Masjid Terapung Makassar Masjid Terapung Makassar
Duration: 0
Date: November 30, -0001
Views: 0
Ayam Ketawa Banyak Diminati Ayam Ketawa Banyak Diminati
Duration: 0
Date: November 30, -0001
Views: 0
Fort Rotterdam Fort Rotterdam
Duration: 0
Date: November 30, -0001
Views: 0
Fredrich : Harus Netral Menilai Kerja Pers
Last Updated on May 08 2020

Fredrich : Harus Netral Menilai Kerja Pers

  Penulis : Ahmad ImronEditor : Mitha MK Makassar...
U.N. says $600 million needed to tackle Ebola as deaths top 1,900
Last Updated on Sep 04 2014

U.N. says $600 million needed to tackle Ebola as deaths top 1,900

The United Nations said $600 million in supplies would be needed...
Pelatihan Jurnalistik Sebaiknya Mencontoh Pola P2MTC
Last Updated on Feb 09 2020

Pelatihan Jurnalistik Sebaiknya Mencontoh Pola P2MTC

  Penulis : Fyan AK. Editor : Mitha MK   Makassar,...

Latest News


Thursday, 14 March 2013 07:24

Jakarta, 28/2 (Phinisinews) - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (26/2) telah menentukan sikap terhadap nasib Piagam ASEAN yang digugat oleh sejumlah LSM hampir dua tahun yang lalu.

MK menolak klaim para pemohon bahwa Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD. Untuk sementara Pemerintah dapat bernafas lega dengan keputusan ini karena dapat dibayangkan jika keputusan bernada sebaliknya maka sulit bagi pemerintah menghindari kewajiban internasionalnya.

Namun dari sisi akademis, Keputusan MK ini sarat dengan terobosan hukum yang selama ini menjadi perdebatan, khususnya tentang politik hukum Indonesia terhadap perjanjian internasional.

Di kalangan akademisi selama ini tidak terlalu jelas terjawab apakah perjanjian internasional yang telah diratifikasi itu dapat langsung memiliki kekuatan hukum di Indonesia dalam wujudnya sebagai instrumen internasional, ataukah perjanjian itu harus dikonversi dulu dalam bentuk per undang-undangan untuk dapat berlaku di Indonesia.

Pakar hukum Indonesia terbelah dalam kedua kubu itu, yaitu antara kubu yang mengatakan bahwa Piagam ASEAN dalam karakternya sebagai perjanjian dapat berlaku di Indonesia, serta kubu yang mengatakan Piagam ASEAN perlu diberi jubah UU untuk dapat berlaku di Indonesia.

Keputusan MK dalam pengujian Piagam ASEAN telah menguak beberapa kabut yang selama ini mewarnai politik hukum Indonesia tentang perjanjian internasional.

Arah kiblat Indonesia tentang perjanjian internasional tampaknya mulai diindikasikan oleh MK, yaitu: pertama, MK berwenang untuk menguji Piagam ASEAN karena Piagam ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU No. 38/2008, dan karena piagam ini merupakan bagian dari UU maka otomatis MK memiliki kewenangan mengujinya.

Argumen yang sangat logis ini mungkin mudah dipahami. Namun dibalik argument ini terdapat implikasi yang menorehkan suatu doktrin hukum tersendiri.

Selama ini, banyak kalangan yang menilai bahwa UU ratifikasi seperti UU No. 38/2008 bukan UU sebagaimana yang dikenal, melainkan hanya suatu bentuk hukum yang menjubahi persetujuan DPR terhadap rencana Presiden untuk membuat perjanjian internasional sesuai bunyi Pasal 11 UUD 45 (Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain).

Dua hakim konstitusi yang dalam dissenting opinion menekankan penafsiran ini.

Namun palu sudah diketuk dan MK dengan alur legalistis-nya mengatakan bahwa UU No. 38/2008 adalah UU dan tidak ada alasan untuk tidak memperlakukannya sebagai UU dan dengan demikian MK berwenang mengujinya.

Alur pikir yang logis ini memang sangat didukung oleh pemahaman umum tentang apa arti UU dan sistem perundang-undangan Indonesia memang membenarkan penafsiran logis ini.

Tetapi doktrin baru apa yang lahir dari amar putusan ini? Dengan keputusan ini maka doktrin yang dianut oleh Indonesia telah bergeser dari apa yang diwariskan oleh Belanda. Selama ini, sesuai doktrin hukum Belanda, suatu perjanjian internasional dapat hadir di hukum Indonesia dalam formatnya sebagai perjanjian terlepas dari UU yang meratifikasinya.

Itulah sebabnya, buku wajib hukum tatanegara di Indonesia selalu mencantumkan Traktat sebagai salah satu sumber hukum terpisah dari UU.
Namun MK telah menoreh sejarah baru yaitu traktat berada dalam UU dan traktat itu tidak lain dan tidak bukan adalah UU yang meratifikasinya. Doktrin ini sangat dikenal dalam teori sebagai doktrin dualisme yang menekankan prinsip bahwa traktat dan hukum nasional berada pada ruang yang terpisah, sehingga untuk dapat berlaku di hukum nasional harus dituangkan dalam bentuk UU.

Sayangnya, pergeseran doktrin ini tanpa disadari bisa menimbulkan komplikasi tersendiri. Jika UU No. 38/2008 dianggap sebagai Piagam ASEAN dalam jubah nasional, maka tidak dapat dihindari bahwa Indonesia terikat pada Piagam ASEAN sebelum Piagam ASEAN itu sendiri berlaku.

Mengapa demikian? Karena UU No. 38/2008 mulai berlaku tanggal 6 November 2008 sedangkan Piagam mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 2008.

Berlakunya UU yang meratifikasi semua perjanjian selalu lebih dahulu dari perjanjian itu sendiri karena selama ini UU ratifikasi selalu dimaknai sebagai `ijin¿ DPR untuk Presiden meratifikasi Piagam sehingga menjadi logis bahwa UU ini berlaku terlebih dahulu sebelum Piagam ASEAN itu berlaku bagi Indonesia.

Hasil konstruksi ini tentunya sangat tidak logis dan tentunya tidak diinginkan oleh Indonesia karena bagaimana mungkin Indonesia terikat pada suatu perjanjian sebenarnya belum berlaku.

Kedua, MK menyatakan bahwa "Sekalipun Indonesia telah terikat dalam suatu perjanjianinternasional, namun sebagai sebuah negara yang berdaulat Negara Indonesia tetap mempunyai hak secara mandiri (unilateral) untuk menarik diri dari perjanjian itu".

Selanjutnya MK mengatakan bahwa hal ini dimungkinkan dengan ketentuan Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan, "Perjanjian internasional berakhir apabila: ... h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional".

Doktrin kedaulatan Negara ini sangat dikenal dalam politik internasional dan pernah berkembang pada periode awal abad ke 20 dalam hukum internasional yang dikenal dengan doktrin primat hukum nasional atas hukum internasional.

Namun sayangnya doktrin kedaulatan absolut ini sudah dikikis oleh hukum internasional yang berlaku dewasa ini.

Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional telah mengatur secara ketat bagaimana suatu Negara dapat menarik diri dari suatu perjanjian dan tidak lagi membuka ruang bagi tindakan unilateral penarikan diri sepanjang tindakan itu disetejui oleh para pihak perjanjian.

Selain itu, Konvensi ini melarang Negara mengingkari perjanjian dengan menggunakan tameng hukum nasionalnya. Indonesia pernah melakukan tindakan unilateral ini pada saat menarik diri secara sepihak dari kenggotaan PBB pada tahun 1965 namun hukum internasional tidak pernah mengakui sebagai penarikan diri yang sah, karena Piagam PBB tidak membuka ruang bagi penarikan diri sepihak.

Seorang pakar hukum, Egon Schwelb, menyebut penarikan diri Indonesia ini sebagai `the Indonesian Intermezzo¿.

Terlebih lagi, prinsip seperti yang dimaksud MK ini jelas tidak bisa lagi diterapkan.

Indonesia tidak mungkin membatalkan sepihak perjanjian perbatasannya dengan Negara tetangga dengan dalih kepentingan nasional.

Sebaliknya, Indonesia tidak mengharapkan Negara tetangga membatalkan perjanjian batas yang telah ada selama ini karena akan berpotensi pada konflik antar Negara. Bahkan, menurut Konvensi Wina, `perubahan fundamental¿ pun tidak dapat dijadikan alasan untuk mengkahiri perjanjian perbatasan.

Terlepas dari kontroversi ini, MK telah meletakkan fondasi baru yang memberi warna pada perdebatan akademis selama ini.
Sebagai Negara dengan bersupremasi konstitusi, fondasi baru ini perlu diformalisasikan dalam UUD 45 dengan mengubah Pasal 11 UUD 45.

Pasal kuno ini sudah tidak lagi aktual menyikapi perkembangan perjanjian internasional yang pesat, dan selama ini tampak membisu ditengah hiruk pikuk perdebatan para pakar tentang perjanjian internasional.


* Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI dan saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.

(Sumber: Damos Dumoli Agusman*)
Thursday, 14 March 2013 07:22

Jakarta, 28/2 (Phinisinews) - Setelah terbongkar kasus pengadaan alat simulator yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan nilai tidak kurang Rp196 miliar, kini muncul data yang membuat masyarakat tercengang lagi.

Para petugas KPK pada Selasa (26/2)mendatangi sebuah lahan yang luasnya tidak kurang dari dua hektare di Jalan Leuwinanggung RT 01,RW 08 No 69,Lewinanggung Tapos, Depok, yang diduga milik seorang jenderal.

"Ada orang dari KPK yang memasang papan sita," kata Ketua RW 08 Sangken sambil menambahkan luas lahan itu adalah kurang lebih 18.000 meter persegi.

Sangken menyatakan warga setempat hanya mengetahui bahwa pemilik lahan yang luas itu adalah seorang jenderal.

Pertanyaannya adalah siapakah sang perwira tinggi itu yang mampu membeli lahan luas itu"?
"Benar ada penyitaan (rumah) di Kabupaten Bogor terkait DS," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta.

Ternyata DS yang dimaksud Johan Budi adalah Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang merupakan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Polri.

Djoko Susilo saat ditangkap adalah Gubernur Akademi Kepolisian( Akpol) sebuah lembaga pendidikan prestisius yang mendidik ratusan perwira menengah Polri.

Jenderal Djoko Susilo bersama dengan beberapa anak buahnya diperiksa KPK karena diduga terlibat dalam pengadaan alat simulator bagi para calon pemegang surat izin mengemudi (SIM) kendaraan roda dua dan roda empat.

Kasus ini mencuat ke permukaan antara lain setelah Mabes Polri menolak tegas turun tangannya KPK dalam menangani kasus ini dengan dalih bahwa Polri sudah "lebih dahulu " menangani simulator.

Padahal banyak orang yang menduga bahwa Mabes Polri enggan " rahasia korupsinya" bocor kemana-mana oleh KPK.

Dimana sajakah rumah-rumah sang jenderal ini yang dahulu disebut-sebut sebagai salah satu jenderal pintar di lingkungan Mabes Polri?
Rumah atau bahasa gagahnya kediaman milik Djoko Susilo itu adalah tiga unit di Jakarta Selatan, satu rumah di Perumahan Khahayangan Depok, dua unit di Solo, tiga rumah di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan satu lagi di Semarang.

Rumah-rumah di Jakarta itu berada Jalan Prapanca Raya Jakarta Selatan, Jalan Cikajang serta di kawasan Tanjung Barat.

Sementara itu, rumah di Solo berada di Jalan Sam Ratulangi serta di Jalan Perintis Kemerdekaan. Sementara yang di Semarang berlokasi di Bukit Golf serta di Yogya berada di Jalan Lor.

Selain tersangkut kasus dugaan korupsi dan memiliki rumah 11 buah, maka sang inspektur jenderal ini juga disebut-sebut memiliki istri muda yang pernah menjadi juara lomba putri.


Cukupkah gajinya?
Hiruk-pikuk tentang belasan rumah jenderal ini ini pada akhirnya tentu menimbulkan pertanyaan berapa besar gaji seorang perwira tinggi sehingga sampai mampu membeli rumah-rumah mewah tidak kurang dari 11 unit, serta menghidupi dua istri dan anak-anaknya itu?
Selama beberapa hari terakhir ini, muncul berita tentang Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo serta Wakil Gubernur-nya Ahok yang memiliki dana operasional belasan miliar rupiah namun gajinya hanya sekitar Rp6 juta tiap bulannya.

Kalau gaji Jokowi setiap bulannya cuma Rp6 juta maka berarti dalam satu tahun mantan walikota Solo ini hanya menerima Rp72 juta.

Seorang mayor jenderal Purnawirawan yang berasal TNI Angkatan Darat yang dhulu bertugas sebagai sekretaris militer kepresidenan atau sekmil di Istana kepresiden juga pernah " buka rahasia dapurnya" dengan mengatakan bahwa gajinya sebagai jenderal berbintang dua adalah juga sekitar Rp7 juta tiap bulannya.

"Gaji Rp7 juta itu tentu tidak cukup. Tapi bagaimanapun juga saya masih harus bersyukur," kata jenderal ini yang kini menjadi anggota Parlemen di Senayan Jakarta.

Coba dibandingkan dengan sepasang suami istri yang membuka warung tegal di depan Stasiun Tanah Abang Jakarta Pusat, yang setiap harinya paling lambat pukul 02.00-02.30 WIB sudah harus mulai memasak, padahal laba bersihnya tidak seberapa.

Coba juga bandingkan dengan sepasang suami istri yang membawa metro mini 69 jurusan Blok M-Ciledug , Jakarta yang hampir setiap dinihari sudah harus mengucurkan keringatnya mencari nafkah.

Djoko Susilo tentu pasti tidak pernah pontang panting seperti pemilik warteg di Stasiun Tanah Abang ataupun juga suami istri yang mengawaki Metro Mini 69 jurusan Ciledug-Blok tersebut.

Kalau mantan sekmil itu berterus terang bahwa gajinya hanya sekitar Rp7 juta per bulan maka tentu Jenderal Polisi Djoko Susilo pun tidak akan bisa mengelak bahwa gajinya pun hanya berkisar pada angka itu.

Kalau begitu, pertanyaan sangat sederhana yang sangat pantas diajukan kepada Djoko Susilo adalah dari mana ia bisa memperoleh uang yang pasti miliaran rupiah untuk membeli 11 rumah mewah itu?
Jika seseorang berbicara tentang kasus hukum, maka ada azas yang harus dianut atau sangat dipatuhi yakni azas praduga tak bersalah bahwa seseorang tidak boleh bisa dibilang bersalah sampai dengan jatuhnya keputusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan bahwa ada kasus dugaan korupsi juga di Jakarta yang menyangkut proses pembuatan plat nomor kendaraan.

"Orang-orang atau pelakunya adalah yang 'itu-itu juga'," kata Komjen Sutarman. Dengan berpatokan pada prinsip azas praduga tak bersalah, maka orang tidak bisa secara otomatis mengait-ngaitkan Irjen Djoko Susilo dengan pembuatan plat nomor kendaraan itu yang nilai proyeknya beberapa kali lipat di atas pengadaan simulator yang "cuma" Rp196 miliar.

Karena itu, mungkin hanya ada satu pertanyaan yang pantas diajukan kepada Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yakni dari mana saja uang untuk membeli rumah-rumah mewah yang nilainya miliaran rupiah itu sedangkan gajinya paling-aling tidak lebih dari Rp100 juta tiap tahunnya.

Pertanyaan ini sangat perlu dijawab Jenderal Djoko Susilo agar masyarakat tidak curiga bahwa semua jenderal polisi sudah terlibat kasus korupsi.

(Sumber: Arnaz Firman)
Thursday, 14 March 2013 07:20

Denpasar, 28/2 (Phinisinews) - Tokoh spiritual Dr Somvir mengatakan politik itu identik dengan perilaku kotor, namun sebenarnya politik itu indah sebagai proses sebuah demokrasi.

"Karena itu bagaimana kita harus mampu mengubah kesan kotor tersebut menjadi indah dan bermartabat menuju demokrasi berkeadilan, serta bisa diubah menjadi politik spiritual," kata Dr Somvir saat ditemui di Kantor Bali-India Foundation di Denpasar, Kamis.

Karena dengan kesan atau identik kotor tersebut, kata dia, maka para spiritual tidak tertarik ikut terjun di dalamnya. Ini sebenarnya tantangan para spiritual harus mampu mengubah kesan kotor itu menjadi politik berspiritual.

"Saya pikir tidak semuanya yang bermain politik itu kotor, masih ada 20 persen yang memang benar-benar ingin menyejahterakan masyarakat. Namun, bagaimana mungkin memperjuangkan aspirasi masyarakat jika tidak masuk ke dalam sistem?" kata ahli yoga yang sudah 20 tahun menetap di Bali.

Oleh karena itu, kata Somvir, dirinya terpanggil hatinya untuk terjun ke dunia politik untuk meluruskan politik yang selama ini terkesan kotor agar menjadi politik Indonesia, khususnya di Bali berdasarkan spiritual.

"Selama ini kami berusaha menyampaikan aspirasi, tapi tetap tidak didengar. Akhirnya, saya berpikir, sebaiknya memang masuk ke dalam sistem agar bisa ikut langsung memberikan kontribusi tepat terhadap harapan masyarakat," kata Somvir.

Ia menyayangkan, banyak sekali Ashram (padepokan spiritual) di Pulau Dewata, namun hanya beberapa yang mendapatkan bantuan. Padahal, ashram memberikan banyak kontribusi pada perkembangan fisik dan mental manusia.

Melihat sejarah India dan Bali yang begitu dekat, kata Somvir ingin perjuangannya masuk ke ranah politik sebagai salah satu bagian misinya untuk turut membangun Bali.

Saat ini, ia menilai, banyak politikus bergerak di luar jalan spiritual sehingga arah kebijakannya lebih banyak mementingkan diri sendiri dan korupsi. Dengan berjalan di bidang spiritual, ia sangat yakin, pelan-pelan politik yang identik dengan kotor dapat terkikis dan sesuai dengan harapan masyarakat.

Ia mengatakan banyak tokoh-tokoh dunia dan nasional menjadi panutannya seperti Mahatma Gandi, Nehru, termasuk Ir Soekarno. Termasuk juga pemimpin Bali seperti mantan Gubernur Bali Prof Ida Bagus Mantra, salah satu pemimpin yang memang menjalankan kepemimpinan dengan "political spiritual".

Dikatakan politik spiritual mementingkan kejujuran. Misalnya, bantuan sosial (bansos) yang didapat anggota DPRD sebaiknya dipublikasikan kepada masyarakat dan didelegasikan sesuai keperluan masyarakat.

"Bantuan tidak hanya diberikan kepada warga yang memang dekat atau konstituen pendukung pada saat menjadi calon legislatif saja. Tapi kalau sudah duduk di parlemen harus merata dan adil, karena mereka sudah mewakili rakyat semua," katanya.

Selain itu, Somvir lebih lanjut mengatakan transparan sangat diperlukan untuk menunjang kejujuran tersebut.

"Saya justru ingin bila saya berhasil maju dan duduk di lembaga legislatif, gaji pokok saya sumbangkan ke masyarakat. Itu sebagai bentuk bagian pengabdian saya selaku anggota DPRD," kata pria yang bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Somvir mengatakan dirinya bukan baru memetakan peta politiknya. Tetapi sejak dua tahun sudah melakukan konsolidasi untuk melihat bagaimana kondisi masyarakat di pedesaan.

Karena itu, ia ingin mengutamakan tiga program penting dalam pencalonan di DPRD pada Pemilu Legislatif tahun 2014. Yaitu akan fokus pada program pemberdayaan perempuan, peduli generasi muda, dan konsen terhadap pertanian.

Ia ingin membentuk koperasi perempuan di pedesaan untuk membantu para isteri atau ibu rumah tangga dalam membantu perekonomian keluarga.
Sementara untuk pembinaan generasi muda, ia ingin mengusulkan memasukkan yoga di semua sekolah. Tujuannya, untuk membuat masyarakat sejahtera harus dimulai dari menjaga kesehatannya sendiri. Dengan yoga, masyarakat bisa mendapatkan kesehatan jasmani dan rohani.

"Karena dengan menjalankan yoga saya harapkan mampu meminimalkan tawuran antargenerasi muda, dan juga pelan-pelan dapat menghapus bibit keinginan korupsi," ucapnya.

Menurut dia, kalau semua masyarakat dapat menjaga kesehatannya dengan baik, berapa persen yang akan dihemat untuk biaya kesehatan masyarakat.

Ia mengaku, sudah dari dulu mengusulkan agar yoga dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, semua itu bertujuan agar para generasi muda sehat dan cerdas.

Terlebih ke depannya, kata dia, masyarakat Indonesia menghadapi pasar globalisasi. Disinilah, diperlukan kekuatan mental agar tetap bertahan dalam kearifan lokal.

"Saya yakin semua itu akan bisa diatasi dengan belajar yoga. Karena kita akan merasa tenang dan damai walau menghadapi dunia serba globalisasi," kata Somvir.

Saat ini, Somvir sudah membangun Markandeya Yoga City di Desa Sukasada, Kabupaten Buleleng. Alasanya berdasarkan pengamatannya, Buleleng pernah menjadi Ibu Kota Provinsi Bali. Selain itu, para Rsi suci seperti Rsi Markandeya dalam perjalanan spiritualnya, sebelum menuju Karangasem, menyempatkan singgah di Buleleng.
Dia pun maju ke arena politik pada Pemilu legislatif mendatang melalui daerah pemilihan Kecamatan Sukasada, Buleleng. Saat ini tokoh spiritual asal India banyak mendapat dukungan para penekun spiritual.
"Mereka memiliki aspirasi yang selama ini kurang diserap pemerintah. Untuk itu, saya maju ke politik untuk dapat mengakomodir semua aspirasi tersebut,¿ ujar guru yoga yang sudah memiliki sedikitnya 1.000 murid dan melahirkan 120 guru yoga yang tersebar di seluruh Indonesia.

Somvir mengaku dirinya tidak memiliki ambisi muluk-muluk dan berjanji kepada masyarakat yang istimewa. Baginya, maju ke politik untuk mengubah perpolitikan yang sudah dikenal sangat kotor.

"Saya berkeyakinan jika para politikus bisa menjalankan politik spiritual, maka kesejahteraan dan kedamaian masyarakat dapat diwujudkan," kata Somvir menegaskan.


Politik sintemen keagamaan

Pengamat politik Dr I Nyoman Subanda memandang penggunaan sentimen keagamaan untuk meraup suara dalam pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah sudah tidak ampuh lagi.

"Partai-partai politik yang ada justru saya lihat telah mengalami krisis ideologi, baik yang mengatasnamakan partai nasionalis maupun agama," kata Subanda di Denpasar, baru-baru ini.

Menurut Subanda, fenomena itu sudah terjadi baik secara nasional maupun di daerah. Kampanye hitam yang mengatasnamakan agama tidak lagi mampu menarik simpati masyarakat dan memobilisasi massa.

"Memang cara-cara politisasi agama itu sebenarnya tidak sehat bagi proses demokrasi dan bernegara dalam NKRI,"kata dosen FISIPOL Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar itu.

Tidak hanya sentimen berkedok agama, lanjut Subanda, sentimen kedaerahan pun telah mulai memudar digunakan dalam proses perpolitikan. Salah satunya kemenangan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, walau pun dia bukan orang Betawi.

"Di Bali pun, tampak buktinya di Pilkada Buleleng. Putu Agus Suradnyana yang akhirnya menjadi bupati. Padahal ia sudah dicari-cari kelemahannya bahwa ia tidak asli Buleleng. Ternyata sentimen kedaerahan juga tak mempan," ucap Subanda.

Subanda melihat yang justru paling kental dan dinilai efektif oleh parpol untuk meraup suara rakyat melalui praktik kecurangan dengan menggunakan politik uang.

(Sumber: I Komang Suparta)
Thursday, 14 March 2013 07:14

Wartawan peliputan selidik bernama Brit Hume pada tahun 1973 pernah berkomentar bahwa pekerjaan yang dilakukannya lebih banyak untuk mengungkap sejumlah kebusukan berkaitan dengan dusta dan korupsi.

"Kebusukan itu harus dibongkar. Demi kepentingan masyarakat umum dan demi kepentingan kita sendiri," tegasnya.

Dalam upaya mengungkapkan "kebusukan" tersebut, wartawan peliputan selidik pada tahap awal seringkali harus berhadapan dengan konflik batin akibat konflik kepentingan. Kepentingan di antara kepentingan pribadi, kepentingan lembaga pers-nya, kepentingan publik, dan kepentingan nara sumber.

Konflik semacam itu akan dengan mudah muncul, karena wartawan peliputan selidik lebih banyak harus "membuka sesuatu yang ditutup-tutupi". Oleh karena itu, mereka untuk membuka kasusnya seringkali harus mendapatkan infomasi mulai dari cara meminta, membeli, memaksa, atau bahkan mencuri-nya.

Berangkat dari pekerjaan semacam itulah, wartawan peliputan selidik dituntut memiliki  "etika di dalam maupun di luar etika". Hal tersebut dapat diartikan bahwa mereka harus memiliki kreativitas untuk melakukan kegiatan pencarian data/informasi secara sah, dan bila harus melanggarnya, maka harus pula memiliki kreativitas lain guna menutupinya sekaligus mencari alasan yang jauh lebih cerdas dari kemungkinan tuduhan yang akan datang.

Untuk lebih memahami posisi tugas yang beretika di dalam maupun di luar etika, maka sejumlah wartawan peliputan selidik berpegang ke pendapat Edward R. Murrow yang mengatakan "Agar meyakinkan, kita harus dapat dipercaya. Agar dipercaya, kita harus dapat diandalkan. Agar diandalkan, kita harus jujur.

Sikap meyakinkan, dipercaya, diandalkan, dan jujur itulah yang sering diperankan oleh wartawan peliputan selidik. Dalam hal ini, mereka biasanya dengan mudah pula menilai apakah nara sumber yang ditemuinya memiliki kredibilitas atau tidak, berkompeten atau tidak, bahkan memiliki informasi penting atau tidak. Hal inilah yang oleh banyak orang disebut bahwa wartawan adalah penonton sekaligus pemain dari karakter kemanusiaan. Apalagi bagi wartawan peliputan selidik.

Dalam memainkan peran yang meyakinkan, dapat dipercaya, diandalkan, dan jujur, maka wartawan peliputan selidik dituntut mampu menempatkan dirinya bukan hanya sekedar "journalist" alias pelapor suatu peristiwa atas dasar kejadian/fakta. Namun, ia dituntut pula mampu menempatkan diri sebagai "agent" untuk menggali data/informasi penting, sekaligus menjadi "lobbyist" yang mampu bergaul dengan nara sumber penting.

Agar posisinya lebih luwes, wartawan peliputan selidik dalam mencari bahan berita/karangan khas/foto juga perlu memahami sejumlah kesepakatan dengan nara sumbernya. Kesepakatan itu antara lain berupa "On the Record" dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal tentang narasumber dan segala informasi yang dikemukakannya.

"On Background". Dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal menyangkut informasi yang diberikan nara sumber, namun jati diri nara sumber harus benar-benar dilindungi dengan alasan tertentu. Biasanya, wartawan cukup menyebutkan menurut sumber di Departemen X dan lainnya.

"On Deep Background". Dalam hal ini wartawan hanya dapat mengutip inti dari informasi yang didapatkan, tanpa dapat mengutip dalam kalimat langsung -dengan tanda kutip-informasi itu. Sementara itu, jati diri nara sumber harus dilindungi.

"Off the Record". Dalam hal ini wartawan mendapatkan informasi yang sama sekali tidak boleh dipublikasikan dalam bentuk apapun. Bahkan, wartawan tersebut terikat etika untuk tidak mengembangkan informasi yang didapatkannya itu.

Empat kesepakatan di antara wartawan dengan nara sumbernya itu menjadi bagian etika pers yang senantiasa dijunjung tinggi. Dalam peran penuh "ikatan" -demikian wartawan sering menyebutnya-itu dapat diartikan sebagai "harga mati".

Namun demikian, pada perkembangannya banyak wartawan yang justru membatasi dirinya hanya menerima kesepakatan nomor satu (On the Record) dan nomor dua (On Background) serta meninggalkan dua kesepakatan berikutnya. Mereka dengan berani langsung mengatakan, "Maaf, saya punya informasi lain" manakala ada nara sumber yang ingin menerapkan kesepakatan ketiga (On Deep Background) atau bahkan kesepakatan keempat (Off the Record).

Mengapa wartawan itu bersikap demikian? Situasi dan kondisi semacam itu dilakukan oleh wartawan peliputan selidik untuk menghindari menerima informasi subyektif yang mengecoh. Oleh karena, kesepakatan untuk membuat berita hanya dengan mengetahui latar belakang tanpa ada nara sumber yang jelas menjadi "hal tercela, dan mengurangi kredibilitas" dari kaidah nilai-nilai jurnalistik bagi wartawan profesional. Hal ini pula yang antara lain melatarbelakangi sebagian besar Kantor Berita untuk menghindari publikasi berita tanpa nara sumber yang jelas.

"Katakanlah kebenaran, tetapi dengan membengkokkannya," demikian pendapat Emily Dickinson menanggapi tentang pekerjaan politikus dan petugas hubungan masyarakat. Dan, hal ini pula yang senantiasa diwaspadai oleh wartawan peliputan selidik.

Dalam manajemen media massa moderen ada istilah "proses dan hasil" peliputan selidik menempati posisi yang sama penting, karena keduanya adalah rangkaian pekerjaan yang penuh risiko dengan azas demi kebenaran pers yang mengutamakan kepentingan publik.

Bahkan, di kalangan pers ada guyonan sarkatis Jika saja ada orang lembaga pers yang menilai proses dan hasil pekerjaan peliputan -apalagi peliputan selidik- tidak dalam posisi penting, maka bisa dipastikan dia bukanlah bagian dalam sistem kerja jurnalistik atau bidang keredaksian, atau pun loper yang meneriakkan berita penting di keramaian jalan.

Guyonan ala pers itu timbul, antara lain sebagai dampak dari pers industri yang seringkali menempatkan segi menarik keuntungan sebagai bagian hasil kerja menjadi lebih penting dibanding susah payahnya para wartawan sebagai bagian proses kerja berjungkir balik mecari bahan berita/karangan khas/foto.

Selain itu, pers dalam tatanan industri cenderung semakin menempatkan kolom iklan sebagai unsur pendapatan yang menopang kehidupan karyawan di organisasi pers bersangkutan. Padahal, sejarah pers belum pernah mencatat ada media massa khusus iklan, karena pariwara semacam itu justru hadir bila publik menyukai berita yang disajikan media massa.

Kecintaan publik terhadap media massa, antara lain karena mereka merasa mendapatkan informasi yang tepat, berkaitan dengan kepentingan mereka, ada informasi baru, memberikan hiburan, bahkan berisikan tentang berita-berita yang jujur. Dalam situasi dan kondisi semacam inilah peliputan selidik mendapatkan tempat, bahkan terhormat. Kenapa? Oleh karena, manusia secara naluriah tidak suka dibohongi, sehingga mereka ingin mengetahui rahasia orang lain.

Dalam kondisi penuh persaingan itu pula, wartawan, terutama wartawan liputan selidik mendapat beban tambahan, yaitu bagaimana senantiasa dapat bekerja demi kepentingan organisasi media massanya, sekaligus membuktikan diri bahwa dirinya sebagai orang lapangan-lah yang paling tahu tentang makna demi kepentingan publik.

Bagi wartawan peliputan selidik permasalahan terakhir yang tak kalah rumitnya dengan  proses pencarian bahan berita/karangan khas/foto-nya adalah bagaimana menuangkan tulisan dari berbagai informasi penting.

Pola penulisan hasil peliputan selidik cenderung menjadi karangan khas (feature) karena mengutamakan kedalaman, berlatar belakang, dan memeras segala kemampuan berbahasa -terutama memainkan diksi atau pilihan kata-agar hasil karyanya dapat lebih dicerna publik, sekalipun permasalahan yang dikemukakan relatif rumit.

Banyak orang -termasuk wartawan pemula- beranggapan bahwa peliputan selidik senantiasa bertema dan mengundang permasalahan besar atau mengandung kontraversi, sehingga penulisannya pun lebih sulit.

Padahal, wartawan peliputan selidik akan lebih mudah menulis laporannya dengan lebih mengutamakan permasalahan kecil. Dengan kata lain, mereka justru memilih permasalahan yang terdekat dengan kepentingan umum.

Think globally, act locally (berpikir kesejagatan, bertindak lokal). Hal inilah yang lebih sering diikuti oleh wartawan peliputan selidik. Mereka berangkat menggali gagasan penulisan dari permasalahan keseharian, walaupun informasi yang mereka miliki bisa berdampak luas.

Tatkala harus mengemukakan permasalahan berat dengan bahasa ragam jurnalistik, maka wartawan tersebut akan lebih mudah jika mereka memanfaatkan perkalimatan bergaya bertutur, ada anekdot, memainkan alur cerita klimaks dan anti klimaks, sehingga pembaca seakan berhadapan dengan novel yang berangkat dari cerita asli.

Dari gejala semacam itulah, kalangan pers dan sejumlah pengamat mereka menyebut adanya Jurnalistik Sastra (literacy journalism).

Wai Lan J. To yang bekersama dengan Albert L. Hester menulis dan menyunting buku bunga rampai "Handbook for Third World Journalist" (1987) berpendapat bahwa jurnalistik sastra adalah salah satu upaya sistem pers untuk memperluas ruang lingkup dan keterampilan jurnalistik mereka setelah bergerak ke arah peliputan selidik.

Jurnalistik sastra di AS, menurut dia, dapat ditelusuri sampai ke tahun 1937 manakala Edwin H. Ford menyusun buku bertitelkan "A Bibliography of Literacy Journalism" terbitan Burgess Publishing Company, Minneapolis (AS).

Ford mencatat bahwa jurnalistik sastra dapat dirumuskan sebagai tulisan yang masuk dalam "kawasan senja" (batas akhir) yang memisahkan sastra dari jurnalisme. Jurnalisme sastra adalah penghubung surat kabar dan sastra.

Pada gilirannya, masyarakat AS pada era 1960-an menyebut langgam jurnalistik sastra sebagai Jurnalistik Baru (new journalism). Mereka agaknya lupa bahwa sejarah persnya melalui Edwin H. Ford sudah pernah menyebut kaidah yang sama.

Norman Sims dalam buku bunga rampai "The Literacy Journalists" terbitan Ballentine Books, tahun 1984, menulis bahwa jurnalistik sastra ataupun jurnalistik baru --seperti disebut pada era 1960-an--tidak dirumuskan oleh kritikus, namun para penulisnya sendiri sudah menyadari bahwa karya mereka memerlukan pendalaman struktur, "suara", dan ketelitian.

Dalam pengertian yang lebih mudah, pendapat Sims itu menunjukkan bahwa dasar dari jurnalistik sastra tidak berbeda dengan peliputan selidik, yaitu memiliki metoda ilmiah yang bertujuan memaparkan satu permasalahan kepada publik setelah menjalani kajian pembenaran. Kalangan pers mengenal salah satu bagian metoda ilmiahnya adalah "check and rechek" (periksa dan periksa lagi).

Secara terpisah, dalam penilaian Wai Lan J. To, di China jenis jurnalistik sastra juga berkembang relatif baik. Masyarakat pers China menyebutnya "Bao Gao Wen Xue" (literacy journalism atau jusrnalistik sastra).

Sebagaimana di AS, jurnalistik sastra di China juga merupakan proses kreatif para wartawan untuk mengungkap permasalahan yang perlu diketahui oleh publiknya dengan cara penyampaian menggunakan gaya bersastra. "Mereka menggunakan langgam sastra untuk mengungkapkan fakta aktual bernilai berita," catat Wai Lan J. To.

Paling tidak, keberadaan peliputan selidik dan penuturan berlanggam jurnalistik sastra adalah upaya pers untuk memuasi kepentingan publiknya yang senantiasa haus akan kebenaran dan kejujuran, seperti juga kalimat bijak Arthur Hays Suzberger "Seiring dengan pers yang bertanggung jawab, harus ada pembaca yang bertanggung jawab." (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)
Thursday, 14 March 2013 07:13

Peliputan Selidik (investigative reporting) dan Jurnalistik Sastra (literacy journalism) hingga saat ini terlihat berjalan beriringan, namun posisi keduanyanya sering ditempatkan secara dilematis atau mendua sebagai sesuatu yang dianggap hebat, dan dicerca.

Banyak orang, termasuk di kalangan pers, menempatkan peliputan selidik sebagai pekerjaan yang hebat karena proses dan hasil kerja yang harus ditempuh oleh wartawan sebagai pelaku liputan relatif sulit, membutuhkan waktu dan dana. Bahkan, wartawan yang terlibat seringkali harus berhadapan dengan apa yang dinamakan "konflik kepentingan" (conflict of interest) dari berbagai pihak.

Konflik kepentingan itulah yang membuka peluang bahwa proses dan hasil kerja dari peliputan selidik menjadi sering dicerca anggota masyarakat, juga oleh para wartawan lain, karena dampak dari berita yang dipublikasikan senantiasa "memakan korban", bahkan tanpa ampun.

Oleh karena itu ada sejumlah kalimat mutiara peliputan selidik, antara lain, "Wartawan peliputan selidik memiliki kecenderungan seperti ikan piranha, mereka akan mengejar apa saja yang mengeluarkan darah." (Ben J. Wattenberg).

"Jurnalisme tidak bekerja seperti senapan. Jurnalisme bekerja lebih mirip "mortir." (Murray Kempton)

Salah satu contoh dari peliputan selidik hingga saat ini adalah keberhasilan Bob Woodward dan Carl Bernstein yang "memakan" Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon, sehingga harus "rela" mundur dari kursi Kepresidenan, dan digantikan oleh Gerald Ford pada 9 Agustus 1974. Padahal, upaya Woodward dan Bernstein untuk mengungkap kasus "Watergate" dimulainya pada medio Juni 1971.

Usai peliputan selidik itu, dunia pers, terutama di AS, seperti kerasukan apa yang dinamakan "menggugat kembali kebebasan pers atas dasar liberalisme informasi." Apalagi, di AS sejak awal 1970 pertumbuhan industri pers menimbulkan persaingan yang makin tajam. Dan, peliputan selidik adalah salah satu resep untuk meraih oplah terbesar. Repotnya, insan pers di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, ada yang berkiblat tentang kebebasan pers di AS secara hitam putih, sehingga sering terkesan membabi-buta.

Padahal, peliputan selidik telah berlangsung sejak lama. Peliputan semacam itu dalam sejarah pers dunia sudah ada jauh sebelum era Woodward dan Bernstein. Oleh karena itu, masyarakat umum dan kalangan pers sering melontarkan, "Peliputan selidik dalam perjalanannya demi kepentingan publik atau justru kepentingan bisnis pers?."

Professor Leonard Sellers, Guru Besar Ilmu Komunikasi/Jurnalistik di Universitas San Fransisco (AS), mengemukakan, "Wartawan peliputan selidik adalah wartawan yang berusaha menyingkapkan informasi yang sengaja ditutup-tutupi, karena informasi tersebut melanggar hukum atau etika."

Berdasarkan dari pendekatan yang diajukan oleh Prof Sellers, maka terkesan bahwa peliputan selidik tidaklah terlampau sulit. Padahal, banyak wartawan sulit menjalaninya. Bahkan, tak sedikit pula para pemimpin redaksi yang sangat selektif untuk menugasi wartawannya melakukan liputan selidik, dan mereka menyerahkan hal ini kepada yang benar-benar ahli.

Pada kenyataan di lapangan jurnalistik, wartawan liputan selidik sedikit-banyak atau terasa ataupun tidak harus memahami dan menjalani tahapan yang dari pendekatan ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah Metoda Ilmiah.

Wartawan peliputan selidik sah-sah saja bergaya cuek (acuh tak acuh) dan tahapan kerjanya terkesan serabutan. Namun, jika ditilik lebih jauh lagi, mereka justru menjalani satu kaidah metoda ilmiah yang antara lain memiliki tahapan, mencari / mendapatkan masalah, memfokuskan permasalahan inti melalui observasi/wawancara, menyusun hipotesa/asumsi untuk menentukan motif dan latar belakang masalah inti, mengkaji, memilah, dan menyusun keterkaitan data/informasi dan menulis hasil temuannya dengan kaidah jurnalistik.

Dalam menjalani metoda tersebut, wartawan peliputan selidik sering berhadapan dengan sejumlah bahaya berupa sulitnya mencari nara sumber yang mau buka mulut, namun ada kalanya banyaknya nara sumber yang terlalu ingin memberikan informasi tanpa nilai apapun.

Banyaknya nara sumber, terutama di bidang politik, atau politik ekonomi yang ingin berbagi informasi, bagi wartawan tersebut perlu diwaspadai karena sumber tersebut lebih banyak yang sekedar mencari kepentingan pribadi. Sementara itu, nara sumber bernilai cenderung tersembunyi di antara hiruk-pikuknya gosip yang terus berhembus.

Selain itu, nara sumber penting untuk mengungkap permasalahan dalam peliputan selidik seringkali merasa harus sembunyi karena merasa memiliki banyak informasi, namun mereka tidak memiliki restu dari pihak yang lebih tinggi.

Istilah dengan restu (by authority) itulah yang dicatat William L. Rivers dan Cleve Mathews dalam buku “Ethics for the Media” terbitan Prentice-Hall Inc, New Jersey, (AS) pada tahun 1988 sebagai sesuatu yang justru mengawali keberanian pers AS untuk menembus birokrasi informasi dengan menerapkan apa yang kemudian dikenal sebagai Peliputan Selidik (Investigative Reporting).

Awalnya, Benjamin Harris di tahun 1690 menerbitkan artikel pertama dan terakhirnya bertitelkan "Public Occurrences, Both Foreign and Domestic" yang intinya melontarkan kritik tentang keberadaan paham kolonialisme di Amerika.

Artikel tersebut membuat marah para petinggi, termasuk "General Court of Massachusetts" (setingkat Gubernur Jenderal zaman kolonial Belanda) sehingga surat kabar Benjamin Harris dibreidel dengan alasan "meresahkan masyarakat".

Keadaan semacam itu berlangsung cukup berkepanjangan di AS, sehingga pada tahun 1721 James Franklin, kakak kandung Benjamin Franklin (1706-1790) ilmuwan dan penulis yang pernah menjadi Presiden AS-menerbitkan surat kabar "New England Courant" yang sejak terbit sudah menyuarakan sikap oposan kepada Pemerintah AS dengan alasan "demi tegaknya jurnalisme perjuangan."

Akibat dari sikap tersebut, James Franklin sempat mendekam di penjara untuk beberapa lama. Namun, sikapnya ibarat "bensin dalam api semangat pers AS" karena perkembangan pers bebas dengan pola peliputan selidik kian menjamur. Bahkan, wartawan mulai

mengembangkan pola pemberitaan yang cepat, akurat, lengkap, dan cenderung "memakan korban."

Sekalipun demikian, gaya kebebasan pers ala cowboy seringkali menjadi kebablasan (keterusan) dan meresahkan. Oleh karena itu, Presiden AS Theodore Roosevelt pada tahun 1906 pernah melontarkan kritik, "Penulis yang sibuk mengais-ngais keburukan masyarakat hingga lupa untuk melihat keadaan sekelilingnya."

Roosevelt, yang juga penulis dan petualang di alam bebas, melontarkan kritik tersebut  kepada David Graham Phillip yang secara berseri menulis tentang sejumlah keburukan anggota senat yang dituangkan dalam artikel bertitel "The Treason of the Senate."

Gejala perdebatan tersebut ditangkap oleh Webster, pakar bahasa, penulis kamus, yang menuliskan istilah "muckrake" untuk mengartikan "mencari-cari, menyoroti, atau menunjukkan adanya korupsi, dengan bukti nyata atau hanya berdasarkan dugaan, oleh publik dan badan usaha."

Sementara itu, kalangan pers AS pada era Roosevelt justru banyak yang membenarkan sikap presidennya yang lebih menyukai sistem pengawasan pers secara seimbang dengan mengutamakan kepentingan semua pihak. Kala itu, Roosevelt memang dikenal sebagai Presiden AS yang dekat, bahkan akrab dengan pers. Buktinya, semua anggota Korps Wartawan Kepresidenan AS dapat bermain-main dengan cucu Roosevelt di Gedung Putih.

Namun, banyak wartawan AS yang kemudian, pasca-Roosevelt, berpendapat "Kini masalahnya sudah berubah. Apakah semua Presiden bisa akrab dengan pers seperti Roosevelt?."

Bahkan, secara lebih tegas Joseph Alsop pernah mencatat "Semua pemerintahan menyebarkan dusta, bahkan beberapa di antaranya berdusta lebih banyak daripada yang lain." Inilah salah satu puncak ungkapan jenis pekerjaan di kalangan wartawan peliputan selidik di AS.

Sementara itu, Albert L. Hester selaku wartawan senior dan pakar ilmu komunikasi dari Universitas Georgia (AS) yang menaruh minat terhadap perkembangan pers di negara-negara berkembang mengemukakan bahwa peliputan selidik cenderung lebih sulit dilakukan bila sistem pers menjadi bagian yang erat menyatu dengan pemerintahan nasional.

"Meskipun di Dunia Ketiga pers terpisah dari pemerintah nasional, namun ide untuk benar-benar melakukan ‘penyelidikan' menjadi sesuatu yang selalu mengernyitkan kening," catatnya dalam buku "Handbook for Third World Journalists", terbitan The Center for International Mass Communication Training and Research, Universitas Georgia, pada 1987.

Walaupun demikian, menurut Hester, peliputan selidik di negara berkembang tetap dapat dilakukan. Bahkan, wartawan peliputan selidik di negara berkembang seringkali memiliki kegigihan yang tak kalah dibanding rekan mereka di negara yang lebih mapan.

Lebih jauh, Hester membedakan peliputan selidik dengan peliputan biasa. Hal itu disusunnya atas dasar bahwa peliputan selidik adalah biasanya dilakukan dengan pikiran bahwa hasilnya akan menimbulkan satu tindakan dengan asumsi dasar "Perubahan harus dilakukan." Namun, peliputan selidik ada kalanya justru memperteguh apa yang sudah dilakukan dan dihargai oleh masyarakat.

Biasanya format laporan (tertulis maupun foto) peliputan selidik lebih panjang dan memerlukan waktu penyelesaian lebih panjang, serta dana lebih banyak.

Biasanya peliputan selidik memerlukan kesatuan pendapat di kalangan manajemen lembaga pers dimana wartawan peliputan selidik bekerja. Hal ini banyak berkaitan dengan risiko tanggung jawab yang pada akhirnya harus ditanggung.

Biasanya peliputan selidik juga menyangkut “paket promosi” dari media massa sebagai satu bagian dari wujud pers industrialis.

Biasanya peliputan selidik akan memanfaatkan pula foto dan illustrasi guna mempermudah pemahaman masyarakat untuk menerima sesuatu yang sulit diterima akal, atau dengan kata lain mengungkap fakta, data, dan informasi dengan berbagai cara agar hasil liputan menjadi akurat dan lengkap.

Biasanya para redaktur dan penanggungjawab peliputan selidik lebih melibatkan wartawan terbaiknya, karena kegiatan ini senantiasa dianggap berisiko dan memerlukan kreativitas tinggi.

Al Hester dalam serangkain catatannya itu paling tidak menyiratkan bahwa mereka yang terlibat dalam peliputan selidik, wartawan, redaktur, hingga pemimpin redaksi,  senantiasa sepakat bahwa yang mereka kerjakan adalah kerja tim (team work) yang penuh risiko yang memeras keringat, menghabiskan waktu dan dana.

Selain itu, peliputan selidik senantiasa mementingkan "proses" dan "hasil" dalam posisi yang sama pentingnya, sehingga mereka yang terlibat harus benar-benar orang yang terlatih bekerja di bawah tekanan (under pressure person).

Peliputan selidik di negara berkembang, dalam penilaian Hester, terbuka peluangnya bila temanya berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup, seperti pencemaran, pemanfaatan pestisida, dan kebakaran hutan, ancaman musnahnya kebudayaan pribumi, urbanisasi, kedudukan kaum wanita, serta keluarga berencana. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)
Thursday, 14 March 2013 07:12

Profesi wartawan selama ini lebih banyak dikenal dari penampilannya, seperti menenteng kamera, tape recorder, dan senantiasa banyak bertanya.

Dari sejumlah penampilan akrab tersebut, wartawan dalam beritanya akan senantiasa terkesan "fresh" (segar) bila ada unsur wawancara atau tanya-jawab dengan nara sumber, sekaligus menjadi energi baru bagi wartawan dalam bekerja.

Wawancara menjadi seni tersendiri untuk memperoleh atau menjadi penguatan untuk membuat berita menarik.

Bila wartawan membiasakan diri menulis berita hanya sekedar menerima informasi apa adanya dari nara sumber, maka kesannya monoton. Bahkan, secara profesional wartawan tersebut telah memulai proses pembodohan dalam karier jurnalistiknya.

Wawancara ibaratnya "bunga" dalam dunia kewartawanan. Wawancara merupakan satu upaya wartawan untuk mengetahui dan mendapatkan penegasan lebih banyak tentang latar belakang, permasalahan, bahkan skandal dari suatu fakta.

Secara umum wawancara memiliki dua bentuk utama, yakni wawancara lisan dan tertulis. Wawancara lisan sering dilakukan wartawan yang mengadakan percakapan/tanya-jawab langsung atau melakukan tatap muka dengan nara sumbernya.

Wawancara tertulis sering dilakukan wartawan untuk menyiapkan serjumlah pertanyaan untuk nara sumbernya. Kondisi semacam ini lebih sering dilakukan wartawan karena nara sumber menginginkan pola wawancara tertulis, sehingga serangkaian jawaban dapat disusun secara lebih rinci dan akurat. Namun, wartawan dalam hal ini menjadi sulit menangkap nuansa dan suasana "kehidupan" berwawancara, seperti bahasa tubuh (body language) nara sumber saat memberi keterangan.

Selain itu, banyak nara sumber dalam memberikan jawaban tertulis hanya sekedar memeriksa atau membaca ulang saja, karena seluruh jawaban disusun oleh staf/sekretaris-nya.

Sementara itu, wawancara dilihat dari prosesnya dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu wawancara dipersiapkan. Hal ini biasa terjadi bila wartawan telah mengadakan janji dengan nara sumber untuk mengadakan wawancara khusus. Biasanya wawancara ini didahului dengan proses tawar-menawar untuk menentukan topik pembicaraan, waktu, dan tempat kegiatan berlangsung. Jika dikaitkan dengan faktor tempat, maka wawancara dalam jumpa pers (press conference) termasuk dalam bagian dari wawancara dipersiapkan.

Wawancara bertelepon. Hal ini biasa dilakukan wartawan dengan nara sumber yang sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan dalam tahapan semacam ini menjadikan wartawan mulai menempatkan posisinya selaku "lobbyist". Wawancara semacam ini memerlukan kehati-hatian tatkala nara sumber menyebutkan informasi yang berkaitan dengan angka, nama, dan sejumlah karakter perkataan asing.

Wawancara dadakan. Hal ini menjadi bagian dari seni jurnalistik yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dijalani oleh wartawan untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh karena, berita dapat terjadi kapan saja tanpa rencana, sehingga dalam sistem manajemen informasi kewartawanan dikenal istilah "intelectually alert" atau wartawan dituntut selalu waspada secara intelektual.

Seringkali wawancara dadakan semacam ini dinamakan pula "kesandung berita", karena wartawan mendapatkan berita sama sekali tanpa diduga sebelumnya. Contohnya, seperti bertemu seorang Menteri di Bandara secara kebetulan, dan ternyata nara sumber tersebut memiliki informasi yang layak siar.

Pembagian bentuk dan proses wawancara seperti hal di atas lebih banyak berangkat dari
pendekatan teori, karena wartawan dalam kesehariannya melakukan wawancara dengan bentuk dan proses yang seringkali tumpang tindih.

Bahkan, cara wawancara mereka menjadi hanya terbagi dua, yakni wawancara yang hanya mengikuti arus pertanyaan wartawan lain ataupun mengikuti jawaban nara sumber karena wartawan bersangkutan tidak memiliki persiapan materi/bahan permasalahan dan wawancara yang mengarah pada satu topik utama secara mendalam (loaded question) karena wartawannya memiliki penguasaan materi memadai.

Selain wawancara, wartawan dalam tugas hariannya memerlukan pula Acuan Data (database) pribadi yang multi-fungsi, mulai menegaskan data (konfirmasi) hingga mencari peluang untuk mengembangkan berita/karangan khasnya.

Banyak wartawan yang dalam tugasnya terkesan hanya sedikit bertanya kepada nara sumber, namun dalam berita/karangan khasnya ia mampu memberikan latar belakang permasalahan secara komprehensif. Hal ini bisa saja terjadi, asalkan wartawan bersangkutan memiliki acuan data yang memadai.

Acuan data pada umumnya dapat kita dapatkan dari berbagai tempat, seperti perpustakaan, toko buku, dan Internet. Namun, wartawan ada baiknya memiliki acuan data pribadi, terutama menyangkut bidang liputan khususnya dimulai dari satu catatan kecil dalam blocknote (notes) sebelum mengembangkannya ke notebook komputer. Oleh karena, bagi wartawan semakin banyak pusat data yang diketahui akan banyak membuka peluang untuk mendapatkan informasi.

Upaya wartawan untuk menggabungkan fakta dari satu kejadian dengan acuan data merupakan satu langkah awal dari perkembangan jurnalistik presisi (precission journalism), yakni karya jurnalistik yang memadukan proses berpikir logis dan komplit guna mengaitkan satu fakta dengan berbagai permasalahan lainnya.

Filsuf Schonpenhauer dari Jerman pernah mengatakan "Berpikir logis adalah berpikir secara terdidik." Dr Hellwig dalam buku "Psychologie und Vernehmungstechnik", terbitan Berlin, Germany, pada 1951 mengutip pendapat Schonpenhauer bahwa tidak semua cara berpikir menghasilkan sesuatu yang logis.

Berpikir logis, menurut Schonpenhauer, setidak-tidaknya memiliki tahapan dari tidak mengetahui sesuatu, menuju mengetahui sesuatu, dan berupaya menyingkap segala sesuatu yang berhubungan dengan soal yang bersangkutan.

Pola berpikir logis semacam itulah yang harus dimiliki oleh wartawan, sehingga karyanya menjadi bagian dari hasil pekerjaan jurnalistik presisi sesuai tujuan media massanya untuk menyebarkan informasi, mendidik dan menghibur khalayak.

Dalam proses menghasilkan karya jurnalistik berita/karangan khas/foto-yang terpenting bukan sekedar mendapatkan bahan yang baik, namun bagaimana mengolah dan mengembangkan bahan tulisan/foto sehingga menjadi baik, menarik dan banyak memberikan makna bagi khalayak.

Proses dan hasil dalam karya jurnalistik adalah dua hal yang sama pentingnya, karena upaya mencari dan membuat berita/karangan khas/foto termasuk bukti otentik dari satu perjalanan sejarah yang bermakna.

Makna yang disumbangkan wartawan melalui hasil karya jurnalistiknya seringkali dikaitkan orang dengan keberhasilannya membentuk opini publik. Sementara itu, secara tegas kaidah jurnalistik memberikan batasan bahwa wartawan adalah de journale alias sang pelapor dari satu kejadian yang patut diketahui umum.

Sebagai de journale, maka wartawan secara profesional tidak diperkenankan beropini karena berada dalam posisi netral atau tidak memihak. Pada prinsipnya, wartawan hanya  menyajikan serangkaian fakta, data, dan pernyataan nara sumber, sementara itu opini publik akan terbentuk dengan sendirinya sebagai dampak penyajian informasi yang berlogika.

Namun demikian, wartawan dalam praktek kesehariannya dapat "membungkus" opininya dalam bentuk  Opini di balik data, yaitu wartawan dapat menyajikan opininya dengan memanfaatkan data akurat dalam karya jurnalistiknya.

Opini di balik fakta, yaitu wartawan dapat menyajikan opininya dengan mengemukakan fakta nyata dari satu peristiwa.

Opini di balik nara sumber, yaitu wartawan dapat menyajikan opininya dengan menempatkan pernyataan penting dari nara sumbernya.

Kemampuan wartawan dalam menyajikan opini dengan berbagai kiatnya seperti itulah yang agaknya membuat dunia jurnalistik senantiasa tidak pernah berhenti untuk berlogika, sehingga publik pun menanti kehadirannya. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)
Thursday, 14 March 2013 07:10

Memasuki dasawarsa 1990, wartawan di sejumlah kantor berita transnasional, terutama Reuters dari Inggris, AFP dari Perancis, DPA dari Jerman, dan AP dari Amerika Serikat, menghadapi kecenderungan baru, yakni mereka lebih dituntut untuk memahami sekaligus menguasai teknologi informasi, lebih beretika, serta tidak meninggalkan logika dalam menjalankan tugasnya.

Kecenderungan baru itu, bagi wartawan, hadirnya berbarengan dengan kemajuan teknologi informasi jaringan komputer kesejagatan yang kemudian dikenal dengan nama Internet  alias Cyber-Space alias Superhighway.

Berangkat dari pendekatan keilmuan, teknologi informasi berbasis Internet bukanlah hal baru. Nobert Wiener, matematikawan dari Amerika Serikat, pada tahun 1948 sempat  mengemukakan teori tentang Cybernetics (sibernetika) yang beramsumsi bahwa sekumpulan mesin yang saling terkoneksi memiliki tingkat komunikasi seperti halnya makhluk hidup. Bahkan, mereka dihubungkan oleh sejumlah jaringan elektronik dan mekanik yang berfungsi interaktif sebagaimana urat syaraf.

Pendapat Wiener (1884-1964) langsung mendapat banyak cemoohan dari pakar komunikasi. Beberapa di antara mereka menilai, Wiener terlalu berlebihan menempatkan fungsi alat
elektronik dan mekanik setingkat dengan makhluk hidup. Ada pula yang berpendapat, "Apakah Wiener ingin menjadi Tuhan? Dan, ia menganggap dirinya sebagai pencipta
makhluk yang bernama mesin elektronik dan mekanik."

Oleh karena itu, teori Wiener tentang sibernetika sempat menghilang untuk waktu yang cukup lama. Banyak pakar komunikasi enggan memahami paham tersebut, atau bisa jadi
mereka justru tidak pernah mendengar dan mengetahui tentang sibernetika.

Syukurlah, Webster dalam sejumlah kamusnya -seperti Dictionary of People dan Dictionary and Thesaurus-tidak pernah melupakan nama Nobert Wiener sebagai penemu Cybernetics yang diterjemahkan sebagai studi perbandingan dari komunikasi otomatis dan menekankan fungsi pengawasan dari kehidupan tubuh secara mekanis, serta didukung sistem elektronik.

Anehnya, pendapat Wiener justru banyak mendapat perhatian sejumlah pakar di Rusia yang antara lain dipelopori oleh Vladimir Talmy yang bukunya diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Yelena Saparina dengan titel Cybernetics Within Us terbitan Peace Publisher Moscow, 1952.

Vladimir Talmy berpendapat, sibernetika setidak-tidaknya memerlukan pemahaman dari lima sudut keilmuan, yaitu matematika, logika (filsafat), biologi, komunikasi, dan sistem pengawasan otomatis (fisika).

Dalam proses menyiapkan bukunya, Talmy banyak mewawancarai orang sebagai contoh penelitian pemahaman tentang sibernetika. Akhirnya, ia berasumsi bahwa di antara kalangan akademisi tua dan muda secara umum memiliki pendapat yang sama tentang sibernetika sebagai sibernetika rekayasa (engineering cybernetics) dan sibernetika biologis (biological cybernetics).

Pada perkembangannya kemudian, sejumlah pakar sibernetika di Rusia -kala masih tergabung dalam Uni Soviet-banyak melakukan penelitian tentang aspek komunikasi
mesin berurat-syaraf dengan memadukan lima keilmuan seperti dikemukakan Vladimir Talmy. Bahkan, dua pendekatan itulah yang menjadi bagian dalam konsep dasar Sputnik
alias satelit telekomunikasi pertama Uni Soviet (dan juga dunia) pada tahun 1957.

Di belahan bumi lainnya, Amerika Serikat yang tidak mau kehilangan muka terhadap kemajuan sistem satelit telekomunikasi Uni Soviet -karena saat itu terjadi Perang Dingin blok Timur dengan blok Barat-langsung membangun jaringan Advanced Research Project Agency (ARPA), yang kemudian berkembang menjadi ARPANet dengan dukungan Departemen Pertahanan.

ARPANet itulah yang menjadi cikal bakal sistem Internet alias sistem jaringan komputer terhubung secara global. Secara mudah, Internet dapat diterjemahkan pula sebagai sekumpulan komputer ibarat urat syaraf manusia. Internet memiliki sistem yang disebut tulang punggung (backbone) yang terhubung dalam satu jaringan sederhana/ringkas menuju bagian terpadu di Internet Service Provider (ISP) alias agen layanan penjualan akses nama dan kode menuju jaringan yang lebih luas lagi.

Karena sistemnya yang saling silang dengan bantuan saluran telepon dan modem -alat pengubah sinyal timbal balik dari pesan berupa data/teks/suara/gambar menjadi elektronis pulsa kembali ke pesan berupa data/teks/suara/gambar--, Internet diibaratkan sebagai jalan tol tingkat tinggi atau Superhigway.

Berangkat dari konsep peristilahan jalan raya bebas hambatan itulah, Internet dalam sajian informasinya memiliki berbagai keragaman seperti halnya kawasan lalu-lintas yang memiliki kawasan hiburan -dalam Internet disebut juga cyberfun--, jaringan gereja Katholik (ChatolicNet), jaringan informasi Islam (IslamNet), jaringan informasi berita media massa dunia (NewsWork) hingga jaringan informasi pornografi (cyberporn).

Selain itu, Internet disebut juga sebagai Cyberspace karena memiliki jaringan komunikasi ibarat di dunia maya. Sedangkan, para pemakai Internet mendapat julukan Netter (pemakai jaringan), Surfer (peselancar/penjelajah), dan sejumlah sebutan nama lainnya. Kemudian, Internet sebagai hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dunia informasi kian menemukan jalannya sebagai produk bisnis karena memiliki banyak keunggulan, terutama dari segi efisiensi biaya dan efektivitas penyampaian pesan yang cepat, serta dapat menembus ruang sekaligus waktu. Dalam hal inilah, Internet menemukan kelebihannya sebagai media anti-sensor.

Dunia bisnis informasi yang berkembang didukung oleh persaingan berbagai perusahaansistem jaringan piranti lunak (software) dan piranti keras (hardware) komputer, pada medio 1996 melahirkan apa yang dikenal sebagai Internet-Intranet-Extranet. Dengan kata lain, Internet secara sistem, manfaat, dan dampaknya semakin meluas sebagai jaringan yang terbuka, eksklusif, atau justru super-eksklusif dengan nilai bisnis.

Bisnis informasi semacam itulah yang sebenarnya sejak awal 1990-an telah menjadi kajian banyak media massa di dunia -dunia pers Indonesia terlihat baru mengincarnya di tahun 1995, sejalan dengan maraknya Internet Service Provider (ISP) nasional-sebagai salah satu peluang menjangkau pasar masyarakat dunia.

Pada dasarnya, Internet, Intranet, dan Extranet tidak memiliki perbedaan yang mendasar dari segi teknik. Hanya saja, ketiga teknologi informasi tersebut memiliki perbedaan dari segi konfigurasi cakupan pemanfaatannya.

Internet lebih bersifat umum, yakni merupakan jaringan komputer global yang menjadi dasar sistem Intranet dan Extranet. Sedangkan, Intranet merupakan konfigurasinya diatur  menjadi lebih eksklusif , dan biasanya digunakan oleh satu perusahaan yang menginginkan jaringan komputernya dapat terhubung dengan Internet, namun memiliki pengaman khusus yang biasa disebut firewall agar pihak di luar sistem komputer perusahaan bersangkutan tidak dapat mengetahui kondisi internalnya.

Sementara itu, Extranet sistem dasarnya sama dengan Internet, hanya saja cakupan pemanfaatannya lebih sering digunakan oleh perusahaan multi-nasional yang ingin menerapkan jaringan komputer yang dapat terkoneksi dengan Internet secara luas, tetapi pihak di luar jaringan multi-nasional itu tidak dapat menembusnya.

Dalam media massa, teknologi informasi semacam ini dipadukan sesuai dengan kebutuhan bisnis informasi yang dilayaninya. Sebagai contoh, Kantor Berita Transnasional semacam Reuters, AFP, dan DPA menerapkan Extranet dalam jaringan internalnya, karena masing-masing kantor berita tersebut memiliki cabang mancanegara.

Namun, secara eksklusif mereka mengamankan sistem jaringan tersebut (Intranet) agar tidak setiap pemakai Internet yang terbuka dapat menembus sistem internal kantor berita bersangkutan. Hanya saja, sejumlah kantor berita tersebut tetap memiliki tayangan yang dinamakan homepage dalam layanan Internet secara terbuka.

Penempatan konfigurasi cakupan sistem teknologi informasi tersebut secara umum ditentukan oleh visi dan misi organisasi bisnis yang memanfaatkannya. Namun, Internet-Intranet-Extranet memiliki fasilitas dasar yang sama dalam proses pengoperasiannya. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)
Thursday, 14 March 2013 07:08

Rosihan Anwar, yang mantan Ketua Umum PWI (kini sudah almarhum), suatu ketika ditanya seorang wartawan pemula tentang “Apa kunci suksesnya dalam dunia jurnalistik yang senantiasa bersaing dan banyak menghadapi dilema dengan nara sumber?”

“Nak, cobalah untuk ‘be smart’ dan kembangkanlah untuk ‘keep smart’,” jawab doktor honoris causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.

Jika kita berangkat dari bahasa Inggris harfiah, maka ada banyak padanan kata untuk menjelaskan arti “be smart” dan “keep smart” tersebut. Namun, kita dapat dengan mudah menerjemahkannya sebagai “pandai-pandailah” dan mengembangkannya menjadi “senantiasa pandai.” Atau, wartawan harus pandai dalam berbagai hal.

Salah satu cara mencapai kepandaian dalam peliputan, wartawan setidak-tidaknya perlu memahami prinsip dasar sistem pekerjaannya, kemudian mengembangkan sistem manajemen informasi yang paling sesuai dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.

Selanjutnya, wartawan harus pula mengembangkan kemampuan tersebut untuk menutupi atau bahkan menghilangkan kelemahan yang ada dan menjadi hambatan saat melakukan peliputan.

Prinsip dasar sistem pekerjaan kewartawan secara ringkas terbagi dalam tiga tahapan utama, yaitu News Gathering. Hal ini adalah proses awal dari sistem pemberitaan, yakni tahapan pertama organisasi media massa yang diwakili wartawannya mulai mengumpulkan berita, lalu News Editing.

Hal ini adalah proses lanjutan dari sistem pemberitaan, yakni tahapan satu organisasi media massa yang diwakili oleh para redaktur melakukan penyuntingan berita, kemudian News Distribution. Hal ini adalah proses akhir dari sistem pemberitan, yakni tahapan satu organisasi media massa menyebarkan berita kepada publiknya.

Setelah itu, News Evaluation. Hal ini banyak berkaitan dengan sistem media massa yang senantiasa berupaya mengembangkan kualitas dan bukan hanya jumlah-beritanya, sehingga menerapkan pola analisa isi (contents analysist) yang biasanya dilakukan oleh satu unit/divisi khusus dalam manajemen keredaksian.
 
Dari tahapan evaluasi tersebut, maka media massa berupaya pula mengadakan perbaikan mutu isi karya jurnalistiknya melalui “editorial clinic” dan pendidikan berkelanjutan (continuing education).

Sistem manajemen informasi kewartawanan yang disebut pula sebagai sistem “GEDE” (Gathering, Editing, Distribution, and Evaluation) tersebut idealnya bukan saja dilakukan secara tim oleh organisasi/lembaga media massa, namun perlu pula dilatih dan dikembangkan oleh personelnya mulai tingkat wartawan pemula hingga utama.

Salah satu kendala yang sering terjadi dalam sistem manajemen informasi kewartawanan adalah lambatnya proses penyuntingan dan penyebaran berita/karangan khas karena banyak wartawan yang enggan menyunting ulang karya jurnalistiknya sebelum diserahkan/dikirimkan kepada penyuntingnya.

Padahal, wartawan adalah “ujung tombak” sistem manajemen informasi kewartawanan, sehingga seharusnya mereka dapat membuat berita/karangan khas “press-klaar” (layak siar). Sementara itu, penyunting tugasnya lebih banyak memeriksa ulang, dan memberikan tambahan latar belakang bila dianggap perlu.

Selain itu, wartawan sebagai manajer dalam proses pemberitaan dewasa ini kian dituntut memahami prinsip dasar manajemen, yakni menyusun Perencanaan, Organisasi, Aktualisasi, dan Pengawasan. Dalam ilmu manajemen klasik, hal tersebut dikenal dengan konsep Planning, Organizing, Actuating, and Controling (POAC).

Bagi wartawan konsep manajemen tersebut agaknya akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bilamana dimulai dari konsep pribadi, yakni secara individu senantiasa memiliki perencanaan peliputan maupun tugas jurnalistik lain sesuai penugasannya, seperti penyuntingan, dan rencana peningkatan karir, mampu berorganisasi dalam arti mampu menempatkan peran yang sebaik mungkin dalam organisasi media massanya,  mengembangkan aktualisasi diri, menempatkan diri sebagai anggota masyarakat serta dapat mengawasi seluruh rangkaian pekerjaannya.

Konsep manajemen pribadi, menurut Dr. Richard L. Lesher selaku mantan Ketua Kamar Dagang Amerika Serikat (US Chamber of Commerce), kian menempati posisi yang taktis dan strategis dalam tatanan bisnis yang tanpa mengenal batas kewilayahan atau yang dikenal sebagai kesejagatan (globalisasi).

“Dunia memasuki masa keemasan baru dari apa yang dinamakan pasar bebas kesejagatan. Dalam masa inilah konsep manajemen pribadi, yakni kemampuan sumber daya manusia secara individu, akan lebih diutamakan karena profesi berkembang dengan cakupan kesejagatan pula,” catatnya dalam artikel berjudul Democracy’s Promise: Building a Modern Economy yang dipublikasikan melalui tayangan informasi (homepage) Internet beralamatkan http://www.cipe.org/e23/Lese23.html. (Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS Jakarta).

(Sumber: Priyambodo)

Galleries

 
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha MK Bekasi, Jawa Barat (Phinisinews.com) – Master Asesor BNSP,...
  Penulis : Mitha MK / Editor : Fyan AK     Pulau Kodingareng, Makassar (Phinisinews.com) - Rektor Universitas...
  Penulis : Fred Daeng Narang  /  Editor : Mitha K Makassar (Phinisinews.com) – Sebanyak 120 kantong darah...
  Penulis : Redaksi  /  Editor : Fred Daeng Narang Bulukumba, Sulsel (Phinisinews.com) – Masyarakat adat...

Get connected with Us