), namun isi perjanjian Sanrobone lebih kejam karena mengisolasi total wilayah dan masyarakat Kerajaan Sanrobone tersebut.
Hal itu dikemukakan Fredrich sebagai penanggap pada Pesta Adat “Attamu Taung KareLoe Tonasa dirangkaikan Dialog Budaya Refleksi Perjanjian Sanrobone tahun 1780 dan digitalisasi kebudayaan, strategi unggul pemaju kebudayaan di Takalar” di Baruga Karaeng Pepeya Tonasa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, 29-31 Desember 2022, Sabtu, sekitar 67 kilometer arah selatan dari Makassar.
Acara adat yang berlangsung tiga hari itu dihadiri tokoh serta masyarakat adat dan diakhiri dengan dialog budaya serta pemberian pin kekerabatan Gallarang Tonasa Sanrobone kepada tokoh adat Wanita, Hj Andi Willi Petta Lenna serta tokoh pers Sulsel Fredrich Kuen Daeng Narang, M.Si yang dinilai pemerhati dan pelestari adat melalui profesi masing masing yang penyematannya dilakukan oleh Gallarang Tonasa, Ir Hamin Mustafa Daeng Nyanrang, Dipl Ing, melalui ritual adat penuh, diiringi tabuhan gendang bertalu talu (Tunrung Pakanjara).
Hamin Mustafa Daeng Nyanrang sebagai pembicara utama menguraikan secara rinci isi perjanjian Sanrobone yang diterjemahkan dari Lontara gundul (aksara tanpa tanda baca) yang minim literatur dan publikasi dibandingkan dengan Perjanjian Bungaya yang mudah diketahui melalui mesin pencari Google karena sudah terpublikasi secara mendunia.
Fredrich menyambut sangat positif acara budaya serta refleksi perjanjian Sanrobone yang diterjemahkan dari Lontara Gundul sebagai bukti otentitk dari pelestarian sejarah adat Kerajaan Sanrobone, sekaligus sebagai tonggak masuknya arsip ini pada mesin pencari Google setelah diberitakan.
Saat melakukan flash back Perjanjian Bungaya sebagai pembanding , Fredrich menguraikan fakta sejarah bahwa perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya / Het Bongaais Verdrag) terjadi antara lain karena perlawanan Raja Gowa XVI Sultan Hasanuddin I Malombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape sangat frontal serta memprakarsai kerajaan lain dan kerajaan pengikut melakukan perlawanan bersama, Pasukan Maritim Gowa sangat tangguh, Gowa sebagai pusat Kekuatan Parekonomkian dan perdagangan domestic serta internasional.
Selain itu alur rempah dari Maluku yang lebih dahulu dikuasai VOC Belanda selalu harus melalui kekuatan maritim Kerajaan Gowa dan sekutunya di perairan kekuasaan Kerajaan Gowa. Serta wilayah daratnya juga adalah produsen rempah yang diinginkan VOC Belanda.
Berdasarkan fakta itu, Kerajaan Gowa Harus dikalahkan dan dikuasai melalui strategi politik pecah belah serta menggunakan persenjataan modern (bedil dan meriam) dan kekalahan itu ditandai Perjanjian Bungaya yang ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin dan Admiral Cornelis Speelman. Di samping itu, Belanda juga mengakui Sultan Hasanuddin dengan gelar “Ayam Jantan dari Timur” (De Haantjes van Het Osten).
Karena isi perjanjian yang sangat sepihak maka empat bulan kemudian, 9 Maret 1668, Sultan Hasanuddin Kembali memimpin penyerangan kepada Belanda, walaupun akhirnya kalah terhormat ditandai hancurnya Benteng Somba Opu.
113 tahun kemudian yakni 31 Juli 1780 dilakukan Perjanjian Sanrobone antara Raja Sanrobone dan pihak Belanda di Benteng Rotterdam (Benteng Pannyua) yang terdiri dari 16 item dan menurut Fredrich, perjanjian itu sifatnya mengisolasi Kerajaan Sanrobone, sebab Sanrobone hanya harus patuh kepada Belanda, tidak ada hubungan keluar dan ke dalam, tidak ada persuratan keluar dan ke dalam, kalau melakukan perlawanan dan kalah maka seluruh wilayah Sanrobone menjadi wilayah Company Belanda dan Sanrobone harus membayar denda perang 20 ribu Gulden.
Belum ditemukan referensi dan literatur yang mengurai factor penyebab Kerajaan kecil Sanrobone (kerajaan Palili dari Kerajaan Gowa ini) harus diisolasi. Apakah karena perlawanannya ataukah karena pengaruhnya.
Menurut pemikiran subyektif Fredrich yang juga pelatih wartawan dan Asesor Pers serta Penguji Kompetensi Wartawan, Perjanjian Sanrobone terjadi akibat rasa takut Company Belanda terhadap pengaruh Kerajaan Sanrobone yang besar terhadap Kerajaan Gowa dan kerajaan pengikut Gowa (Palili) lainnya.
Sebab Agama Islam pertama masuk ke Sulsel adalah di Sanrobone tahun 1510 dan di Sanrobone tempat para mahaguru spiritual (Anrong Guru) Raja raja Gowa dan kerajaan palili lainnya, sehingga bila tidak diisolasi, maka Sanrobone dapat mempengaruhi para raja untuk melakukan perlawanan Kembali.
Kerajaan Sanrobone tetap Tangguh sebab, sekalipun diisolasi tetap bertahan ada hingga kini karena potensi sumber daya alam wilayahnya mendukung untuk rakyatnya tetap hidup kuat dalam adat yang tidak lekang oleh waktu, sekalipun sudah berubah menjadi kerajaan adat seperti kerajaan kerajaan lainnya di Indonesia.
Diakhir tanggapannya, Fredrich menyatakan prosesi adat yang dilakukan Gallarang Tonasa Sanrobone ini sangat bagus sebagai upaya pelestarian budaya, memperkuat jadi diri, menjadi kebanggaan terhadap kebijakan budaya local dan yang paling penting sekaligus sebagai upaya membangun monumen ingatan.
Jika Monumen Fisik sulit dibangun, maka monument ingatan harus senantiasa dilakukan untuk pelestarian budaya bagi anak cucu, di samping upaya digitalisasi arsip budaya dalam bentuk rekaman kegiatan, foto dan lainnya serta dilakukan publikasi agar jejak digitalnya tetap dapat ditemukan pada mesin pencari sehingga bersifat universal yang dapat diakses oleh siapa saja yang ingin mengetahui, ujarnya.
Kutipan Perjanjian Sanrobone oleh Gallarang Tonasa Sanrobone, Hamin Mustafa Daeng Nyanrang yang dikutip dari terjemahan Lontara Gundul.
Perjanjian Sanrobone (Senin, 31 Juli 1780)
1. Kerajaan Sanrobone tidak di bawah perintah Kerajaan Gowa. 2. Kerajaan harus tunduk di bawah Company Belanda dan wajib membantu dalam urusan perang. 3. Kerajaan Sanrobone dan segenap Bangsawan serta Rakyatnya tidak bisa mengadakan hubungan dengan kerajaan di seberang, termasuk saling menikah. 4. Kerajaan Sanrobone tidak bisa lagi mengadakan hubungan dan ataupun saling berkirim surat menggunakan Lontara.
5. Barang siapa melanggar larangan menyeberang ke negeri seberang akan dihukum. 6. Jika ada pihak yang berada di wilayah Sanrobone berani menentang company, wajib ditangkap dan diserahkan ke company. 7. Semua kapal perahu yang menjadi lawan company tidak bisa merapat kesemua Pelabuhan, kalau terjadi pelanggaran tangkap dan serahkan ke Company Belanda.
8. Benteng Sanrobone harus dihancur rata dengan tanah dan tidak boleh membangun benteng lagi dimanapun berada. 9. Kerajaan Sanrobone tidak bisa lagi mengangkat Raja dan Pabbicara Butta tanpa ijin Compeny Belanda. 10. Kerajaan Sanrobon wajib membuka Kembali hubungan baik dengan Polombangkeng dan Galesong. 11. Orang Sanrobone dilarang tinggal di Bulukumba, Bantaeng dan Marusu.
12. Jika ada orang Sanrobone berada di wilayah larangan diwajibkan Kembali ke Sanrobone. 13. Jika terjadi perlawananan terhadap Company Belanda oleh Pasukan sanrobone, dan Kembali dikalahkan, maka seluruh wilayah akan disita. 14. Membayar denda perang sebesar 20.000 Gulden. 15. Menyerahkan budak. 16. Mengirim utusan untuk menemui Jenderal Belanda dan ratu Panikang untuk mengesahkan Perjanjian ini. (AI/HP).
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred K
Makassar (Phinisinews.com) - Asesor Pers, Fredrich Kuen, M.Si atas nama LSP Pers Indonesia menyerahkan puluhan sertifikat Wartawan Utama, Wartawan Madya dan Wartawan Muda Reporter berlisensi BNSP kepada peserta Sertifikasi Kompetensi Wartawan (SKW) yang dinyatakan kompeten.
Sebanyak 10 orang Pimpinan Redaksi serta beberapa orang Redaktur dan Wartawan menjadi penerima sertifikat kompeten, sekaligus menjadi pemegang sertifikat berlisensi BNSP yang pertama di bidang pers untuk kawasan timur Indonesia, yang diserahkan di Kantor TUK (Tempat Uji Kompetensi) YPMPK (Yayasan Pers Multimedia Phinisi Kuensyam) jalan Metro Tanjung Bunga Ruko Mall GTC Blok GA.9 No.7 Makassar, Senin.
Fredrich mengingatkan bahwa Sertifikat Kompetensi bukan hanya salah satu penghargaan dan pengakuan terhadap kinerja seorang wartawan, melainkan juga tanggung jawab besar untuk terus mempertahankan kerja jurnalistik tanpa kesalahan (zero error).
Menurut dia, kompetensi yang menjadi syarat kerja wartawan, idealnya dibarengi dengan reward (penghargaan) yang memadai baik oleh perusahaan media maupun negara.
Sebab menjadi wartawan kompeten itu tidak mudah dan tidak instan, harus dibarengi kerja keras terlatih maupun otodidak.
Terlatih bila wartawan sambil kerja juga ikut pelatihan yang diselenggarakan perusahaan pers, organisasi pers atau perusahaan pers membiayai untuk mengikuti pelatihan jurnalistik pada lembaga pelatihan profesional agar memperoleh sumber daya manusia wartawan berkualitas sesuai yang diinginkan.
Sedangkan wartawan kompeten yang melalui jalur proses otodidak yakni "learning by doing" (belajar sambil menjalani rutinitas kerja). Ini memiliki resiko salah lebih besar karena belajar dari pengalaman (trial and error) dibanding bila belajar dari pengalaman orang atau mengikuti pelatihan.
Ada anekdot, wartawan profesional yang menjalankan tugas jurnalistik secara benar, bisa salah bila berhadapan dengan "kekuasaan" yang power full. Artinya, kerja benar saja bisa salah, sehingga wartawan harus membentengi diri dengan paham aturan kerja, menguasai standar operasional, memahami secara benar landasan kerja yang terurai pada Undang undang No.40 tahun 1999 tentang Pers serta melaksanakan dengan disiplin tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Berdasarkan keadaan itu, tidak mudah menjadi wartawan kompeten, profesional dan independen, sehingga menjadi wajar dan ideal wartawan kompeten memperoleh reward.
Sebab, lanjutnya, menjadi wartawan kompeten tidak mudah, mahal dan sulit mendapat kesempatan ikut uji kompetensi, sekalipun secara independen, maka banyak kalangan berharap kompetensi bagi wartawan bukan hanya syarat kerja profesional dan hasil kesepakatan organisasi pers, namun harus disertai reward.
Untuk media main stream (media arus utama) yang mapan secara finansial sudah banyak yang memberi reward kepada wartawannya seperti untuk jabatan tertentu hanya wartawan dengan kompetensi level tertentu yang bisa menduduki.
Media lainpun, yang sedang tumbuh dan berkembang, juga idealnya memberi penghargaan atas capaian Kompeten bagi pemegang sertifikat kompeten tersebut dengan jenjang karir yang jelas, ujar Fredrich. (AI/FK).
Penulis : Rusdy Embas / Editor : Fred Kuen
Bulukumba, Sulsel (Phinisinews.com) - Kepala Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Sulawesi Selatan, Dr Arman Agung, bersama tim melakukan monitoring pelaksanaan Lokakarya lima (5) Angkatan untuk lima (5) Program Pendidikan Guru Penggerak, di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.
Lokakarya berlangsung di SMKN 3 di Lembang, Kecamatan Ujungloe, Kabupaten Bulukumba, sekitar 175 kilometer dari Makassar ibukota Provinsi Sulsel, akhir pekan ini (19/11), diikuti 75 peserta.
Ke-75 calon guru penggerak tersebut dibagi lima kelas. Mereka berasal dari sejumlah sekolah se Kabupaten Bulukumba. Mulai dari guru PAUD, SD, SMP, hingga SMA.
Calon guru penggerak yang mengikuti lokakarya ini telah melewati seleksi, beberapa waktu lalu. Mereka akan dievaluasi setelah mengikuti lokakarya berkelanjutan yang diagendakan berlangsung sembilan kali.
Arman Agung mengunjungi peserta lokakarya di lima ruang kelas berbeda, sekaligus memotivasi mereka agar tetap berkreasi dan memunculkan potensi dirinya sebagai calon guru penggerak.
Dalam pertemuan itu, dia mengingatkan salah satu filosofi hidup etnis Bugis-Makassar yakni mampu beradaptasi di setiap tempat di manana pun berada.
“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," kata Arman merespons pernyataan salah seorang calon guru penggerak.
Filosofi itu menurut dia, menunjukkan kemampuan masyarakat Sulsel melakukan banyak hal dengan sempurna dimanapun mereka beraktivitas. Mereka mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diriny.
Arman menjelaskan juga bagaimana sikap berterima kasih dengan cara yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat Sulsel mewujudkan rasa terima kasihnya dengan sikap dan perbuatan.
“Mereka berterima kasih dalam hati. Dia rela melakukan banyak hal untuk kebaikan orang yang telah berjasa kepadanya. Mereka itu ikhlas mempertaruhkan darah dan nyawanya untuk membela pihak yang telah berjasa kepadanya,” ucapnya.
Di ruang kelas berbeda, Arman berdialog dengan salah seorang calon guru penggerak dari SMPN 6 Bukit Harapan Kindang, Bulukumba.
Dialog itu berlangsung, seusai Ayu Triana, nama guru tersebut, menjelaskan inovasi siswanya mendaur ulang sampah menjadi baju bodo, busana khas perempuan Bugis - Makassar.
Dia memperlihatkan gambar baju bodo kreasi siswanya melalui ponsel kepada Arman seraya menjelaskan proses pembuatannya dari mulai mengumpulkan kantong kresek dan merangkainya menjadi baju bodo.
Kreasi itu dilakukan bersama murid-muridnya setelah mengikuti rangkaian lokakarya sebagai calon guru penggerak.
Di ruangan lain, seorang calon guru penggerak menyampaikan kiat memotivasi muridnya menjadi kreatif sebagai hasil pembelajarannya selama lokakarya. Guru itu mengajak siswanya menulis puisi. Hasilnya, banyak murid yang bisa langsung menulis puisi. Meski belum sesempurna yang diharapkan.
“Pengalaman saya itu, membuktikan bahwa siswa mampu melakukan banyak hal untuk mengeksplorasi potensi dirinya jika dimotivasi dan diberi kebebasan berkreasi,” ucapnya. (RE/FK).
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred Kuen
Makassar (Phinisinews.com) - Ketua Umum DPP Dewan Ekonomi Indonesia Timur (DEIT), Annar Salahuddin Sampetoding mengatakan, DEIT harus tampil sebagai pionir dan contoh bagi pengusaha lain serta DPD DEIT Sulsel harus tetap mempertahankan Provinsi ini sebagai barometer penggerak ekonomi di Kawasan Timur Indonesia.
Beberapa langkah kongkrit dalam kerja Tim DEIT adalah mengimbau semua pengurus dan anggota DEIT di Provinsi Sulsel membuka rekening di Bank Sulselbar.
“Besarkan bank daerah dan bertransaksilah menggunakan bank tersebut. Baik untuk ekspor, berbagai produk maupun berbagai pekerjaan konstruksi,” kata Annar saat memimpin pertemuan dengan pengurus DEIT Provinsi Sulsel, akhir pekan ini, di Makassar.
Selain itu, jajaki secepatnya untuk secara bersama merintis pembangunan smelter serta Bursa Perikanan seperti di Busan Korea Selatan.
Beberapa pengusaha yang tergabung dalam DEIT harus bersama-sama segera membangun smelter, sebab potensi nikel Sulsel sangat besar.
Begitupun pendirian Bursa Perikanan, tentukan salah satu daerah yakni apakah di Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng atau Bulukumba untuk dipersiapkan menjadi Bursa Perikanan Internasional, mengingat potensi perairan, tambak dan lainnya serta alur laut maupun udara sangat mendukung untuk ekspor perikanan secara langsung.
Keunggulan itu juga harus didukung (back up) dengan infrastruktur IT yang baik, agar transaksi dapat dilakukan secara online, begitupun transaksi barang maupun pembayaran, sekaligus berdayakan Bank lokal, Bank Sulselbar untuk semua transaksi tersebut.
DEIT harus menjadi pionir dan memberi contoh kebersamaan dalam Tim untuk membuat terobosan besar di sektor pertumbuhan ekonomi yang akan diikuti seluruh DPD DEIT di Kawasan Timur Indonesia, ujarnya.
Manfaatkan semua potensi, sumber daya alam serta keunggulan lainnya untuk mengembangkan perekonomian di tiap daerah dan besarkan bank lokal di daerah masing masing. Dorong bank lokal seperti Bank Sulselbar untuk membuka cabang di semua Provinsi agar mampu memdukung gerak dan pertumbuhan ekonomi dari Kawasan Timur Indonesia.
Selain itu, DEIT juga sedang mempersiapkan “road show” ke mancanegara untuk promosi potensi sumberdaya alam serta investasi, untuk mendorong terjalinnya kerjasama internasional dan penanaman modal asing untuk berbagai potensi dan produk di Sulsel serta seluruh Kawasan Timur Indonesia, ucapnya.
Ketua terpilih DPD DEIT Sulsel, Nasran Mone mengatakan, keunggulan DEIT karena organisasi ekonomi ini Independen tanpa bisa diintervensi oleh pihak manapun.
Untuk itu, saat ini dan ke depan, DEIT harus berkontribusi juga terhadap kebijaksanaan pemerintah secara politis ekonomi, baik lokal mapun nasional untuk ikut menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara mikro maupun makro yang dilakukan melalui berbagai pemikiran dan masukan kepada pemerintah atau memberi contoh langsung terhadap pengembangan beberapa sektor ekonomi potensial yang melibatkan banyak masyarakat serta berbagai hal positif lainnya.
“Kami mendukung sepenuhnya sikap tegas Ketua Umum, Annar Sampetoding bahwa DEIT tidak meminta proyek, melainkan akan menciptakan proyek di berbagai sektor ekonomi untuk membantu mempercepat pergerakan dan pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, termasuk di Sulsel,” ujarnya. (AI/FK).
Penulis : Ahmad I / Editor : Fred K
Makassar (Phinisinews.con) - Sebanyak 803 ekor ikan koi dari 25 kota di Indonesia mengikuti kontes di Makassar yang dinilai oleh delapan juri nasional dari berbagsi daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pencinta Koi Indonesia (APKI).
Ratusan ikan koi terbaik itu milik 110 orang pencinta koi yang dipamerkan keindahan warna, proporsional tubuh, Panjang, berat dan besar tubuh dalam acara “Makassar Koi Show 2022” di ruang utama (main hall) Mall GTC (grup Lippomall) Tanjung Bunga Makassar, Sabtu.
Ketua Panitia kontes, Rudi Yuwono mengatakan, variasi jenis koi yang ikut kontes adalah Kohaku, Taisho Sanshoku, Showa Sanshoko, Asagi, Bakko, Sushui, Hi-ki Utsuri, Hikariu Utsuri, shiro Utsuri, Koromu, Goshiki, Ginrin A, Kujaku, Hikarimuji, Ginrin C, Kowarimuji, Tancho, Ginrin B, Doitsu, Hikarimoyo dan Kawari Momo.
Ukuran ikan yang dilombakan adalah 12 – 30 centimeter, 31 -60 centimeter dan 61 – 70 centimeter, ujarnya.
Pelaksanaan kontes selama 4-6 November, terdiri dari hari pertama memasukkan ikan ke lokasi kontes, hari kedua penjurian, hari ketiga pameran, pengumuman pemenang.
Pemantauan melihat ramainya antusiesme masyarakat pencinta Koi maupun masyarakat umum menyaksikan pameran ikan tersebut dan memuji keindahan dari berbagai jenis ikan Koi tersebut. (AI/FK).
Oleh : Halilintar Latief *
Makassar (Phinisinews.com) - Runtutan peristiwa yang menggoyahkan kestabilan keamanan beberapa abad di wilayah Sulawesi Selatan membuat kesenian merana. Baik secara fisik maupun psikis, berkesenian di Sulsel laksana berkarya di atas puing-puing.
Dalam kondisi fisik, kesenian mengalami porak-poranda kelembagaan. Intrik-intrik kekuasaan dalam kelembagaan kesenian lebih mengemuka dari pada perburuan kualitas kreativitas. Pengaruh eksternal pun demikian.
Kekuasaan birokrat dan politisi selalu membayangi pertumbuhan kesenian dengan mengatas namakan pembinaan dan pelestarian. Kini raksasa pariwisata sangat berpengaruh pada pikiran pemerintah dan karya seniman di Sulsel.
Secara psikis, insan-insan seni mengalami berbagai tekanan jiwa, mulai kehidupan keluarga, sampai dilema-dilema sosial. Tekanan-tekanannya bagai gelombang yang terus menerpa tindih menindih.
Di tengah gelombang inilah saya berupaya mengatur riak irama kesenianku. Kadang harus mengelus bagai angin sepoi menggiring para nelayan, kadang harus menyeruak berselencar di atas gelombang, kadang harus berteriak menantang badai, atau bahkan harus bersikap sebagai cadas yang kokoh melindungi pantai.
Penandatanganan “Perjanjian Bungayya” antara Makassar dan Kompeni Belanda 18 November 1667, sebagai awal puing-puing Sulsel. Sejak itulah kejayaan kerajaan-kerajaan di Sulsel secara berangsur melemah dan memudar. Ini terjadi karena orang-orang Makassar dan Bugis berkonsentrasi pada perlawanan fisik secara terus menerus.
Nuansa perang yang terus menerus mengiringi aktivitas kemasyarakatan selama beberapa abad, membias pada persepsi tentang seorang pria yang ideal yaitu haruslah seorang yang perkasa.
Pekerjaan yang halus-halus dan suci-suci (kesenian dan ritual) diserahkan menjadi urusan wanita. Keberadaan pria adalah untuk menjaga harkat keluarga dan berperang untuk negara. Hal ini masih melekat hingga kemerdekaan telah tercapai. Misalnya pandangan yang menganggap seorang pria yang menggeluti tari dianggap hina.
Mereka dituduh banci (wanita pria – waria) atau sebagai wanita yang tidak pantas, apalagi ia seorang bangsawan. Seorang anak bangsawan dianggap tidak etis menari. Apalagi menari pajogek, yang diidentikkan sebagai kelas bawah.
Para bangsawan atau orang merdeka merasa gengsi (siri) untuk membolehkan anaknya ikut menari pada pesta-pesta HUT kemerdekaan atau di sekolah mereka.
Padahal sebelumnya, putra-putri bangsawan turut, bahkan diwajibkan menari dalam istana. Suatu hari ketika usai pentas di tahun 1971, Petta Bunga Rosi nenek saya menghardik saya. Katanya, “Belum pernah terjadi sebelumnya, turunan dari keluarga kita menjadi pajogek atau melakukan jogek. Justru kitalah yang harus disuguhkan pajogek itu.”
Sebagai putra tertua dari keluarga bangsawan Bugis yang bukan seniman, aktivitas kesenianku dipandang memalukan keluarga besar. Kesenian identik dengan pekerjaan hamba dan atau hanya untuk dilakukan oleh para wanita saja.
Bila ada seorang pria yang menari maka kejantanannya perlu dipertanyakan, mungkin dia seorang banci. Tetapi secara sembunyi-sembunyi, seni pertunjukan masih saya geluti hampir secara total.
Hingga suatu waktu, tahun 1977, saya harus menghadapi sidang keluarga. Penuntut umum dan hakimnya adalah ayah saya. Beliau menvonis , “... jika berkesenian kamu akan jadi apa?, kucing kurus saja tidak akan sanggup diberi makan ....” Kata-kata tersebut mengiang terus dibenakku.
Apa betul demikian, saya harus buktikan kelak bahwa itu tidak benar. Sidang tersebut akhirnya memutuskan bahwa saya harus dipisahkan dari komunitas kesenian Makassar, dan dipindahkan ke Yogyakarta. Hal semacam itu telah pernah saya alami ketika masih di SMU, harus dipindah ke kota lain menjelang kelas tiga.
Syukurlah dapat menjadi sarjana tari pertama asal Sulsel (1985) yang kembali ke daerah asal, dan diterima kembali oleh keluarga walau mulanya dengan keraguan dan keterpaksaan. Saya mengajar di Universitas Makassar (dulu IKIP), untuk membuktikan kepada keluarga dan masyarakat bahwa profesi dalam kesenian juga terhormat dan dapat menghidupi keluarga.
Peran istana sebagai pusat pembinaan kesenian kemudian diambil alih oleh rakyat dan para anrongguru, matowa, dan sanro, dan rakyat di luar istana. Kerajaan pun berakhir dan meleburkan dirinya masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masa-masa awal pascaproklamasi kemerdekaan, ditandai oleh semangat over nasionalisme para tokoh pejuang Sulsel.
Berbagai aspek kehidupan masyarakat yang selama ini terikat oleh adat-istiadat atau norma-norma setempat ikut pula berubah. Hampir semua lembaga adat masa lampau dihapuskan. Berbagai gelar kebangsawanan bahkan ditanggalkan. Dalam lembaran budaya, mereka menghapus idiom-idiom yang dahulu mereka dambakan.
Spirit Karaeng, Andi, Opu, dan lainnya, hilang bersama ketakutan-ketakutan antinasionalisme. Mereka gentar dicap feodal atau enggan dikatakan mempertahankan feodalisme yang menjadi tantangan utama perjuangan NKRI.
Tidak banyak lagi orang yang berani memelihara kesenian yang selama ini merupakan warisan budaya. Jika perlu, semua kesenian yang berbau istana harus dihilangkan. Begitu pula seni pertunjukan yang dibina selama ini oleh keluarga raja-raja harus pula ditiadakan. Akibatnya, seni pertunjukan tradisi di Sulsel hampir-hampir punah. Kalaupun masih ada, keadaannya sangat menyedihkan bahkan morat marit dan sekadar tambal sulam adanya.
Situasi seni budaya Bugis dan Makassar diibaratkan berjalan sendiri bagai ‘madoko tenrijampangi‟ atau bagai sakit tak terhiraukan. Inilah salah satu puing yang mencecari kesenian di Sulsel.
Sekitar tahun 1959, lahirlah tari garapan baru Sulsel yang dipelopori oleh Fachruddin Daeng Romo dan Andi Nurhani Sapada (Anida). Lahirnya tari garapan baru Sulsel dimungkinkan setelah penggabungan instrumen musik tradisional menjadi satu sinfoni kecil pada tahun 1960.
Sinfoni musik kecapi, suling, gendang, dan gong yang dipadukan pertama kali, salah satu cirinya khas gaya tari rumpun ANIDA. Instrumen yang paling dominan karena merupakan melodi adalah suling atau kadang-kadang vokal. Instrumen musik lainnya hanya merupakan pelengkap. Lagu yang dipilih adalah lagu-lagu berbahasa daerah yang telah distandarisasi mengikuti konvensi nada diatonis.
Geraknya mengikuti melodi, mengalun berkesinambungan, dan jarang ada gerak stacato. Karena lagu-lagu telah terpola yang berarti durasinya tetap tanpa penggarapan, maka gerak tari terpaksa menyesuaikan dengan panjang lagu tersebut.
Sehingga pada gilirannya berpengaruh pada dinamika dan dramatik tari yang secara keseluruhan terkesan feminis. Kesan feminis pada tari versi Anida juga dipengaruhi oleh keadaan dan kemampuan penata tarinya yang umumnya adalah kaum wanita pada masa awal pertumbuhannya. Akibatnya, karakter gerakan pria Bugis-Makassar yang dikenal perkasa, dalam tari versi Anida menjadi gerakan kebanci-bancian.
Entah sengaja atau akibat ketidaktahuan, seni pertunjukan versi Anida inilah yang kemudian dikenal secara umum sebagai seni tradisional Sulsel. Berbagai media dan berbagai peristiwa mengedepankan seni versi Anida sebagai wajah kesenian Sulsel dalam kancah kesenian nasional.
Ketika dilakukan pemetaan tari tradisional etnik-etnik yang ada di kawasan Sulsel, temuan sangat menajubkan adalah bahwa di kawasan ini masih terdapat sekitar 370 lebih jenis tari tradisional yang bebas dari versi Anida. Ada lebih dari 200 jenis alat musik etnik tersebar dengan berbagai variasinya. Ratusan lagu rakyat masih dikenal oleh anak-anak dan orang tua di wilayah gunung, pedalaman, pantai dan kepulauan. Walau tertatih-tatih, hasil temuan lapangan ini terus didengungkan dan disebarkan dengan berbagai cara, sebisa dan sebatas kemampuan. Publikasi sederhana yang mandiri telah diupayakan, presentasi di berbagai forum dan di kelas-kelas masih terus dilakukan.
Tahun 1959, kursus Tari Pakarena versi Anida yang pertama dilakukan.Dari tempat itu pula berdiri Yayasan Institut Kesenian Sulawesi (IKS) yang merupakan wadah yang melahirkan tari-tari hasil garapan baru dari tokoh-tokoh pembaharu. Pendirinya antara lain Dr. Mattulada, Hamzah Daeng Mangemba dan ANIDA sendiri. Dari wadah IKS lahir pula organisasi-organisasi seni Sulsel dalam dekade tertentu.
Walaupun berkesenian di tengah puing-puing keruntuhan moral sangat berat dilakukan, namun cukup mengasikkan karena penuh tantangan. Tidak terasa, ternyata telah terajut sebuah konsep kesenian di atas puing-puing tersebut.
Keterampilan fisik, instink, rasa, penalaran dan spritual harus disatukan secara bulat menjadi kekuatan kesempurnaan persegi empat. Ombak harus dijaga agar tetap berdebur, tertiup angin agar semangat api menggoyang dinamika perahu ke tanah tujuan. Keadaan itu membuat jaga, dan ingin terus berteriak : “apalagi ... bagaimana lagi...!” (Editor : Fred Kuen).
Catatan : Andi Halilintar Latief adalah Antropolog (S3 Antropologi Budaya Unhas 2005).
Penulis : Ahmad Imron / Editor : Fred K
Paris (Phinisinews.com) – Penjaga
Penulis : Mitha MK / Editor : Fred Daeng Narang
Makassar (Phinisinews.com) -